Aizawa tertawa kecil saat payung di depannya berputar pelan.
Apakah moodnya sedang baik?
Dan kenapa dia mengikutinya?
Aizawa lalu tersadar bahwa langkah mereka menuju ke arah restoran ramen yang dia tuju.
Zen menutup payungnya, dan dia masuk. Aizawa tak membuang waktu, diapun melangkah cepat dan menutup payung setelah sampai di depan Restoran. Dia membuka pintu dan disambut salam oleh pelayan restoran. Bersyukur dia datang saat jam sepi.
Aizawa menemukan Zen sedang berdiri di depan tiket mesin dan memilih ramen pedas tanpa berpikir dua kali. Lagi, senyuman terukir dibibir laki-laki itu.
Apakah kamu memang suka pedas atau memesannya karena tahu aku suka pedas? Batin Aizawa penasaran.
Dia berdiri di belakang Zen, diam, memperhatikan gerak geriknya. Parfum mawar yang sama menggelitik hidungnya. Aroma mawar yang entah kenapa selalu teringat dalam memorinya.
Walau penampilannya seperti laki-laki, tetap ada sisi feminitas dalam dirinya. Apakah itu yang membuat Aizawa tak bisa melupakan sosoknya?
Tanpa meliriknya sama sekali, Zen berjalan pergi dan memilih meja paling ujung. Kali ini, dia melihat kacamata bertengger dihidungnya. Dia jadi memiliki kesan yang berbeda.
Aizawa segera memesan menu yang sama, membayarnya dan dia memilih duduk di sebrang mejanya. Menghadapnya. Asistennya duduk di kursi depannya tapi Aizawa memberi isyarat agar jangan menghalagi pandangannya.
Aizawa memperhatikan kembali wajah Zen. Sosoknya dimalam hari dan siang hari terlihat berbeda. Atau apa karena sekarang dia melihatnya dengan lebih jelas. Matanya berwarna cokelat gelap, sepertinya dia tak memakai softlens nya. Dan sedari tadi dia mendengarkan musik sembari membaca sesuatu di handphonenya.
Apa kamu mendengarkan laguku? tanya Aizawa dalam hati
Aizawa sama sekali tak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Dia hanya menikmati pertemuan mereka dalam diam.
Bagaimana kondisimu? Apa orang yang memberimu obat berhasil mendapatkanmu? Apa yang kamu lakukan selama 3 bulan ini?
Apa kita bisa berteman?
Berbagai pertanyaan menghiasi kepalanya.
Aizawa memeriksa sekeliling, tak ada yang memperhatikannya. Diam-diam Aizawa mengeluarkan Iphonenya , lalu memotret sosok Zen sekali. Setelah itu memasukan kembali dalam tasnya. Aizawa mengggigit bibirnya bingung.
Dia tak mengerti kenapa dia melakukannya, tapi dia ingin menyimpan memori kecil hari ini.
Pikirannya buyar saat pelayan datang membawa pesanan mereka berdua.
Aizawa memperhatikan ekspresi Zen saat memakan ramennya, dia terlihat menikmatinya namun tidak terlihat kepedasan. Padahal menu yang mereka pesan adalah menu dengan level pedas tertinggi.
Jadi, bisa terjawab kalau Zen memang menyukai pedas .
Aizawa membuka maskernya lalu menikmati makanannya. Pada awalnya dia memang berencana makan ramen pedas kan? Tentu saja dia harus menikmatinya juga.
Ramen kali ini terasa lebih enak dari sebelumnya.
***
Zen menatap kelangit.
Gerimis masih belum berhenti, bahkan sejak dia selesai makan ramennya. Namun ada pelangi diatasnya, mengintip dari balik awan mendung yang menutupi langit biru.
Matanya berubah sendu, namun dia tersenyum.
Setelah Ami dan Hoshii mendapatkan tubuhnya malam minggu tiga bulan yang lalu, Zen mengajukan resign di hari Seninnya. Tentu saja awalnya Boss-nya tak menyutujuinya, namun setelah dia menyeret nama Ami dan apa yang telah dilakukannya. Akhirnya dia menyetujuinya. Hari itu Zen langsung keluar dari kantor tanpa berpamitan dengan rekan kerjanya yang lain.
Dia tak akan pernah bisa memaafkan mereka karena sudah meninggalkan memori yang tak bisa dia lupakan.
Alasan kenapa dia membenci sex, alasan kenapa dia tak bisa tertarik pada dua gender yang di miliki manusia, alasan kenapa dia membenci dirinya sendiri.
Seberapa lembutpun mereka memperlakukannya, sebanyak apapun ungkapan cinta saat mereka menyetubuhinya, dia tak akan pernah memaafkan mereka.
Jadi dia melarikan diri, tanpa menemui mereka sama sekali, makanya dia memilih jam kerja saat mereka sibuk dan fokus dengan pekerjaan mereka.
Setelah 3 bulan susah payah untuk kerja sampingan sementara dia tetap melamar kerjaan ke bidang illustrasi yang dia sukai, akhirnya hari ini dia mendapatkan jawaban dan diterima setelah interview.
Dia mulai bekerja besok.
Pelangi itu, mungkin sebuah selebrasi dari Tuhan untuk langkah barunya.
Zen lalu mulai berjalan sambil memutar payungnya senang. Walau pelangi itu tidak akan bisa mengubah memori buruknya, setidaknya untuk bulan selanjutnya, dia tidak perlu mengkhawatirkan keuangannya.
***
Aizawa duduk dimejanya, lalu mulai menuliskan bait demi bait kata yang terus berputar di kepalanya. Sembari mengingat apa yang terjadi hari ini.
Gerimis yang turun, warna abu-abu dunia, rambut merah Zen, payung yang berputar ... Langkahnya yang pasti dan matanya yang tak melirik siapapun. Jiwanya yang seolah tak didunia. Aroma mawar . Pelangi yang mendadak muncul di langit.
Aizawa menuangkan semuanya.
Setelah itu dia mencari gitar dan menulis note lagu disetiap nada yang dia petik. Nada lagu yang awalnya ceria dan sejuk seperti musim semi lalu berubah menjadi sebuah kerinduan akan pertemuan.
Aizawa bersender di kursinya, masih memegang gitarnya. Dia berhasil menuliskan lagu sepenuh hati setelah dia tak memiliki inspirasi untuk menuliskannya.
Setitik warna merah berhasil membuat warna dunianya yang abu-abu kenjadi sedikit lebih baik. Apa jadinya jika dia dengan serakah menarik Zen dalam dunianya? Akankah dia akan mewarnai seluruh dunianya dengan warna merah atau dia adalah kiamatnya?
Aizawa memejamkan matanya.
Jika dia memiliki keberanian untuk menyapanya, apakah mereka akan menjadi teman?
Aku ingin tahu apakah kamu memang hanya pendengar lagu atau memang mengenalku sebagai seorang Aizawa?
Lama-lama dia bisa jadi stalker jika terus terpengaruh oleh penasaranya. Jika dia memiliki kesempatan untuk pertemuan selanjutnya, dia harus memiliki keberanian untuk itu.
***
Color Spot
Lyric by Aikawa
Musim semi yang selalu kuhindari malam itu berubah warna
Aku mencium aroma manis dari hujan yang kubenci
Kakiku meloncat kecil dengan riang
mendekati setitik warna diatas canvas hitam
Oh, kuharap ini warna yang kuinginkan
Apakah aku boleh serakah?
Titik warna itu melupakanku akan sunyi yang tertinggal
Rahasia yang membuatku buta warna
Walau aku berteriak sampai kehilangan suara
Hanya warna hitam sepanjang mataku memandang
Seolah Tuhan memintaku untuk melakukan penebusan dosa
Sudah cukup, warnai aku
Dari mana titik warna ini berasal?
Atau dari pelangi yang tak terlihat?
Doaku bahkan tak bisa membuat suaraku kembali
Padahal aku ingin bersenandung tentang warna itu
Apa aku boleh serakah?
Titik warna itu melupakanku akan sakit yang tertinggal
Aku tak ingin lagi buta warna
aku berlari sampai kakiku patah
Mencari asal mu ,mencari sosokmu, meneriakan warnamu tanpa suara
Aku tak ingin menunggumu berbagi rahasia seperti yang dulu
Sudah cukup, tolong warnai aku
Hujan di musim semiku tak pernah semanis itu sebelum menemukanmu
Jadi kali ini aku ingin serakah.
***