Wardana's House
Gwen POV
Biar saja semua orang melirikku dengan curiga.
Tentang senyum yang sedari tadi sombong ingin terus bersinar.
Tentang degup yang tak ingin berhenti menggelar perayaan dalam dada.
Aku membaca kalimat-kalimat indah itu berulang kali. Kertas itu terselip di novel kedua yang aku terima pada halaman pertama. Setelah memandangi kertas itu beberapa saat, Aku memasukkan kertas itu ke laci nakas dimana kertas pertama berada.
Aku memandang novel Oliver Twist karya Charles Dickens yang menceritakan tentang seorang anak yatim piatu bernama Oliver Twist yang hidup di Inggris pada tahun 1830-an.
Ia sudah makan malam, seperti biasa, bersama para asisten rumah ini. Mereka ternyata sangat cerewet saat berkumpul bersamaku, terus mengeluarkan lelucon yang membuatku tertawa. Berada di dekat mereka membuatku begitu nyaman. Dapur dan kamar ini adalah tempat paling nyaman di rumah ini.
Aku bersandar di kepala ranjang dan menyelimuti kaki hingga ke pinggang dan mulai membuka halaman pertama. Aku belum selesai membaca buku yang pertama, tapi sangat penasaran dengan buku ini. Lagipula aku sudah pernah membaca Love and Friendship sekali, tapi sama sekali belum pernah membaca Oliver Twist.
Aku terlarut dalam bacaan hingga tanpa sadar tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi Rangga datang dan meminta maaf padaku, pria itu menangis di sampingku dan terus saja mengucapkan kata maaf, lalu pria itu mengecup keningku.
Saat tersadar pagi harinya, aku terkejut menatap jam. Aku terlambat bangun karena tidurku kali ini terasa nyenyak. Aku menyibak selimut dan menatap buku Oliver Twist di atas bantal di sebelahku. Lagi-lagi aku tertidur saat sedang membaca.
Aku bersiap-siap dan terburu-buru keluar kamar untuk membuat sarapan.
"Aku terlambat," ujarku sambil membuka kulkas.
"Saya sudah membuatkan anda sarapan."
Aku menoleh dan menatap custard strawberry sudah ada di atas meja makan. "Bibi yang membuatnya?"
"Iya, karena Nyonya Muda belum keluar, saya pikir Nyonya Muda terlambat bangun hari ini."
"Iya, aku memang terlambat bangun." Aku segera menutup pintu kulkas dan duduk di atas kursi, langsung saja menyantap custard dan segelas susu hangat. "Bibi yang membuat ini?" aku menatapnya.
"Ya, apa rasanya tidak enak?"
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Malah rasanya enak sekali. Lebih enak dari buatanku."
"Kalau begitu mulai besok bibi saja yang buat, Nyonya Muda tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak kalau rasanya seenak ini." Aku tertawa pelan. "Aku benar-benar suka dengan rasanya." Wanita itu menghabiskan custardnya hanya dalam waktu dua menit, lalu buru-buru keluar dari dapur. "Aku berangkat."
"Hati-hati, Nyonya Muda!" Nina yang sedang menyapu berteriak dari ruang keluarga.
"Ya!" Aku balas berteriak sebelum masuk ke dalam taksi.
***
Rangga POV
Tidak lama Gwen pergi, aku keluar dari kamar mandi yang ada di dapur, menatap Bibi dengan senyum di bibirnya. Tempatnya bersembunyi.
"Seperti yang Tuan Muda dengar, Nyonya Muda menyukai custard yang anda buat."
Aku mengangguk puas. menatap piring dan gelas yang kosong. Hanya hal kecil tapi mampu memberinya kebahagiaan.
Bukan hanya itu, tadi malam, ia mendapati kamar Gwen tidak terkunci, meski takut, aku nekat masuk ke dalam kamarnya, menatap wajah itu lama-lama. Gwen tertidur dengan memeluk novel pemberiannya. Rangga disana selama dua jam, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Gwen tanpa merasa bosan.
Ia juga berkesempatan untuk mengucapkan maaf secara langsung meski Gwen tidak mendengarnya, tapi ia sudah cukup puas bisa melihat Gwen dalam jarak dekat seperti itu. Ia mengenggam tangan lembut Gwen dan mengecupnya beberapa kali, hanya dengan mengecup keningnya saja sudah membuatku tidak bisa tidur semalaman karena bahagia.
Ditambah pagi ini, Gwen menyukai masakannya.
Aku harus memikirkan cara untuk berdekatan dengan Gwen tanpa membuat wanita itu takut. Om Sultan pernah menyarankan bahwa aku harus pelan-pelan. Aku akan melakukan ini dengan perlahan, dan berharap bisa menebus kesalahan yang aku tahu tidak akan pernah bisa aku tebus secara sempurna.
Tapi setidaknya aku harus tetap berusaha.
To Be Continued