Rintik hujan kembali menyapa kota ini. Merintik di tengah belantara kemarau panjang yang enggan beranjak. Rintik hujan meniupkan kesejukan di dunia
yang jarang terasa akhir-akhir itu. Anika merasa ada yang aneh pada hujan kali ini. Awannya terlihat begitu muram, walau tak henti-hentinya menumpahkan air.
"Selalu ada beban yang ditanggung sendiri."
Anika mengerjap, terbangun dari lamunan panjang. Satya mengklakson mobil di depannya, memintanya beranjak. Jakarta, biasalah macet. Apalagi jam pulang kantor seperti itu, jalanannya bisa lebih penuh daripada pasir di pantai.
"Kalau gini bisa kejebak dua sampai tiga jam," gerutu Satya kesal.
Anika hanya menggeleng-geleng. Sejak tadi, hampir satu jam, pemuda di sebelahnya itu tak terus saja menggerutu. Mengeluarkan segala macam umpatan, yang sampai dia ulang berkali-kali. Kehabisan stok umpatan tampaknya.
"Mana aku ada janji jam sepuluh. Sial!" gerutu Satya lagi.
Anika mengernyit, lama-lama ikutan kesal melihat Satya berulah
seperti itu. "Ck! kamu bisa nggak tidak mengeluh? Iya, aku tahu kamu
ada janji jam sepuluh. Aku tahu macetnya tidak akan berakhir
dua-tiga jam. Aku bosan dengar ocehanmu, tahu nggak? Tadi juga
aku bilang, jangan lewat jalan sini, tapi kamu tetap milih, kan? Ya, ini
semua juga salahmu!" ucap Anika panjang lebar, yang akhirnya
menyalahkan Satya. Rasanya baru kali ini dia mengeluarkan kata
sepanjang itu, selama lebih dari enam bulan.
Satya mengangkat alis. "Kenapa kamu jadi nyalahin aku?"
Anika berdecak tak suka. "Yah emang salahmu!"
"Terserah!" tanggap Satya cepat. Kesal. Sekalinya Anika mengeluarkan kata-kata, justru menyalahkannya.
"Dia yang salah, dia juga yang marah. Manusia zaman sekarang,"
ucap Anika mirip gerutuan. Matanya menerawang ke luar jendela
mobil. Lebih baik dia menikmati awan yang berarak dan bersiap
mengeluarkan kandungan air yang menjadi bebannya daripada
mendengarkan segala macam sumpah serapah dari mulut Satya.
Tapi, mmm... tanpa Anika sadari, kehadiran pemuda di sampingnya membuat pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Tanpa dia sadari, beban di pikirannya sedikit menghilang.
Braaak!
Anika kaget mendengar suara pintu mobil yang ditutup kasar.
Diliriknya Satya yang terengah-engah. Rambut dan bajunya basah.
Anika mengernyit, kapan pemuda itu keluar? Ia sama sekali tak
menyadarinya.
"Sial!" rutuk Satya.
Anika mengangkat alis. "Kenapa lagi?" ucapnya jengah.
Satya mengacak rambut yang basah, dan gerakannya itu membuat
getaran halus di hati Anika. Gadis itu terpana. Satya tak menyadari
dirinya dipandangi tanpa bernapas oleh gadis di sampingnya.
"Di depan banjir, parah!. Nggak bisa gerak sedikit pun. Padahal hujannya juga baru sebentar. Tapi iya sih, deres banget!"
Anika tersadar dari keterpanaannya, buru-buru mengalihkan
pandangan, sebisa mungkin tidak menatap mata Satya. Bisa-bisa dia
tak menginjak tanah lagi. Melayang terbius pesona lelaki itu.
Jantung Anika berdebar keras, membuat ia yakin seluruh dunia akan tahu jika berada di dekatnya. Kenapa pemuda itu begitu memesonanya?
Satya melirik Anika dengan tatapan tak mengerti. Tiba-tiba saja Anika mengalihkan pandangan ke arah lain saat dia sedang berbicara. Ada apa lagi? Ada masalah apa lagi yang membuat gadis itu merasa terganggu?
Tidakkah Satya tahu sesungguhnya dialah yang menyebabkan
masalah dalam diri gadis itu, hingga ia kesulitan mengatur debar
jantungnya sendiri.
Anika menarik napas panjang. Sekarang, setelah sekian lama
terjebak macet dan hujan, dia baru sadar bahwa kelamaan di mobil
berdua Satya adalah kesalahan besar! Anika memberanikan diri menoleh, bertumbukan dengan mata Satya yang masih mengepungnya, menyebabkan dia tak bisa melarikan pandangan ke mana-mana.
Tahu-tahu saja pemuda itu menggenggam tangan kanan Anika
kuat-kuat. "Kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir."
Anika menghela napas. Kamu. Kamu, Satya, batinnya menyalahkan Satya,
tapi mulutnya terkunci.
"Kamu nggak mau cerita sama aku?"
Anika menggeleng. Tetap memilih diam. Dia harus menetralisir
perasaannya. Anika yakin seribu kali yakin, berada di samping Satya
membuatnya kesusahan mempertahankan deru jantungnya yang seakan ingin meledak.
Anika tersenyum tak ramah. "Apa?! Sok perhatian!" ketusnya, yang tak lain adalah bentuk pelarian dirinya agar bisa beralih dari mata yang mampu menghipnotisnya itu.
"Aku memang selalu perhatian sama kamu kan?. kamu-nya aja yang nggak
pernah sadar," Satya membela diri. "Eh, Anika, kamu nggak pernah pacaran
ya?" tanya Satya tiba-tiba.
Anika menerawang. Seingatnya dia tidak pernah menjatuhkan
diri dalam ikatan dengan lelaki mana pun. Dia menggeleng.
Satya terbelalak, tak percaya. "Serius? perempuan Jerman nggak
pernah pacaran?"
Anika mengembuskan napas kesal. "Denger ya, Tuan Satya Arya Wardana, di
sana tinggal di asrama putri. Dan aku nggak terlalu berminat
pacaran dengan western boy. I prefer oriental. Lebih perfect."
Satya menganga tak percaya. "Berarti aku perfect dong?" ucapnya
polos.
Anika tertawa. "Narsis"
Satya menganga lagi. Bukan karena jawaban Anika melenyapkan
gelembung-gelembung harapannya, tapi apa tadi? Gadis itu tertawa!
"Kamu ketawa, Anika!"
Anika mengernyit. Hah?
"Dan aku suka kamu ketawa," ucap Satya jujur, membuat Anika kembali tak menginjak tanah.
Anika menunduk, senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Dan itu pertama kali dia membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam. Jatuh pada mata yang tak pernah dia prediksikan pesonanya. Dia sudah jatuh cinta terlalu dalam.
Satya mengusap pelan pipi Anika yang merona, tak menyangka, bahwa memenangkan hati gadis itu bisa semulus ini.
Anika menepis tangan Satya kasar. "Mobilnya udah bisa jalan. Cepetan!" seru Anika lantang.
Satya kaget, kemudian menatap Anika yang menunduk. Satya
terkekeh pelan. "Kamu salah tingkah," ucapnya mengagetkan Anika.
Anika membuang muka. "Sok tahu!"
Satya kembali tertawa. "Atau kamu baru sadar bahwa kamu sudah jatuh
cinta sama aku?"
Anika melengos. Pede sekali.
To Be Continued