Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 53 - Akram

Chapter 53 - Akram

Ruby POV

Aku mengguyur kepalaku dengan sedikit air dingin, tidak peduli seberapa dingin sore ini akibat hujan satu jam yang lalu. Benakku masih penuh pertanyaan dan semuanya terpusat pada Lukas. Otakku terus berputar hingga akhirnya terhenti pada satu memori. Bagaimanapun dan siapapun Lukas, dia tetap saja playboy dan brengsek.

Aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku malas sekali menjawab telepon itu, terlebih ketika melihat nama yang tertera di layar: Akram.

"Kamu dimana?" dia berbicara lembut seperti biasanya, tapi kali ini terdengar sangat tergesa-gesa.

"Di kosan," jawabku singkaat.

"Oke, kamu siap-siap sekarang, aku mau ajak kamu pergi malam ini. Nanti kita sekalian pergi makan. Kamu pasti belum makan, kan? Oke? See you." Akram terus berceloteh dan langsung menutup telepon tanpa memberikanku menjawab.

Menyebalkan sekali! Setiap kali selalu seperti ini. Seenaknya saja memerintah. Kalau aku menolak, dia pasti nekat ke sini dan membujukku, sampai aku menyerah dan terpaksa pergi dengannya!

Aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri lemari pakaianku. Ada beberapa baju hadiah dari Akram, kalau tidak salah pada perayaan Natal tahun lalu. Tapi, sampai sekarang aku tidak pernah memakainya. Lagipula, aku tidak pernah memintanya. Kuputuskan untuk mengenakan celana jins pendek, kaus pendek putih dan jaket biru.

***

"Aku tidak mood kemana-mana hari ini. Pulang saja ya aku mengantuk," aku memasang sabuk pengaman lalu bersandar di kursi mobilnya. Perutku sangat penuh sekarang. Aku mengisinya dengan seporsi nasi goreng dan ramen. Kini, mataku mulai meredup.

"Jangan pulang dulu. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Oke?" dia belum juga melajukan mobilnya keluar dari parkiran restoran. Dia masih duduk menghadapku dan mengamati wajahku seperti pelukis yang mengamati objek yang akan digambarnya di kanvas.

"Aku tidak suka di pandangi seperti itu, aku bukan anak kecil" aku menguap, mataku berair. Aku mengancingkan jaket sampai leher. Entah kenapa aku terus saja kedinginan.

"Kamu itu cantik, Ruby.." Akram masih tersenyum memandangi wajahku.

"Terserah," ujarku sinis.

"Kamu cantik. Semakin kamu marah, semakin cantik," bisiknya kemudian tertawa kecil dan mulai melajukan mobilnya.

Aku memilih tidak menanggapi apa pun yang dia katakan barusan dan tetap melihat ke luar jendela mobil.

"Kenapa berhenti di sini?" aku meninggikan sebelah alis, merasakan hawa-hawa tidak beres.

"Turun aja, nanti kamu tahu sendiri," dia tersenyum lagi, lalu melepaskan sabuk pengamannya lalu menghadap ke arahku, mencoba melepaskan sabuk pengamanku.

"Tidak mau! Aku tidak mau!" bentakku.

"Bisa tidak, suaramu pelan sedikit?" dia menutup telinganya sambil memejamkan mata.

"Tidak!!" aku diam dan menatap lurus ke depan, menolak melihat wajah yang akan memancing emosiku itu.

"Jadi, kamu tidak mau turun? Kalau begitu terpaksa…" Akram tidak menyelesaikan kalimatnya dan langsung turun dari mobil. Dia berjalan ke belakang mobil dan berputar ke arah pintuku. Beberapa menit kemudian dia membuka pintuku dan membungkuk untuk memasukkan separuh badannya ke dalam mobil.

"Mau apa kamu?!" aku panik melihat tindakannya dan secara spontan menekankan jari telunjukku ke jidatnya, mendorongnya menjauh.

"Kalau kamu tidak mau turun, aku paksa kamu turun," dia sudah menyiapkan tangannya untuk membopongku.

"Jangan gila! Oke, oke! Aku turun! Puas?!" begitu aku turun, dia langsung menarik tanganku, "Ikut aku masuk!"

Seperti biasa, dia menggenggam tanganku kuat-kuat, membuatku tidak bisa melepaskan diri.

Kami berdua melangkah masuk ke suatu butik. Dan begitu masuk, aku sangat tercengang. Bagaimana mungkin tidak ada seorang pun di dalam sana? apakah butik ini hampir tutup?

"Permisi!" Akram berteriak ketika belum ada seorang pun yang menyadari kehadiran kami. Dia meneriakkan kata itu sekitar lima atau enam kali. Baru setelah teriakan keenam, seorang wanita berpenampilan 'wah' keluar dari dalam suatu ruangan.

"Ada apa? Tumben ke sini malam-malam? Padahal aunty sudah siap-siap tidur." Wanita itu menguap sedikit tapi tetap tersenyum lebar. Akram tersenyum sedikit. "Tolong carikan dia beberapa gaun yang dia sukai."

Aku mendelik, perhatianku yang sebelumnya pada wanita ini beralih penuh pada perkataan Akram barusan. "Untuk apa?" spontan aku berteriak lagi padanya, mengagetkannya, juga aunty itu.

"Tidak apa-apa, aku belum memberimu hadiah tahun ini," dia menjawabku santai, nyaris menyentuh poniku, tapi aku menampar tangannya.

"Aku tidak pernah minta hadiah apa pun darimu!" aku menyipitkan mata, mengatakan apa yang ada di dalam benakku dengan lugas dan sedikit kasar.

"Memang, aku yang mau memberikannya. Kan aku sudah bilang tadi…," dia semakin lancang. Dia tertawa kecil.

"Tidak mau! Aku tidak mau! Aku mau pulang sekarang!" aku berbalik dan mengambil langkah seribu, keluar dari butik. Rambutku berkibar dan leherku merinding ketika angin malam menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merapatkan jaket dan berjalan menjauhi butik, menuju keramaian dan mencari taksi.

"Ruby!" itu pasti Yugyeom yang mengejarku. Aku berusaha secepat mungkin menghindarinya.

"Ruby, tunggu! Berhenti!" dia menarik lenganku dan memutar tubuhku. Napasku tersengal-sengal setelah mengejarku tadi. matanya memerah dan sedikit berair.

"Jangan pernah melakukan itu lagi ke aku! Aku tidak suka! Aku bisa beli sendiri! Aku bukan anak jalanan yang harus kamu sumbang pakaian! Sejak kapan kamu jadi seperti ini?" aku membentaknya seperti orang gila dan meluapkan semua amarahku. Untung tidak terlalu banyak orang di sini. Hanya beberapa pejalan kaki yang mellihat ke arah kami, tapi kemudian memalingkan wajah lagi karena sadar tak seharusnya mereka ikut campur.

"Ruby, kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di matamu? Selama ini aku mengejarmu, tapi apa yang aku dapat? Semakin aku mendekat, kamu semakin menjaga jarak. Kamu membuatku gila! Ruby!" Akram balas membentakku. Ini pertama kalinya dia bicara kasar padaku. Selama dua tahun dia masih bisa menyembunyikan amarahnya meskipun aku sudah sangat menyakitinya.

"Kalau begitu, berhenti mengejarku! Berhenti melakukan semua ini!" aku tidak mau kalah. Daguku kuangkat tinggi-tinggi. Mataku berkilat-kilat menatapnya.

"Aku tidak bisa! Aku mencintaimu, Ruby. Kenapa? Kenapa kamu tidak mau membuka hati buat aku? Kenapa?!" matanya semakin memerah dan berair. Sepertinya dia hampir menangis. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Jalanan ini cukup gelap dan hanya dua lampu jalan yang ada sebagai penerangan.

"Karena aku tidak menyukaimu, Akram! Aku tidak pernah mencoba menyukaimu dan tidak akan pernah! Aku tidak mau dipaksa! Perasaanku adalah milikku!" aku berteriak, kemudian berbalik dan berlari menjauhinya. Dari jauh aku melihat taksi kosng di pinggir jalan. Aku berlari lebih cepat menghampiri taksi itu. aku mendengar langkah yang mengikutiku, lebih cepat daripada langkahku. Tapi, aku tidak memperdulikannya. Intinya aku harus cepat-cepat masuk ke taksi itu.

"Hei, jangan naik taksi. Aku antar kamu pulang." Pria bertubuh jangkung menutupi pintu taksi tepat ketika tanganku terulur hampir memnuka pintu. Suaranya sangat kukenal.

Aku mendongak dan berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.

Lukas?!

Apa aku tidak salah lihat? Aku mulai rabun, ya? Aku menunduk lalu mengucek mata, kemudian berkedip beberapa kali lagi, mendongak lagi dan mendapati bahwa itu benar-benar Lukas!

Dia menarik tanganku menyebrangi jalan dan menjauhi taksi.

Aku tidak melawan. Aneh sekali! Aku bukan tidak ingin melawan, tapi aku tidak mampu. Tangannya hangat dan besar menggandeng tanganku menuju mobilnya.

Kenapa dia bisa ada disini?!

To Be Continued