Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 24 - Kenangan Buruk Ruby

Chapter 24 - Kenangan Buruk Ruby

Ruby's Store

Sebulan telah berlalu sejak kejadian naas yang menimpa Ruby. Sejak saat itu pula sifat Ruby berubah menjadi pemurung membuat orang di sekitarnya bingung akan perubahannya yang biasanya ceria. Tiap kali ditanya Ruby akan menjawab bahwa dia baik-baik saja. Ruby memang menutup rapat atas musibah yang dialaminya itu. Dia takut untuk bercerita pada siapa pun.

Akhir-akhir ini ketakutannya sendiri karena dia sudah berada di Jakarta. Ia tidak bisa resign karena toko ini diberikan Pak Rama untuk ia dan Gwen kelola. Dia khawatir akan bertemu Lukas walaupun kemungkinan itu kecil tapi tetap saja membuatnya sering panik tiba-tiba. Ruby sudah bisa menerima segala konsekuensi dari perbuatannya. Kini dia hanya ingin meminimalisir kemungkinan bertemu Lukas lagi. Itu saja.

Apalagi setelah ia memutuskan untuk tinggal di kosan dekat tokonya dan kakaknya, Gwen sudah pindah ke rumah keluarga Wardana keberaniannya semakin menciut. Tidak ada lagi tempat berbagi yang bisa dia ajak bicara secara langsung. Ruby menggigit kuku jarinya pertanda sedang gelisah.

"Kukumu bisa habis kamu gigit terus begitu. ada apa?" tanya Akram, salah satu pegawai di toko.

"Tidak ada apa-apa hanya merasa jantungku berdebar lebih kencang."

"Kamu sakit?" Akram menempelkan tangannya di kening Ruby.

"Aku sehat-sehat aja."

"Aku tahu, kamu hanya lapar. Lihatlah sudah jam satu. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?"

"Nanti makin banyak gosip."

"Apa peduliku, suatu kebanggaan digosipkan denganmu."

"Akram, aku tidak bercanda."

"Aku juga serius. Ayolah, kenapa susah sekali mengajakmu makan siang."

"Baiklah, tunggu sebentar."

Ruby berjalan hati-hati seolah bersembunyi di balik bahu tegap Akram, teman sekaligus tetangga kos-annya. Dia berjaga-jaga agar tidak bertemu orang yang dia hindari, sakit hatinya belum terobati diusir begitu saja dengan panggilan jalang.

"Kamu kenapa dari kemarin aneh sekali? Jalanlah di sampingku, Ruby," geram Akram dengan tingkah Ruby. Berjalan seperti maling yang takut ketahuan pemilik rumah.

Ruby nyengir lalu berjalan anggun di samping Akram, mencoba mengabaikan perasaan khawatirnya.

"Kita mau makan siang di mana?" tanya Ruby menarik lengan Akram dan mencondongkan wajahnya di depan wajah Akram.

"Katanya takut jadi bahan gosip," kata Akram seraya mendorong kepala Ruby menjauh.

Seorang resepsionis menghampiri mereka, Ruby memilik meyapu pandangan ke sekeliling menunggu Akram berbicara dengan resepsionis yang sepertinya ada urusan penting dengan Akram.

Matanya membelalak lalu celingukan bingung mencari tempat bersembunyi saat melihat sosok Lukas. Kalau tetap berdiri di sini dapat dipastikan Lukas akan melihatnya. Ruby pun lari ingin bersembunyi tapi kemalangan datang, heels membuatnya terhuyung dan ambruk saat kakinya berpijak tak tepat. Jadilah dia pusat perhatian, padahal niat hati menyembunyikan diri. Dia menunduk kesakitan mengusap engkel kakinya yang sepertinya terkilir. Belum lagi rasa malu di tengah-tengah restoran siap saji menambah rasa sakit di kakinya.

"Mana yang sakit?" tanya Akram yang sudah jongkok di hadapannya, menyibakkan rambut Ruby yang terurai menutup sebagian wajahnya.

Akram membantunya bangun dan berjalan. Tapi baru beberapa langkah dia memapah, dia mendengar suara seruan menggema.

"Hai..." seru Lukas mendekati sosok yang dia cari-cari selama ini.

Dengan langkah lebar Lukas mendekati Ruby. Sementara Ruby meminta Akram berjalan lebih cepat walaupun dia jalan terpincang-pincang membuat Akram bingung sendiri.

"Apa kamu mengenalnya? Sepertinya dia memanggilmu," bisik Akram yang sempat menoleh ke belakang.

"Jangan pedulikan!"

"Apanya yang jangan pedulikan, hah?" seru Lukas.

Tanpa basa-basi Lukas menggendong Ruby dengan gaya bak pengantin baru. Ruby menutup matanya dan menahan nyeri di perutnya, sementara Akram yang ingin mengejar Ruby dihalangi Devan. Lukas membopong Ruby ke dalam mobil tanpa penolakan.

Diliriknya Ruby yang sedari tadi diam sepanjang jalan. "Sakit?"

Tak ada jawaban hanya ada suara ringisan kesakitan. Lukas menepikan mobilnya, mengusap keringat Ruby yang mengucur deras di dahi.

"Apa sesakit itu?"

"Perutku sakit."

"Perut?" tanya Lukas lagi kebingungan, kenapa jadi perut yang sakit? Dengan tangan gemetar dia menekan tombol start mobilnya.

"Tahan sebentar lagi sampai rumah sakit."

Lukas melajukan lagi mobilnya lebih kencang, terkadang mengumpat saat ada motor yang tiba-tiba melaju di depan mobilnya.

"Cepat tolong dia!" teriak Lukas di depan UGD yang membopong Ruby yang memucat.

"Tenang, tunggulah di depan," kata perawat yang sedang menangani Ruby.

"Bagaimana aku bisa tenang?"

"Lukas, tenanglah," Dokter Adam, ayah Satya mengusap bahunya, menenangkan.

"Om, tolong dia. Aku tidak tahu dia tadi hanya jatuh terkilir tapi kenapa jadi pucat begitu. Ya Tuhan, aku bisa mati muda!"

"Tenanglah Lukas, dia sudah ada yang mengurus. Apa dia kekasihmu?"

"Hm... bukan... tapi... ya Om."

"Baru kali ini Om melihatmu sepanik ini. Pasti dia spesial buatmu."

"Mungkin."

Lukas mengacak rambutnya setelah mendengarkan penjelasan soal keadaan Ruby. Akhirnya dia tahu nama wanita itu. Tapi kenyataan yang terjadi membuat dadanya serasa ditendang keras. Dia duduk mengamati Ruby yang masih terlelap dengan infus di lengannya. Pikirannya ke mana-mana, ingin meninggalkan tapi dia begitu penasaran. Ada satu pertanyaan yang ingin dia tanyakan.

"Aw... Mom? kenapa Mom di sini?" Lukas terkejut saat kepalanya dipukul dengan tas tangan ibunya.

"Apa yang kamu lakukan, hah? Mom kan sudah bilang berhenti bermain wanita Lukas. Sekarang dia hamil lalu kamu gugurkan. Ya Tuhan, di mana pikiranmu sampai menggugurkan bayimu! Dasar anak kurang ajar!" Seru Mom seraya memukul-mukul Lukas. Sedangkan Lukas hanya bisa menutup wajahnya dari serangan ibunya.

"Mom, jangan teriak-teriak Ruby sedang tidur."

"Jangan meminta Mom diam kalau kelakuanmu begini!"

Lukas segera memaksa ibunya keluar kamar, suara ibunya sungguh menggelegar. Bisa saja membangukan Ruby yang tengah tertidur. Tapi ibunya menolak, malah memukul lengan Lukas berkali-kali. Geram dan merasa kehabisan akal karena ulah Lukas.

"Kita bicara nanti di rumah. Sebaiknya Mom pulang," bisik Lukas setengah memaksa tak lagi memohon.

"Mom kecewa sama kamu," kata Mom sedih berhenti memukul Lukas.

"Mom, maafkan Lukas. Tapi sungguh bukan Lukas yang menggugurkannya, dia tadi jatuh tanpa sengaja."

Sebuah pukulan kembali mendarat di kepalanya, Mom kembali geram dengannya.

"Astaga Lukas, kalau wanita itu mendengarnya habislah kamu. Jangan harap ada maaf untukmu. Mom kasihan padamu. Sudahlah Mom pulang, kita bicarakan lagi nanti di rumah."

"Oke, Mom, sebentar lagi aku pulang."

"Jangan pulang sebelum wanita itu pulang! Bertanggungjawablah."

"Mom, dia bukan hamil anakku. Bahkan sekarang anak di perutnya sudah tak ada, apa yang harus dipertanggungjawabkan?" kata Lukas dengan intonasi naik dan putus asa.

"Terserah, Mom tetap menganggap dia itu korbanmu. Mom bisa gila mengurus kalian!"

Lukas menjambak rambut sepeninggalan ibunya. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana, ingin mengabaikan tapi ada hal yang mengganjalnya. Lukas membalikkan badan dengan menghela napas berat, langkahnya berhenti saat melihat Ruby sudah membuka matanya. Bertanya-tanya apakah Ruby mendengar percakapannya dengan ibunya.

"Kamu sudah bangun? Maaf sepertinya ibuku membangunkanmu."

"Bisa tolong keluar?"

"Hah? Mak..."

"Keluar aku bilang. Keluar!" teriak Ruby tanpa mau melihat Lukas saat ia mendekat.

"Apa kamu hamil anakku?" tanya Lukas pelan saat melangkah mundur.

Ruby menoleh, menatap tajam Lukas dengan tatapan benci. "Keluar!"

Tangis Ruby pecah setelah mendengar suara pintu tertutup, perasaannya hancur. Dia menyesal, sejak awal dia sudah salah. Dia menangis kesakitan, bagaimana dia tak tahu kalau dirinya hamil? Diusapnya perut ratanya, tangan yang lain membekap mulutnya agar suara tangisnya teredam.

Tangannya meraba-raba ponselnya tapi dia tak menemukannya. Tepat saat itu seorang perawat masuk dan langsung menghampiri Ruby yang tengah menangis.

"Mbak kenapa? Ada yang sakit?"

Ruby menggeleng tanpa bicara, air matanya terus mengalir sampai perawat itu kebingungan.

"Bisa tolong hubungi nomor kakak saya, Suster?" pinta Ruby akhirnya.

Dia butuh seseorang, dia tak mau sendirian saat ini. Semua terlalu cepat berjalan sampai dia tak mampu berpikir apapun.

To Be Continued