Kampus
Devan mematikan lagu yang diputar melalui headset saat melihat Anika berjalan murung. Devan bukan orang yang mengerti emosi.
Tapi untuk orang seperti Anika, perubahan signifikan itu terlalu tampak, sehingga mudah dimengerti siapa pun.
Anika bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Walaupun cenderung tak menanggapi, Devan yakin Anika tak pandai berbohong. Saat ke Teipei beberapa hari lalu, walaupun tanpa emosi suka, raut wajah Anika begitu cerah. Menggambarkan dia bahagia. Saat dulu Satya membentak Anika, raut wajah gadis itu berubah mendung. Begitu mendungnya, namun ia tak menyangka gadis itu nekat melakukan percobaan bunuh diri.
Apakah Anika sedih sekarang? Devan bertanya-tanya. Saking sibuknya memikirkan Anika, dia tak sadar gadis yang dipikirkannya itu hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Anika menatap Devan dengan aneh, seolah Devan spesies yang baru ditemukan. Gadis itu terlihat bingung, bukan karena tersedot ketampanan Devan. Pikirannya memang kacau sejak tadi.
"Mendung ya?"
Anika spontan menengadah, melihat langit. Dia mengernyit saat mendapati langit cerah-cerah saja.
Tanggapan Anika membuat Devan spontan tertawa. "Bukan langitnya, tapi kamu." Ucapan itu membuat Anika menatapnya tak mengerti.
Devan berdiri di samping Anika, tertawa lebih keras, seolah baru saja menemukan kebahagiaan. "Kamu sedang mendung ya? Sangat terlihat awan-awan hitam menyelimuti wajahmmu."
Anika menggeleng, tak berniat menanggapi ucapan Devan. Ia tak ingin perasaannya yang tak keruan malah semakin membuat runyam keadaan.
"Sangat berbeda warna wajahmu dengan saat aku pertama kali melihatmu."
Anika berjalan pelan. Terserah saja Devan mau komentar apa, dia tak ingin menjawabnya. Lagi pula, ia tak mengerti hal yang Devan bicarakan. Mungkin tepatnya: Anika tak mau mengerti.
Devan menyusul Anika. "Kamu sangat mirip sama langit saat musim dingin."
Anika menoleh. Ucapan Devan membuatnya teringat sesuatu.
Membangkitkan sesuatu yang berusaha dia kubur dalam sudut pikirannya "Wajahmu datar dan sering mendung. Tapi saat wajahmu cerah, entah kenapa, membuat orang-orang di sekelilingmu bahagia."
Anika hanya diam. Musim dingin ya? Seketika wajah Satya mengambang dalam pikirannya, membuat hatinya berdesir. Tadi pemuda itu juga mengumpamakan dia dengan musim dingin.
Devan dan Anika menyusuri jalan menuju kelas dalam diam.
Setelah mengeluarkan terlalu banyak komentar, Devan memilih diam.
Tanpa mereka sadari, Satya berjalan di belakang mereka, bersama dengan pikiran kacau yang dibawanya dari UKS. Tadi saat Satya masuk, wajah Tina masih pucat dan terlihat menahan sakit.
Tubuhnya lemas. Tentu saja Satya panik. Bagaimana mungkin tidak khawatir saat terjadi sesuatu pada orang yang dia sayangi? Satya tersadar dari lamunannya saat suara lembut Anika memenuhi gendang telinganya.
"Devan," panggil Anika, terdengar oleh Satya, "Mendung tidak berarti mau hujan, kan?"
Devan hanya mengangguk.
"Begitu juga manusia. Kalau wajahnya muram, belum tentu dia sedang sedih. Dan... sejujurnya aku tidak terlalu suka langit musim dingin."
Devan tertegun mendengar penuturan gadis dingin itu. Anika masuk ke kelas duluan, meninggalkan dua pemuda yang terdiam karena kata-katanya.
Satya mengangkat alis, posisinya masih di belakang Devan. Satu pertanyaan mengusik pikirannya, menyingkirkan segala kekhawatiran yang berkecamuk dalam dirinya: Sejak kapan Anika dan Devan dekat?
To Be Continued