Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 27 - Salah Paham

Chapter 27 - Salah Paham

"Good luck." Prof Ilham selaku pengisi materi hari ini bertepuk tangan dan tersenyum bangga.

"Terima kasih atas kerja keras kalian hari ini. Sekarang pulang dan beristirahatlah, besok kita akan kembali menguras otak disini."

Gwen menguap sambil melakukan peregangan untuk otot-otot yang kaku.

"Aku lapar." Kevin mendekati Gwen dan membantu wanita itu membereskan pekerjaannya. "Kamu mau makan dulu sebelum pulang?"

Gwen melirik jam tangannya. Lalu menggeleng dengan wajah sedih. "Maaf, Kevin. Aku harus pulang sekarang."

"Kamu akhir-akhir ini jadi aneh dan semakin sulit mengajakku hangout, kenapa?" tanyanya.

"Aku memang orang yang aneh." Gwen tersenyum miring sambil memasuki lift.

Sesampainya di rumah, saat Gwen membuka pintu samping yang langsung terhubung dengan garasi, ia mendapati Nina yang tengah menunggunya di ruang keluarga.

"Nyonya muda, akhirnya pulang." Nina berdiri lega menatap Gwen yang memasuki rumah.

"Maaf, tadi aku kelas malam. Apa Mas Rangga sudah pulang?"

Nina mengangguk. "Tuan muda juga barusan pulang dan langsung masuk ke dalam kamar."

"Mas Rangga sudah makan?"

"Saya tidak tahu. Tapi biasanya Tuan makan di luar."

"Ah ya." Gwen duduk di samping Nina. "Tidurlah, kamu pasti mengantuk. Terima kasih sudah menungguku malam ini."

"Saya hanya takut Nyonya muda tidak pulang."

Gwen tersenyum lembut. "Aku sudah di rumah. Kamu boleh istirahat."

Nina mengangguk dan beranjak pergi menuju kamarnya. Sedangkan Gwen melepaskan flat shoesnya, lalu menggulung rambut membentuk sebuah sanggul sambil melangkah menuju dapur. Ia ingin sekali makan mie instan.

Gwen membuka laci bagian atas dan mengambil sebungkus mie instan. Ia sudah berpesan kepada pelayan rumah untuk membeli beberapa bungkus mie instan. Dan Gwen mulai memanaskan air, lalu mengambil telur dalam kulkas.

Saat ia selesai menutup pintu kulkas, ia nyaris menjatuhkan telur di genggamannya saat Rangga tiba-tiba berdiri tidak jauh darinya. Ia hanya memandang Rangga yang menatapnya dengan dingin.

"Mas mau mie instan juga?"

"No." Rangga menjawab dan melangkah menuju kulkas. "Minggir." ujarnya saat Gwen hanya berdiri di sana dengan wajah polos.

Gwen segera menyingkir dan mendekati kompor, sedangkan Rangga mengambil bir dingin sebanyak dua botol.

"Minum bir tengah malam tidak bagus untuk kesehatan." ujar Gwen tiba-tiba.

Rangga berhenti melangkah dan memicing menatap Gwen dengan tatapan tajam. Tapi Gwen hanya balas menatapnya dengan mata bulatnya yang polos.

Melihat tatapan itu, seketika Rangga merasa kesal luar biasa. Wanita itu benar-benar pintar terlihat polos padahal ia adalah seorang jalang.

"Kalau masih ingin tetap disini, jaga ucapanmu." Lalu ia beranjak pergi sebelum keinginan mencekik Gwen menguasainya. Setiap kali melihat wajah itu, Rangga kembali mengingat kejadian malam sebelum pernikahan mereka, ia melihat Gwen yang tengah mabuk memeluk seorang pria dan mereka memasuki sebuah kamar hotel.

Dibalik sifat polos yang wanita itu tunjukkan, ada sikap nakal yang di sembunyikannya.

Sudah berapa banyak orang yang berhasil tertipu oleh sikap polosnya itu?

Gwen hanya melihat Rangga yang menjauh dengan wajah bingung. Sejak hari pertama, tidak. Sejak awal bertemu, Rangga sudah melayangkan tatapan seperti itu kepada Gwen. Tatapan jijik yang kentara. Apa Gwen pernah melakukan kesalahan sampai membuat Rangga marah padanya?

Ah sudahlah, lupakan saja.

Gwen kembali fokus memasak mie instan dan memakannya seorang diri di dapur. Setelah kenyang, ia memasuki kamar dan mandi. Ia sudah kehabisan tenaga untuk berpikir malam ini, lebih baik ia tidur saja setelah mandi.

***

"Apa kamu selalu pulang tengah malam seperti ini setiap hari?"

"Astaga!" Gwen terkejut dengan suara Rangga ketika ia memasuki pintu samping. "Mas, jangan mengagetkanku." ujarnya sambil mengurut dadanya dengan gerakan pelan.

"Aku tidak peduli kamu pulang jam berapa, tidak pulang juga tidak masalah. Tapi kamu harus ingat, kamu sekarang tinggal di rumah keluargaku, jadi jangan rusak reputasi keluargaku dengan kelakuan kotormu." Nada itu di ucapkan dengan dingin juga sinis, membuat Gwen terpaku di tempatnya.

"Maksud Mas apa?"

"Ck," Rangga berdecak sambil bersidekap. "Berapa uang yang kamu butuhkan? Sebutkan saja padaku, aku akan memberikannya cuma-cuma. Tapi jangan pernah membuat masalah di luar sana. Orang-orang akan mengaitkannya denganku. Dan aku tidak sudi terlibat."

"Mas." Gwen mendekat, tapi kembali melangkah mundur saat Rangga menatapnya begitu tajam. "Aku baru saja pulang bekerja."

Bekerja dalam benak Gwen berbeda dengan 'bekerja' yang dipikirkan oleh Rangga.

"Kalau begitu kamu berhenti saja dari pekerjaanmu. Aku akan membayarmu berkali-kali lipat dari yang kamu dapatkan dari mereka."

Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini. Mereka siapa yang Rangga maksud? Bos-nya? Pak Rama? Ayah mertuanya?

"Aku tidak bisa berhenti begitu saja. Aku sudah terikat kontrak dan aku menyukai pekerjaanku."

Rangga benar-benar harus memberikan standing applause kepada Gwen. Apa begitu sukanya wanita itu dengan pekerjaan kotornya? Apa begitu sukanya wanita itu menjual diri?

"Dengar," Rangga mendekat tapi masih menyisakan jarak di antara mereka, karena ia tidak sudi menyentuh wanita yang ia anggap sebagai sampah. "Kalau begitu sukanya kamu dengan pekerjaanmu, pastikan saja kamu jangan membuat masalah dan mengaitkan semua ini dengan keluargaku. Karena kalau kamu berani membuat ulah..." Rangga mengambil sebuah pisau dapur yang tidak jauh darinya dan meletakkan ujungnya di leher Gwen yang terbelalak takut.

"Aku tidak akan pikir panjang untuk menusukkan ini ke lehermu." Ujarnya dengan nada sungguh-sungguh. "Dan yakinlah aku akan melakukannya tanpa ragu." Kalimat terakhir itu seolah-olah bergema dalam keheningan mencekam di dalam ruangan. Setelah itu Rangga berbalik dan melangkah menuju tangga. Sama sekali tidak menoleh lagi.

Gwen bersandar pada dinding sambil memegangi dadanya. Sebenarnya apa salahnya sampai Rangga menatapnya seperti itu. Apa ia benar-benar di anggap sebagai sampah? Cara pria itu memandangnya benar-benar terasa menyakitkan.

"Kamu baru pulang?"

Gwen terkejut dan menoleh kepada Anika yang menatapnya dengan wajah mengantuk.

"Iya. Saya baru pulang. Saya ke kamar dulu." Gwen tersenyum dan segera melangkah menuju kamarnya sambil menahan air mata.

Ia tidak berniat menangis. Hanya saja ada sebuah desakan airmata yang hendak turun di matanya.

Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri. Pantaskah ia diperlakukan seperti ini?

Ia menutup pintu kamar dan bersandar, menghapus airmata yang tiba-tiba saja turun. Gwen menekan dadanya, mencoba meredakan rasa sakit. Tapi sakit itu tak kunjung reda dan malah semakin menjadi. Seolah kehilangan tenaga, Gwen duduk di lantai dengan kepala tertunduk dalam. Berusaha keras menahan tangis.

Ia akan baik-baik saja.

Ia akan baik-baik saja.

Itulah mantra yang selalu ia rapalkan di dalam hatinya. Berharap mantra itu akan memberinya kekuatan. Meski hanya sedikit, tapi mantra itu memberinya sedikit kekuatan untuk berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.

Ia akan baik-baik saja.

Ya, ia akan baik-baik saja.

To Be Continued