Kampus
Ruby POV
"Wow. Hati-hati, Nona." Suara khas Devan menyapa ketika dia menangkap tubuhku yang hampir terjerembap. Dan hampir membuatnya terjerembap juga. Dia pasti belum menyadari siapa diriku. Sial, kukira dia bakal lama bersama Harry Potter Society.
Aku melepaskan diri darinya dengan cepat dan merapikan rambut, kemudian menatapnya. "Maaf Ka, aku tidak melihatmu tadi."
Sorot matanya berubah ramah. "Oh, kau! Ruby, anggota baru klub, kan?"
Sial. Dia mengingatku.
"Betul." Aku tersenyum. "Sekali lagi maaf ka, aku hampir membuat kita berdua jatuh memalukan."
Dia tertawa. "Aku tidak selemah yang kau pikirkan. Lagi pula, kau ini kan..."
"Pendek." Aku menyelesaikan kalimatnya. Tinggiku memang hanya 160 cm sama dengan Mbak Gwen. Sedangkan dia mungkin mencapai 170an cm. Sedikit lebih pendek daripada Lukas. Tunggu, kenapa aku mengingat nama itu lagi? "terima kasih untuk tidak mengatakannya keras-keras."
Kami tertawa bersama.
"Kau mau ke mana?" tanyanya.
"Kembali ke kosan."
"Jadi kau tinggal di kosan dekat kampus itu? kenapa aku tidak pernah melihatmu? aku juga tinggal dekat situ"
Aduh, Bagaimana aku bisa menghindari kegiatan klub kalau kapan saja aku bisa bertabrakan dengannya seperti ini?
"Aku banyak berkeliaran sejak datang, hanya pulang untuk tidur." Kugaruk leher yang tidak gatal.
"Aku juga mau pulang." Devan menggerakkan kepalanya sedikit ke arah yang akan kami tuju. "Kamu tinggal di lantai berapa?"
"Lantai tiga."
"Kebetulan aku juga mau bertemu temanku di lantai empat. Aku akan mengantarmu dulu."
Terlalu baik. Aku harus hati-hati. "Terima kasih."
"Jadi, sudah berkeliaran ke mana saja."
"Tidak jauh, ke supermarket, sekalian membeli beberapa kebutuhan."
"Aku juga melakukannya dulu."
Kami tiba di lantaiku ketika Devan bicara lagi, "Aku bisa menjadi fotografer gratis untukmu. Dan mungkin sekaligus membawamu ke kafe enak sekitar sini yang patut kamu coba."
Aku tertawa kering. Bukan tidak senang mendapat teman baru, apalagi jika teman itu semenarik Devan. Namun, dia wakil Lukas di klub, sementara aku berencana tidak mau memiliki hubungan apapun dengan lelaki itu.
"Baiklah. Tapi kakak harus mengambil foto yang bagus. Aku juga ingin foto sambil melompat."
Itu hanya basa-basi.
Dia tertawa. "Bahkan jika kau ingin foto sambil berbaring, aku tidak akan protes."
Aku tersenyum. "Thanks," kataku, lalu berhenti di depan pintu kamarku.
"Di sini?"
Aku mengangguk.
"Oke, kujemput kamu lusa sore. Saat matahari terbenam atau terbit adalah waktu yang tepat untuk berfoto. Akan kutelepon nanti."
LUSA?
Mau sampai sesial apa aku hari ini? Tadi aku setuju karena kupikir dia akan mengajakku jalan-jalan minggu depan atau kapan pun itu. Dan saat itu seharusnya aku sudah siap dengan seribu alasan untuk menolaknya.
Tapi dia bilang akan menjemputku lusa!
Aku mengangguk terpaksa. "Sampai jumpa."
"Sampai jumpa, Ruby."
***
"Tunggu dulu!" Mbak Gwen yang sedang bersiap pulang melongok ke arah pintu yang tertutup di belakangku. "Itu Devan, kan?" tanyanya dengan suara keras.
"Ssst!" Aku menaikkan telunjuk ke bibir. "Pelankan suaramu Mbak. Dia masih di depan pintu."
"Bagaimana dia bisa mengantarmu kemari?" tanyanya tidak santai.
"Dia kan tinggal dekat sini juga. Dia mau bertemu temannya di lantai empat."
"Aku tahu itu, tapi bagaimana dia bisa mengantarmu kemari?"
Aku merebahkan diri di kasur tanpa melepas sepatu. Kamarku terdiri dari satu tempat tidur ukuran single. "Dia wakil ketua Klub Harry Potter."
"Itu aku sudah tahu, Ruby. Jawab pertanyaanku."
"Ya ampun," aku melepaskan sepatu asal. "sudah jelas kan, kami berkenalan di klub, tinggal di daerah yang sana, yah, walaupun tadi kami bertemu karena aku tidak sengaja menabraknya saat berlari ke arah pintu keluar."
"Kenapa kau harus berlari?"
"Mbak habis makan apa sih? Mbak memberondongku dengan pertanyaan seperti polisi."
Mbak Gwen mengangkat kedua tangan. "Oke, sorry. Lupakan pertanyaanku. Tapi, kau tahu Devan itu siapa, kan?"
"Dia wakil ketua klub, ya aku tahu."
"Berarti kau tidak tahu. Dia itu salah satu idola kampus, dia itu populer di antara para perempuan karena suka menggoda mahasiswa bahkan dosen wanita. Aku curiga kamu korban berikutnya."
Mulutku membulat. "Wow, aku tidak tahu itu."
"Makanya kuberitahu." Mbak bertolak pinggang. "Kau harus berhati-hati dengannya."
Aku menaikkan tangan ke pelipis, membentuk sikap hormat meski dalam posisi berbaring. "Siap, Kapten."
Ya Tuhan, aku hanya ingin hidup damai di sini dengan buku gambar dan rancanganku sepanjang hari. Kenapa harus hadir Lukas dan Devan? Please, jangan porak-porandakan hidupku, semesta.
To Be Continued