Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 26 - Mimpi Buruk

Chapter 26 - Mimpi Buruk

Wardana's Crop

Satya POV

Aku membuka mata saat menyadari ada orang yang mengetuk-ngetuk kaca mobil. Melihat Anika dengan tatapan ganasnya membuatku langsung membuka pintu. Tunggu dulu, sejak kapan aku menjadi sopir pribadi Anika?

Anika masuk ke mobil dengan kesal. Dia mengempaskan tubuh, melempar pandangan ke luar, seolah menyalahkanku.

"Sorry, aku tidak dengar," ucapku merasa bersalah.

Anika berpaling. "Aku hampir setengah jam tunggu kamu di luar," ucapnya marah.

Aku mengernyit. Kenapa juga Anika marah-marah? Bukankah aku pemilik mobilnya? Lalu kenapa pula aku harus menuruti perintahnya?

"Sorry," ucapku sekali lagi, memilih mengalah.

Namun gadis itu malah terus menatap ke depan, memikirkan sesuatu.

Aku menghela napas. Kenapa hidup gadis itu terlalu banyak beban sehingga malah menyakiti dirinya sendiri?

Anika berpaling, menatapku. "Kenapa belum jalan?"

Aku menginjak pedal gas dengan tenang. Hening. Tak ada yang memulai percakapan di antara kami. Sesekali aku meliriknya. Gadis itu terus memandang ke depan.

"Tadi kamu bicara apa sama Om Sultan?" tanyaku memulai percakapan.

Anika terlihat mendelik, menatapku sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke lampu jalanan, tak menjawab.

Aku mengembuskan napas kesal. Rasanya aku telanjur sabar menghadapi gadis dingin di sebelahku.

"Aku hanya bertanya. Sepertinya kamu sangat tersiksa setelah bicara sama Om Sultan. Apa itu salah?"

Anika tetap menatap lampu jalanan. Ia hanya mengangkat bahu. Mulutnya terkunci.

"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita. Ada aku, ada Qais, Rangga, Lukas. Ada juga kan teman perempuanmu dirumah kan?. Gwen dan Ruby. kamu jangan simpan sendiri," lanjutku.

Mobilkku berhenti saat sadar ujung mobil hampir mengenai mobil di depanku.

"Sepertinya ada kecelakaan, jadinya macet" gumamku menyadari antrean mobil terlihat sangat panjang.

Anika hanya melirik sekilas ke arahku, lalu fokus lagi menatap ke depan. Dia seperti tak ingin menanggapi berbagai ucapanku. Dia hanya ingin... menyendiri.

"Anika, aku bicara dari tadi sama kamu. Berasa bicara sama patung."

Anika mendelik. "Kamu pernah bicara sama patung?"

Aku berdecak. "Tumben kamu bertanya."

Bukan saatnya berdebat

"Tanganmu udah baikan?" tanyaku lembut.

Anika mengangguk.

"Kamu mau makan di mana? Di rumah atau di luar?"

Anika mengangkat bahu. "Terserah."

Aku bingung menghadapi gadis manis disamping ini. Aku tahu setiap orang punya masalah masing-masing. Namun, tak bisakah gadis itu bersikap normal selayaknya manusia? Kenapa dia terus-terusan seperti boneka hidup? Bahkan dia tak bersosialisasi, tak mencari teman.

"Kamu aneh, tahu tidak?" ucapku.

Anika hanya diam, menatap ke luar jendela. Tak berniat ingin menanggapi. Dia tak terlalu peduli anggapanku terhadapnya.

Aku mengempaskan punggung. Menyerah. Aku tak bisa menanggapinya dengan kesabaran lagi. Kalau memang dia inginnya begitu, terserah.

Aku meliriknya sekilas. Pandangan seperti itu lagi. Pandangan kosong bercampur luka. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Apa mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang sedang koma? Aku menghela napas berat.

***

Anika POV

Aku terus memandangi jalanan dengan nanar. Apa yang disampaikan Om Sultan tadi benar-benar mengganggu pikiranku.

Aku pikir selama ini baik baik saja, tapi ternyata banyak hal yang terjadi di luar dugaan.

Pembawa sial.

Aku meremas ujung bajuku kuat-kuat. Aku terluka, terluka saat kata-kata itu terlontar. Bahkan sampai mati pun aku terluka oleh kata-kata itu.

Pembawa sial.

Aku menutup mata, menggigit bibir bawah keras. Tidak! Aku bukan pembawa sial. Akku tak bisa disalahkan atas kematian dua ayahku. Itu takdir. Toh kalau papa tiriku tidak mengunjungiku ke Hamburg, karena takdir, tetap akan meninggal. Jadi bukan aku yang harus disalahkan.

Kenapa? Kenapa beban ini terlalu berat untuk aku pikul? Aku membuka mata pelan saat menyadari ada yang menggenggam tangan kananku. Aku menoleh dan mendapati Satya menatapku cemas. Aku mengerjap, kemudian menarik tanganku pelan.

"Kamu kenapa?" ujarnya lirih, seperti berbisik.

Aku tertegun. Kenapa nada bicara pemuda didepanku seolah menjelaskan dia ikut terluka?

"Pergelangan tanganmu sakit lagi?"

Pembawa sial.

Aku menggeleng cepat. "Aku bukan pembawa sial," ucapku lirih. Keringat dingin meluncur di pelipis.

Satya tersenyum. "Sepertinya kamu lelah, kita pulang saja."

Aku tak menggubris ucapannya.

To Be Continued