Chapter 2 - Prolog

Hari itu malam tanpa bulan. Lorong kastil Bethovel tampak gelap gulita, dengan jasad prajurit dua wilayah yang tergeletak di tiap sudut, tak lupa dengan darah yang telah terpercik dari tubuh mereka tentunya masih mengalir dan menetes. Seorang laki-laki melewati lorong itu dengan pedang dan pakaian hitamnya yang berlumuran darah. Wajahnya tidak menunjukkan rasa jijik, ngeri, atau takut akan pemandangan di hadapannya. Langkah sepatunya bergema dengan keras. Lalu ia berhenti dan mendobrak pintu raksasa di depannya.

Ia menatap seorang gadis dengan sekujur tubuh yang berlumuran darah. Gadis dengan sorot mata tegas, warna rambut merah yang memikat pandang. Sambil mengusap-usap pedangnya ia menoleh menatap pria itu.

"Oh sudah tiba rupanya." Merillia maju dengan menghunus pedangnya yang baru saja dipoles itu. "Kau harus membayar perbuatanmu boneka! Setelah kau membunuh pamanku di medan perang, membuat rencana pembunuhan ayah, dan membunuh adikku yang sedang pergi berkelana di antah-berantah! Aku tidak akan mengampunimu!" Katanya maju menyerang.

Pria itu dengan cepat mengelak dan membalas serangan Merillia. Kedua pedang saling beradu di ruang singgasana yang sunyi. Tidak terdengar suara hewan ataupun angin malam yang berhembus, suasana penyergapan di malam hari itu nampak mengerikan. Ah bukan, maksudnya adalah keadaan kastel Bethovel saat ini. Benteng yang kokoh itu hancur, rumah kaca yang cantik itu telah retak, kebun yang indah dengan bunga mawar telah hangus, dan danau yang jernih itu telah berubah warna. Bisa dibilang kastel Bethovel lebih cocok dikatakan "Tanah Merah Selatan" daripada julukan "Benteng Fajar" yang diberikan secara tidak langsung oleh para bangsawan ataupun rakyat kerajaan selatan.

"Haha, lihat dirimu! Benar-benar tanpa ekspresi! Sebenarnya apa tujuan hidupmu tuan?" Merillia mati-matian menangkis pedang musuh di depannya itu. Pria itu diam saja, tidak menjawab. Atau malah bisa dibilang berpikir. Merillia dengan gesit menyerang, namun sang lawan sangat mudah membaca pergerakannya. Dengan tubuhnya yang penuh luka, merillia merintih dan pedangnya berhasil dilemparkan oleh lawan. Ia terduduk di lantai yang merupakan tempat biasa ia membungkukkan dirinya di hadapan ayahnya, kepala keluarga terdahulu. "Kalau dipikir-pikir itu sudah lama sekali," pikir Merillia sambil menatap lantai dan memandangi telapak tangannya yang bersimbah darah bekas pertarungannya sebelum itu. Kini mata emasnya nampak kosong seketika.

"Bunuh aku sekarang Grand Duke!" Kata Merillia dengan posisi tangan yang terbuka, memberikan ruang lapang menanti sebuah pedang menancap di dadanya. Pria itu menatapnya dan maju mendekat.

Air mata merillia menetes entah mengapa. "Aku sudah tak memiliki siapapun. Tidak ada yang bisa dipertahankan lagi… Ibuku, ayahku, adikku, pamanku, bibiku, kesatria Bethovel, dan tanah yang kucintai. Aku ingin bertemu keluargaku dengan cepat!" Kata Merillia dengan isak tangis. Manik emasnya dipenuhi rasa pilu dan kehilangan. Lantas pria itu berhenti berjalan, menatap Merillia yang menangis.

"Apa itu yang membuatmu bertahan?" Tanya Grand Duke.

"Lantas apa lagi? Bagiku hidup adalah tentang keluarga, mencintai, dicintai, kasih sayang, ikhlas, jujur, tulus, dan menghargai. Sekarang aku sudah tidak punya apapun untuk kulindungi, jadi bunuh saja aku!" Teriaknya.

"Ah, maaf. Anda pasti berpikir bahwa itu adalah alasan yang sangat naif" ujar merillia.

"Tidak." Jawab Grand Duke. "Bagi saya anda adalah perempuan yang mampu menghadapi segala bahaya. Anda melindungi apa yang ingin anda lindungi, itu tidaklah aneh"

Merillia menatap wajah Grand Duke di depannya. Wajah datar dengan cipratan darah di pipi, serta mata merah menyala yang kontras dengan warna rambut biru malam. Sungguh wajah seorang tiran.

"Kalau begitu Duchess, sebuah kehormatan untuk mengakhiri anda disini" kata si pria sambil mengangkat pedangnya. Merillia tersenyum puas.

"Dengan senang hati."

.

.

.

.

.

Jleb!

Pedang menusuk tubuh merillia. Darah segar terciprat di sekitarnya. Sungguh ironis. Sekarang ia sudah gagal melindungi tanah yang ia cintai. Ini sudah kesekian kalinya, ia gagal melindungi hal yang ingin ia lindungi.

"Apakah aku mati?

Sungguh cara yang tidak estetik untuk mati di tangan musuh,

Aku lebih memilih mati di hari tua daripada seperti ini.

Gelap. Apakah aku bodoh?

Sebenarnya apa yang selama ini kulakukan?

Tidak ada yang berhasil dan berguna.

Sepertinya aku pantas mati dengan tidak terhormat

Sungguh pecundang.

Apabila dewa di kuil muncul,

Akankah ia mendatangiku lalu memaafkanku?

Aku ingin membuktikan diriku sekali lagi

Bahwa aku,

Mencintai Bethovel dengan jiwa ragaku."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Setelah itu, dewa-dewa mendengar sebuah doa yang tiba-tiba dilantunkan. Melihat sebuah harapan, mereka memberikan berkah dan menunjukkan keajaiban. Seberkas cahaya muncul. Memutar kembali roda gerigi kehidupan, dan memberikan kesempatan kedua. Sekarang mari kita lihat bagaimana ia akan mengubah kehidupannya yang telah hancur.