Rangga POV
Suara musik terdengar sangat keras. Asap rokok dan aroma alkohol tercium jelas. Semua orang tengah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tapi aku yang duduk disana dengan terus menenggak minuman tanpa henti.
Aku sekarang tengah mengutuk diri karena baru saja melakukan hal yang sangat bodoh. Aku menikahi perempuan yang hampir tidak dikenalnya, semua ini aku lakukan kerena keluargaku.
Tidak ada pria yang lebih bodoh dariku. Aku yakin itu. Diriku adalah pria tolol yang pernah ada.
Aku masih menenggak bir yang sejak tadi aku teguk, lalu menatap kesal saat sang bartender tidak lagi mengisi gelasku.
"Lagi." ujarku dingin.
"Maaf, Bos. Sepertinya kau sudah..." kalimat sang bartender terhenti saat aku melemparkan gelas dengan kuat ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Kedua mataku menatap tajam. Dan beberapa orang segera datang untuk membereskan pecahan-pecahan gelas yang berserakan di lantai agar tidak melukai pengunjung lain.
"Botolnya." Aku berujar tegas.
Denngan ragu-ragu bartender itu menyerahkan sebotol bir yang masih utuh ke hadapanku. Aku menerimanya dan menenggaknya dengan rakus.
"Kau kenapa?" Satya duduk disampingku, meringis saat aku dengan santainya menenggak minuman keras itu.
"Tidak apa-apa." aku menjawab dingin, sama sekali tidak menoleh padanya.
"Kau sudah mabuk." Satya merebut botol itu dari tanganku. Dan mendapatkan tatapan tajam sebagai balasan.
"Lepaskan tanganmu." Aku menggeram marah.
"Kau harus pulang, bro. Istrimu pasti menunggu di rumah."
Gerakanku yang hendak kembali minum terhenti. Mendengar kata istri yang Satya ucapakan, seketika aku kembali teringat pada perbuatan gadis itu tadi siang didepanku.
"Aku pergi. Masukan semuanya ke tagihanku dan kasih tips yang besar untuk para bartender disini." Aku terhuyung sejenak tapi mampu menyeimbangkan tubuh. Aku melangkah menuju pintu keluar.
"Aku antar." Satya menyusul. Tapi aku memilih berpura-pura tidak mendengar dan terus berjalan. Langsung masuk ke mobil dan meninggalkan Satya begitu saja disana.
***
Gwen baru saja memasuki pintu samping saat Rangga berdiri di dapur dan menatapnya dengan tatapan jijik.
"Jadi pria itu satu jurusan denganmu." ujarnya dingin.
"Maksud Mas siapa? Kevin?"
"Apa selama ini kalian juga melakukannya di toilet kampus?"
"Mas bicara apa?" Gwen menatap Rangga dengan tatapan bingung. "Kalau yang Mas maksud adalah kejadian tadi, aku dan Kevin hanya berteman."
"Aku tidak peduli." Rangga bersidekap. "Pantas saja kamu tidak mau keluar dari pekerjaanmu. Ternyata kamu bisa melakukan hal 'itu' dengannya di kampus. Benar-benar menjijikan."
Gwen menarik napas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Rangga bicarakan. "Apa Mas mau memberitahuku apa yang sedang kita bicarakan sekarang?"
Rangga mendekat, berdiri menjulang di depan Gwen. Tangannya mencengkeram leher Gwen agar menatapnya. "Berapa dia membayarmu?"
Kedua mata Gwen membelalak. "Maksdu Mas apa?"
Rangga menatap kedua mata jernih itu lekat-lekat, lalu tersenyum sinis. Mata itu sungguh menipu. Terlihat begitu polos tapi menyimpan kebusukan.
"Berapa dia membayarmu?" Rangga bertanya sekali lagi. "Aku akan membayarmu berkali-kali lipat."
Gwen hendak melangkah mundur tapi tangan Rangga mencengkeram lehernya kuat-kuat hingga membuat Gwen kesulitan bernapas.
"Mas... lepas." Gwen memukul-mukul tangan Rangga di lehernya. "A-aku t-tidak bisa b-ber-napas."
"Betapa aku ingin membunuhmu." Rangga sama sekali tidak mengendurkan cekikannya. Ia menarik Gwen semakin dekat hingga tubuh Gwen menempel ke tubuhnya. Gwen memukul tangan Rangga berkalik-kali, kedua matanya membelalak dan meneteskan cairan bening yang jatuh ke pipi.
Rangga melepaskan cekikannya dan Gwen terbatuk-batuk. Tapi belum sempat Gwen menarik napas, Rangga sudah mendorongnya ke dinding dan menghimpitnya.
"Mas." Gwen ketakutan.
"Bagaimana caramu memuaskannya?" tangan Rangga meraba dada Gwen dengan kasar. Gwen semakin takut dan airmata jatuh kian deras. "Apa dia menyentuhmu disini?" tanya Rangga meremas payudara Gwen dengan kasar.
Gwen terisak.
"Kenapa menangis?" Rangga mencengkeram dagu Gwen. "Bukannya kamu suka diperlakukan seperti ini?"
Gwen menatap takut.
"Mas..." Gwen tidak sempat melanjutkan kalimatnya saat bibir Rangga membungkamnya dalam ciuman yang kasar dan merendahkan.
Gwen kewalahan dan kehabisan napas. Satu tangan Rangga merabanya dan satu tangan Rangga menahan lehernya. Bibir pria itu menyerbunya membabi buta.
Tangan Rangga menyusup dan menjangkau tempat dimana belum pernah ada yang menyentuhnya disana. Tubuh Gwen gemetar, ia berusaha keras melepaskan diri saat jemari Rangga hampir mencapai celana dalamnya.
Gwen tidak pernah setakut ini sebelumnya. Tubuhnya di perlakukan layaknya seperti pelacur murahan.
Pria itu benar-benar memperlakukannya seperti seorang sampah.
Gwen menginjak kaki Rangga keras-keras hingga pria itu menjauh selangkah, Gwen memanfaatkan itu untuk melarikan diri, berlari secepatnya ke dalam kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Sedangkan Rangga hanya berdiri sambil tersenyum sinis. Merasa puas telah membuat wanita itu menangis.
Pria itu berjalan santai menuju kamarnya.
Ia harus mandi dan mencuci tubuhnya karena baru saja menyentuh seorang perempuan kotor dengan sengaja.
Sedangkan Gwen bersandar di pintu dan terduduk lemah di atas lantai, menangis dengan suara pelan sambil memeluk dirinya sendiiri.
Apakah ia pantas mendapatkan perlakuan seperti ini dari Rangga?
Rasanya luka di dadanya semakin ternganga, rasanya begitu menyakitkan, amat sangat menyakitkan.
To Be Continued