Aku dapat melihat sebuah cahaya di kejauhan, pandanganku masih kabur, namun, aku dapat menggerakkan kedua tangan dan kakiku.
"Inikah dunia setelah kematian? Mana malaikat yang seharusnya menjemputku dan mengantarku ke cahaya itu? Mitos-mitos itu ternyata tidak benar adanya ya." Gerutuku.
"Yah… sudah terlambat juga sih untuk menyadari itu." Tambahku saat menyadari tidak ada gunanya untuk melawan takdir.
Aku mencoba untuk menyandarkan diriku.
Pandanganku masih kabur, tubuhku masih terasa lemas, tapi, setidaknya aku sudah dalam keadaan yang lebih baik dan sudah jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
Aku mulai memperhatikan sekitar.
Keadaannya yang gelap ditambah dengan pandanganku yang belum pulih sepenuhnya tidak membantuku dalam mengetahui tentang dimana diriku sekarang, apakah memang aku sudah mati? atau aku masih hidup? Setidaknya aku masih dapat menggenggam tanganku dan merasakan jari-jariku bersentuhan.
Aku mulai meraih ke sekitarku, berharap menemukan sesuatu ditengah kegelapan ini.
Ah, kepalaku rasanya pusing sekali.
Jari-jariku mulai menjelajah disekitar permukaan kasar yang sedang kududuki ini, konturnya terasa sangat familiar.
Tanganku akhirnya menyentuh sesuatu, rasaya dingin dan keras, bentuknya juga mirip seperti botol minuman besi yang biasanya kubawa, aku kemudian mengambil barang itu dengan tangan kananku.
Selagi mencoba untuk menggenggam barang tadi, aku juga mengusap mataku dengan tanganku yang lain, berharap pandanganku menjadi lebih jernih.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, cahaya yang sedari tadi aku lihat menjadi semakin jelas.
Aku masih hidup ternyata, sekarang dengan jelas aku dapat melihat bahwa cahaya yang sedari tadi aku pandangi itu berasal dari luar Gua yang sama. Kualihkan pandanganku ke tangan kananku, benar saja benda yang kupegang ini botol minumku.
Sedikit demi sedikit aku dapat mengumpulkan lagi kesadaranku, sedikit demi sedikit juga ingatanku mulai kembali. Instingku langsung berkata untuk memeriksa sekelilingku, rasa takut mulai menyergap, mataku dengan sigap menjelajah ke segala arah. Keadaan masih terlalu gelap untuk melihat sekeliling, sepertinya matahari sedang berada pada puncak tertingginya, itu menjelaskan mengenai sedikitnya cahaya yang dapat masuk ke Gua ini.
Aku mulai merapalkan mantraku.
Bola cahaya mulai muncul, aku lantas meletakkannya di lantai Gua.
Sekali lagi aku memeriksa keadaan disekitarku dan membalikkan badakun beberapa kal, aku tidak dapat menemukan beruang itu dimanapun, yang aku dapati hanyalah dinding-dinding gua, jalan lurus yang mengarah jauh lebih dalam ke dalam gua, serta langit-langit yang terlihat rusak akibat guncangan yang terjadi sebelumnya.
Aku mengambil nafas dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan.
Sepertinya beruang itu sudah benar-benar tidak ada disini.
Rasa haus mulai menyapa, kubuka botol minumku dengan perlahan dan mulai meneguk air dingin yang dari dalam botol.
Setelah merasa jauh lebih tenang, aku mulai memfokuskan diriku untuk mengumpulkan barang-barang yang berserakan lalu merapihkannya kembali ke dalam tas. Semuanya lengkap kecuali bungkusan yang berisi buruanku, tidak apalah, aku bisa berburu lagi lain hari, yang pasti sekarang aku harus bisa kembali ke rumahku dengan selamat.
Aku mulai berdiri, kakiku terasa aneh, rasanya seperti kehilangan sebagian besar dari kekuatannya untuk berdiri. Mungkin ini akibat dari apa yang terjadi sebelumnya? aku memang belum pernah bertemu dengan monster semacam itu sebelumnya. Predator yang paling sering aku temui adalah serigala berkepala tiga, bulu mereka yang berwarna putih membuat mereka dapat dilihat dari kejauhan, jadi biasanya aku dapat menghindari berhadapan dengan mereka, sifat mereka yang teritorial juga membantuku memetakan wilayah mana saja yang dapat kugunakan untuk berburu.
Tujuh belas tahun aku hidup disini, belum pernah aku bertemu dengan beruang seperti itu sebelumnya, kebanyakan dari beruang yang ada disini hidup disekitar aliran sungai yang membelah sebagian besar Hutan Niri ini, buruan mereka juga biasanya adalah ikan-ikan besar yang hidup di sungai. Mereka jarang sekali berkeliaran diluar dari wilayah tersebut, bukan hanya karena buruan mereka lebih banyak di sungai, tetapi juga untuk menghindari konfrontasi yang tidak perlu dengan serigala berkepala tiga.
Dengan hati-hati aku mulai melangkahkan diriku menuju mulut gua, entah kenapa rasanya jalan keluar terasa lebih jauh, atau mungkin karena kakiku yang berjalan lebih lambat dan berat.
Setelah beberapa saat berjalan, aku akhirnya sampai di mulut Gua, seperti dugaanku sebelumnya, hari sudah menjelang siang, dimana Matahari sedang memancarkan cahayanya yang menyengat.
Aku dapat merasakan hembusan angin lembut dari arah pepohonan, padahal aku berada di dalam Gua itu baru sehari saja, tapi, entah kenapa rasanya aku sangat merindukan semilir angin ini.
Aku mulai membuka peta dan merencanakan jalur pulangku, sadar benar dengan ancaman bahwa beruang itu mungkin masih berkeliaran disekitar sini, aku memutuskan untuk memilih jalan memutar yang lebih jauh jika dibandingkan dengan sebelumnya, tapi, setidaknya jalur itu adalah jalur paling aman yang aku ketahui.
Sebaiknya aku mulai bergerak sekarang, selagi Matahari masih tinggi menyinari Hutan Niri.
Aku mulai mengambil jalur kanan dari mulut Gua, yang kemudian akan dilanjutkan dengan perjalanan mengitari wilayah padang rumput, tidak jauh dari sana seharusnya aku sudah dapat melihat pekarangan belakang rumahku yang dikelilingi dengan pagar-pagar kecil untuk melindungi kebun kecilku.
Sembari berjalan melewati jalan setapak yang dulu kubuat seadanya, aku juga memperhatikan sekitar untuk mencari kayu atau bekas dahan pepohonan yang dapat aku gunakan untuk membantuku berjalan sebagai tumpuan, kedua kakiku tidak sakit, hanya saja aku sedikit kesulitan untuk berjalan seperti biasa.
Seharusnya tidak sulit untuk menemukan kayu yang cocok digunakan sebagai tongkat untuk membantuku berjalan, setelah beberapa saat mencari, mataku tertuju pada kayu yang kurasa cocok.
Aku mulai melangkahkan kakiku kesana, tidak jauh, namun, jaraknya cukup dekat dengan padang rumput. Aku tidak terlalu suka berada di tempat terbuka seperti itu, rasanya ada saja yang mengintai dari balik pepohonan, belum lagi padang rumput yang luas itu tidak memberikan banyak tempat untuk bersembunyi ataupun melarikan diri.
Setelah cukup dekat, aku mulai memelankan langkahku dan mulai lebih memperhatikan sekitar, dengan hati-hati tanganku mulai meraih kayu yang tergeletak di tanah tersebut.
Setelah mengambil kayu itu, aku mundur dengan perlahan sembari memperhatikan apa yang ada di belakangku. Setelah beberapa langkah kebelakang, aku mulai membalikkan badanku dan melanjutkan perjalananku di jalan setapak, jaraknya masih cukup panjang dari sini.
Matahari sudah mulai bergeser, namun, panasnya yang menyengat masih dapat kurasakan menembus payung-payung dedaunan.
Aku mulai berjalan dengan bantuan kayu yang baru saja kuambil, beban dikakiku rasanya sedikit berkurang, setidaknya dengan ini aku dapat mencapai tanda berikutnya dan beristirahat disana.
Aku kemudian mengikuti jalan ini selama beberapa waktu hingga akhirnya aku menemukan sebuah papan yang diikat dengan erat menggunakan kain yang sudah berwarna putih kecoklatan.
"Sudah sampai disini ya, sebentar lagi seharusnya aku sudah sampai di pekarangan belakang rumahku." Ucapkku.
Matahari sudah bergeser jauh dari tempat awalnya, cahayanya mulai menembus batang-batang tinggi pepohonan. Aku mulai merasa lelah, akupun lantas menyandarkan diriku ke salah satu pohon yang ada di sebelah kanan jalan.
"Pemandangan ini tidak buruk juga." Gumamku.
Tidak jauh di depan mataku, terhampar padang rumput yang luas, padang rumput ini berada di tengah-tengah Hutan Niri, tempatnya yang sangat luas mencakupi banyak wilayah, aku dulu suka sekali berlarian diantara ilalang-ilalangnya yang tinggi, hembusan angin seakan membuat rerumputan tinggi itu seperti berdansa mengikuti alur irama angin yang menyapa mereka dengan lembut. Tidak berbeda jauh dengan ilalang yang ada di padang rumput itu, rambutku yang berwarna silver ini juga sepertinya juga tidak lepas dari sapaan semilir angin, rasanya sedikit menyegarkan.
Aku mulai membuka tas yang kubawa, dengan perlahan aku mengeluarkan bekal makanan keduaku, isinya tidak banyak, hanya daging yang sudah dimasak dengan campuran rempah khusus yang membuatnya dapat dimakan pada waktu yang cukup lama.
Rasanya yang asin dan pekat tidak pernah berubah sedikitpun, aromanya yang kuat dan khas juga tidak berubah dari dulu, dari banyaknya makanan, hanya masakan daging ini yang aku tidak terlalu suka aromanya, terlalu kuat untukku.
Setelah selesai memakan bekal makananku, aku mulai merapihkan kotak kayu makananku dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Aku memutuskan untuk bertahan disini sedikit lebih lama lagi, menikmati sejuknya angin sore sembari mendalami ketenangan hutan yang entah kenapa rasanya begitu asing sekarang, padahal baru kemarin aku pergi berburu.
Samar-samar aku dapat mendengar suara gesekan dari semak-semak, awalnya aku kira itu datang dari padang rumput yang ada didepanku, namun, semakin lama suaranya menjadi semakin jelas dan itu datang dari kedalaman hutan yang kebetulan berada di belakang dari posisiku sekarang.
Grrrrrr
Aku tahu betul suara itu, suara serigala berkepala tiga, sial, kenapa dia ada disini? Aku yakin sekali tidak ada lingkaran merah disekitar sini. Aku sendiri sering sekali mengelilingi wilayah ini untuk mencari dan mengambil beragam tumbuh-tumbuhan yang dapat kujadikan sebagai obat maupun bahan makanan. Semoga saja dia tidak tahu keberadaanku disini, tapi, untuk berjaga-jaga, dengan hati-hati aku mulai meraih tongkat kayu dan pisau yang aku miliki, posisiku sekarang masih dalam keadaan duduk, sebisa mungkin aku untuk tidak bersuara.
Tiba-tiba saja keadaan hutan menjadi jauh lebih mencekam, suara semak-semak masih dapat terdengar diikuti dengan geraman Serigala itu, aku dapat mendengar langkahnya yang pelan tapi pasti mulai mendekatiku, apakah ia sudah menyadari keberadaanku? seharusnya tidak, atau, setidaknya belum, karena aku masih dilindungi oleh batang pohon yang cukup besar ini.
Setelah beberapa saat, erangan Serigala itu sekarang sudah tepat berada di belakangku, namun, hanya tidak lama setelah itu suaranya sempat berhenti, keadaan menjadi jauh lebih tegang sekarang.
Aku masih mengawasi dengan ketat keadaan disekitarku.
Suara gonggongan yang diikuti dengan lolongan Serigala kemudian terdengar, memecah keheningan hutan, gonggongan itu berarti ia sudah siap untuk berburu, sedangkan lolongannya bertujuan untuk memanggil kawanan serigala lainnya di sekitarnya.
Ini saatnya untuk bertindak, pikirku. Aku mulai berdiri dan melompat ke arah jalan setapak.
Benar saja, Serigala itu sekarang sudah siap untuk menghadapiku, kuda-kudanya yang memajukan kedua kaki depannya dan menundukkan kepalanya menandakan bahwa ia siap untuk menerkam.
Aku harus berfikir cepat sekarang, jika mengingat kebiasaan berburu mereka, untuk serangan-serangan awal mereka akan menargetkan bagian tubuh yang dapat melambatkan atau menghambat pergerakan dan perlawanan mangsa mereka, seperti kaki ataupun tangan mangsanya. Lalu, setelah beberapa saat Serigala itu akan kembali dan mulai menyerang secara acak bagian-bagian tubuh mangsanya, sembari memakan bagian tubuh atau daging yang terlepas, dan yang terakhir mereka akan mengarahkan serangan mereka pada leher mangsanya sebagai bentuk penyelesaian proses berburunya.
Sekarang aku harus menebak bagian mana yang akan diserang oleh serigala itu duluan, tangan atau kakiku. Aku mulai sedikit membungkukkan badanku, tangan kiriku yang memegang kayu kuletakkan di depan dadaku, sedangkan, tangan kananku yang memegang pisau posisinya lebih rendah dan dekat ke kakiku. Ini setidaknya dapat meningkatkan kesempatanku untuk melawan balik Serigala di depanku ini.
Sebentar lagi dimulai ya, aku meneguk ludahku sendiri, gugup sekali rasanya. Aku sangat ingin berlari sebenarnya, hanya saja dengan keadaan kakiku sekarang ini, tidak mungkin untukku lepas dari kejaran Serigala ini.
Serigala itu mulai memundurkan badannya, sebentar lagi dia akan menerjang maju dengan seluruh tenaganya, aku juga mulai menggenggam dengan lebih kuat kedua senjataku ini.
Serigala itu mulai meloncat dan berlari kedepan, langkahnya yang cepat menyulitkanku untuk menebak bagian mana yang akan ia terjang, aku harus memfokuskan perhatianku pada kemana arah pandangan mata dari Serigala ini terarah, masalahnya adalah, ia memiliki enam pasang mata yang masing-masing kepalanya memperhatikan hal yang berbeda.
Sepertinya kedua kepala di bagian kiri dan kanannya digunakan untuk memperhatikan sekitar, baiklah, aku akan memfokuskan pandanganku pada kepala yang berada di tengah. Gerakan Serigala yang lincah ini membuatku sulit untuk memfokuskan pandanganku padanya, jarak antara dirinya denganku juga sudah semakin mendekat.
Semakin dekat, dan semakin dekat, sekarang setidaknya jarak kami tidak lebih dari satu langkah, matanya mengarah ke atas, lenganku ya? Serigala itu lantas meloncat dan bersiap untuk menerkam lengan kiriku dengan ketiga kepalanya, pada saat yang sama aku juga mengayunkan kayu yang kupegang. Serigala itu sepertinya mengantisipasi gerakanku, ia menggigit dengan erat kayu yang kupegang sekarang, ia mencoba menggoyangkan tubuhnya sekuat mungkin untuk melepaskan kayu ini dari genggamanku, sementara tubuhnya yang sekarang sudah menapak tanah mulai menarik mundur kayu yang kupegang.
Sial, aku mulai kehilangan genggamanku, aku juga mencoba melawan tarikannnya dengan menanamkan kakiku ditanah, tapi, Serigala ini terlalu kuat, aku mulai terseret kearahnya. Aku lantas mulai menggerakkan tangan kananku dan mengayunkannya kearah serigala itu, tapi, jarak diantara kami sedikit lebih jauh dari jangkauan tangan kananku.
Aku mulai merapalkan mantra, karena kedua tanganku sekarang sedang sibuk, aku mulai memfokuskan energiku ke seluruh tubuhku. Karena ini keadaan antara hidup dan mati, aku akan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk membuat diriku bersinar, setidaknya dengan ini aku dapat membutakan Serigala itu dan kawanannya selama beberapa saat, dan beberapa saat itulah yang aku perlukan.
Setelah tenaganya kurasa cukup, aku mulai membuat diriku bercahaya seterang mungkin.
Benar saja, Serigala itu tersentak mundur, namun, keenam matanya masih terbuka, ia mulai menyerang membabi buta ke segala arah, ini kesempatanku! Pikirku. Aku mulai menerjang maju untuk menikam Serigala itu, sayangnya, walaupun matanya tidak dapat melihat dengan baik, ia masih dapat mendengar langkahku yang mendekatinya. Ia lantas melompat ke arahku, namun, aku berhasil menghindarinya dan menikam bagian kanan perutnya. Meskipun aku dapat menghindar, cakarnya masih sempat melukai tangan kananku yang membuat genggaman pisauku terlpeas, sekarang pisau sekarang itu tertancap di perut Serigala itu.
Darah yang keluar dari tangan kananku mulai menyembur semakin deras, sembari memegang tongkat kayu, aku mulai menekan luka yang ada dengan tangan kiriku, cahaya yang kupancarkan juga semakin meredup, sebentar lagi kesempatanku untuk melawan akan menghilang, begitu juga dengan kesempatanku untuk hidup. Sekali lagi aku mencoba untuk menerjang Serigala itu dan menyerangnya menggunakan kayu yang kumiliki, berharap setidaknya aku dapat membuatnya kehilangan kesadaran, karena jika dilihat-lihat lagi ia juga mulai kewalahan dengan luka yang ada diperutnya. Setelah berada cukup dekat dengan Serigala itu aku mulai mengayunkan kayu yang kupegang sekuat tenaga dengan kedua tanganku, Serigala itu sepertinya mencoba untuk melompat, namun, luka yang dideritanya tidak membiarkannya untuk melakukan itu, aku lantas berhasil memukul dengan keras kepala serigala yang berada di bagian tengah.
Serigala itu terpukul mundur, ia sepertinya mencoba untuk mempertahankan kesadarannya, begitu juga denganku, cahaya yang kupancarkan sudah sepenuhnya menghilang, luka di tangan kananku menjadi semakin perih, aku mulai kehilangan banyak darah, sulit rasanya untuk tetap membuka kedua mataku.
Aku tidak dapat berdiri lagi, aku sekarang sedang berlutut dan mencoba untuk tidak jatuh ke tanah dengan menahan diriku menggunakan kayu sebagai sanggahanku.
"Curang sekali." Ucapku lirih.
Aku dapat melihat kalau kepala Serigala yang berada di tengah sudah tidak dapat bergerak lagi, ia hanya menggelantung disana, namun, kedua kepala lainnya masih dapat menggeram dan tubuh Serigala itu masih dapat berdiri tegak.
Keadaan menjadi semakin sulit, aku tidak yakin dapat melakukan serangan lagi, berdiri saja sulit rasanya, tangan kananku juga sudah kehilangan banyak darah sembari memegang tongkat kayu sebagai tumpuan agar aku tidak sepenuhnya jatuh ke tanah, sedangkan tangan kiriku sibuk untuk menutupi luka yang ada di tangan kananaku. Aku dalam keadaan yang sangat buruk sekarang.
Kesempatanku sekarang hanyalah menusuk lebih dalam pisau yang sudah tertancap itu atau menusuknya lagi berkali-kali lagi, dengan luka baru yang aku berikan nantinya, aku harap itu cukup untuk mengalahkan Serigala di depanku ini dengan pendarahan hebat dari tusukanku.
Serigala itu dengan tertatih-tatih mulai mendekatiku, aku masih dalam keadaan berlutut.
"Maju…" ucapku.
"Maju sini!!" teriakku.
Aku memindahkan tongkat kayu yang awalnya kupegang di tangan kanan ke mulutku, target mereka sekarang adalah leherku, dengan sekuat tenaga aku menggigit tongkat kayu itu.
Serigala itu datang, aku tidak menghindar, aku lantas menggerakkan mundur badanku siap untuk menerima serangan Serigala itu. Sesaat setelah Serigala itu menerkam, aku mengarahkan tongkat yang kugigit untuk memiliki level ketiggian yang sama dengan kedua mulut Serigala itu.
Serigala itu menerkam, perhitunganku benar, aku sekarang sedang dalam keadaan terbaring, ditindih oleh Serigala itu. Kedua kepalanya menggigit dengan keras tongkat kayuku, cakar-cakarnya yang meronta mulai melukai bagian lain tubuhku, aku mulai menggerakkan tangan kiriku untuk meraih pisau yang ada di bagian perut Serigala tersebut.
Setelah berhasil menggenggam pisau milikku, aku mulai menarik dan menusuk lagi Serigala itu, tidak cukup sekali dua kali, aku menusuknya berkali-kali di bagian perut. Aku dapat merasakan banyak darah yang mengucur di tangan kiri dan bagian perutku, perlahan gigitan Serigala itu mulai melemah.
Sedikit lagi! Pikirku.
Dengan sedikitnya tenaga yang aku miliki, aku menghujamkan pisauku jauh ke dalam perut Serigala itu. Terdengar erangan kuat keluar dari kedua mulut Serigala itu yang kemudian diikuti oleh lolongan kuat darinya. Setelah beberapa saat, Serigala itu berhenti bergerak dan jatuh menindih tubuhku yang sedang terkapar lemah ini.
"Aku… menang." Ucapku dengan nafas tersengal-sengal.
Dengan susah payah aku kemudian menyingkirkan tubuh Serigala itu dari tubuhku. Aku kemudian mengambil pisau dan tongkatku, lalu aku mulai mencoba untuk berdiri, namun, sepertinya kakiku menolak untuk bekerjasama, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk melanjutkan perjalananku. Dengan tenaga yang tersisa, aku mulai merangkak ke arah pohon terdekat dan menyandarkan diriku disana.
Baru saja aku dapat beristirahat, dari dalam hutan aku dapat mendengar raungan keras, kali ini suaranya berbeda dengan suara Serigala, namun, entah kenapa suaranya terdengar familiar.
Sial… jangan sekarang. Demi apa aku harus menghadapi binatang buas lainnya?
Pandanganku sudah mulai kabur, tapi, dari arah dalam hutan aku dapat melihat siluet sosok beruang yang sedang berlari kesini. Entah ini aku yang berhalusinasi atau tidak, tapi, semakin dekat beruang itu dengan posisiku, figurnya menjadi semakin besar dan semakin membesar setiap langkahnya.
Sekarang, beruang itu sedang berada di sebelah pohon yang sebelumnya menjadi tempatku untuk beristirahat. Ah, sekarang aku ingat figurnya yang besar itu. Bulu tebalnya yang berwarna hitam pekat dan tinggi punggungnya yang mencapai setengah dari tinggi pohon-pohon tinggi yang ada di hutan Niri ini bukanlah suatu hal yang masuk akal.
Mana mungkin aku bisa menang melawan sesuatu seperti itu, apalagi saat ini. Beruang itu terlihat kelelahan, nafasnya seperti terengah-engah, seperti sedang mengejar sesuatu atau setidaknya terburu-buru menuju ke suatu tempat, jikalau memang begitu, lalu kenapa dia berhenti disini?
Matanya yang besar itu mulai mengamati ke sekitar, mata kami lalu bertemu, namun, beruang itu mengalihkan pandangannya ke mayat Serigala yang ada di dekatku, beruang itu kemudian melihat dengan bergantian ke arahku dan mayat Serigala yang ada di sebelahku. Setelah beberapa saat bertukar pandang, beruang itu kemudian mulai berjalan kearahku.
Habislah aku, pikirku.
Aku yakin aku tidak berhalusinasi, perlahan tapi pasti ukuran Beruang itu menyusut dan terus menyusut. Saat dia sampai dihadapanku, ukurannya kurang lebih sama seperti ukuran beruang biasanya. Ah, setidaknya itu menjelaskan kenapa aku belum pernah melihatnya sebelumnya, ia mungkin tidak terlalu sering menggunakan wujudnya yang mengerikan itu. Sekarang aku malah penasaran bagaimana ia bisa melakukan itu?
Bukan saatnya untuk mengkhawatirkan hal-hal seperti itu, beruang itu sekarang sedang menatapku tajam sambil menjaga jaraknya dariku.
"Hai… sepertinya kita bertemu lagi…" suaraku terdengar parau dan lemah.
Beruang itu tidak memberikan respon apapun.
"Bisakah aku minta tolong sesuatu? Aku yakin kamu dapat mengerti apa yang kukatakan bukan?" Ucapku sembari menunjuk kearah tasku yang masih tergeletak di batang pohon tempat aku beristirahat sebelumnya.
Beruang itu mengangguk, ia kemudian membalikkan badannya dan berjalan kearah tempat yang kutunjuk. Setelah sampai disana, Ia kemudian menggigit tasku dan mulai membawanya kepadaku, lalu, dengan perlahan, ia juga meletakkannya di hadapanku agar aku dapat meraihnya.
"Ah, terima kasih banyak. Hei… aku yakin bukan hanya ini akan terdengar aneh, tapi juga egois. Bisakah kamu mengantarku ke rumahku? Kamu tahu kan rumahku dimana?" pintaku.
Aku tahu benar permintaan yang aku katakan ini benar-benar tidak masuk akal, dia adalah seekor beruang, mungkin benar ia dapat memahami apa yang aku katakan, namun, ia juga seekor beruang liar, seekor monster. Disisi lain aku juga tidak memiliki banyak pilihan, jika ia meninggalkanku sendiri disini pun aku akan mati oleh serigala lain atau pendarahan di tangan kananku.
Beruang itu mengangguk. Aku terkejut, apakah ia benar-benar ingin menolongku?
Ia kemudian mulai menunduk dan merendahkan badannya.
"Err… aku harus apa?"
Beruang itu kemudian menepuk punggungnya, seakan mengisyaratkan kepadaku untuk naik ke atas punggungnya.
"Ah!" ucapku dengan antusias. Terlalu antusias mungkin, dadaku tiba-tiba saja merasa nyeri setelah mengeluarkan suara keras seperti itu.
"Aagh…" Erangku setelah menggerakkan banyak bagian tubuhku yang tidak seharusnya digerakkan, rasanya perih sekali luka-luka ini.
Aku mulai mencoba untuk berdiri dan memanjat punggung beruang hitam ini, setiap kali tanganku mencoba untuk menarik diriku naik, rasa sakit di tanganku juga semakin menjadi.
"Hyap," Ucapku setelah berhasil menaiki punggungnya.
Beruang itu kemudian menggigit tasku dan bersiap untuk bergerak maju.
"Pelan-pelan ya, aku tidak dapat berpegangan dengan baik diatas sini."
Ia mengangguk.
Beberapa saat kemudian aku dapat merasakan punggung beruang ini mulai melebar, aku berusaha untuk menyeimbangkan diriku, sulit rasanya, tapi, setelah beberapa saat, sepertinya aku sudah mulai dapat menyeimbangkan diri, sementara itu Beruang ini terus membesarkan tubuhnya.
Punggungnya tumbuh menjadi sangat besar sampai-sampai aku dapat berbaring dengan nyaman diatasnya, dedaunan tinggi yang biasanya hanya dapat aku lihat jauh dari bawah rasanya tidak pernah sedekat ini. Rasanya indah sekali, namun, juga rasanya masih jauh dari jangkauanku, keindahan itu, dunia luar. Dengan jelas rasanya aku dapat melihat sekilas dunia luar diantara dedaunan yang berayun lembut, melihat sekilas dunia biru yang tidak dibatasi oleh dedaunan tinggi ini.
"Maaf ya mengotori punggungmu dengan darahku ini."
Ia hanya mengendus.
"Ahaha, apakah itu artinya iya? Kamu marah?"
Tidak terdengar balasan darinya.
Perjalanan diisi dengan keheningan, kecuali saat Beruang ini bergerak, tanah disekitar kami bergetar setiap langkahnya. Beberapa saat setelah berada di punggungnya, luka-luka lain yang berada di tubuhku mulai terasa perih, saat serangan terakhir tadi aku menerima banyak luka di tangan kiriku dan satu cakaran di bagian dada sebelah kiri, letaknya sedikit diatas perut. Luka yang ada di tangan kananku lebih dalam dari yang lain, aku mencoba sebisaku untuk menekannya dengan tangan kiriku, walaupun rasanya sulit sekali untuk mempertahankan cengkramanku.
Rasanya sungguh seperti mimpi, aku yang berbaring diatas punggung beruang yang dapat menyusut dan membesarkan dirinya sesuka hati, aku yang masih dapat hidup dari serangan buas serigala berkepala tiga, luka-lukaku yang rasanya terus berdenyt, sangat kontras dengan pemandangan yang damai saat aku memandangi kanopi hutan dan sejuknya angin yang berhembus.
Beruang yang aku tumpangi ini terus menembus hutan, aneh rasanya berbaring seperti ini sembari memandangi langit-langit hutan yang dipenuhi dedaunan yang seperti berjalan meninggalkanku. Matahari mulai menyembunyikan dirinya, seharusnya kami sudah dekat dengan rumahku sekarang.
Beruang ini kemudian berhenti, sesaat kemudian rasanya atap dedaunan mulai menjauh dari jangkauanku.
"Sudah sampai ya?" Ucapku sembari berusaha untuk membangunkan diriku.
Beruang ini mengantarkanku tepat di depan pintu belakang pekaranganku. Baik sekali dia, aku tidak perlu berjalan jauh, aku lalu turun dengan perlahan.
"Tunggu disini sebentar ya, ah, tasnya letakkan saja dulu disitu. Aku masuk sebentar ingin mengambil beberapa kulit yang sudah aku keringkan." Ucapku sembari berjalan menaiki tangga kayu dengan hati-hati dan mulai memasuki rumahku.
Aku langsung berjalan menuju ruang penyimpanan yang berada di bagian kanan setelah masuk dari pintu belakang. Disana aku mencari barang yang akan kugunakan untuk menutupi luka-luka yang ada, aku mulai meraih kulit-kulit kering.
Setelah mengambil semua kulit-kulit itu, aku kembali ke pekarangan belakang dan mulai menaruh semuanya di lantai kayu rumahku sebelum turun untuk mengambil pisau dan tali rotan yang ada di dalam tasku. Aku kemudian kembali naik dan duduk diatas tangga kayu dan mulai memotong beberapa tali rotan yang ada.
"Hei, bolehkah aku meminta bantuan, tolong ambilkan Bunga Lainte, Bunga Hacate, serta beberapa daun dari Aspecilus. Semuanya kamu dapat temukan di kebun yang ada di dalam pekarangan ini kok."
Beruang itu menganguk lalu membalikkan badannya dan mulai berjalan untuk mencari tumbuh-tumbuhan yang aku perlukan. Sementara itu aku masih memotong tali dan mulai mempersiapkan serta membersihkan lesung batu yang nantinya akan aku gunakan untuk menumbuk ketiga bahan tersebut menjadi satu.
Beruang itu, aneh ya? Pikirku sembari terus memotong tali rotan yang ada, ia tidak hanya mengerti apa yang aku katakan, ia juga menurut begitu saja dengan apa yang aku perintahkan, bukan hanya itu, ia juga memahami tumbuh-tumbuhan mana saja yang barusan aku minta tolong darinya.
Setelah memotong beberapa tali yang kurasa sudah cukup jumlahnya, Beruang itu juga kembali membawa bahan-bahan yang aku minta di mulutnya.
"Taruh dulu di dalam lesung batu ini, aku perlu bantuanmu lagi nanti untuk menahan kulit kering diatas lukaku, kulit itu akan aku pakai untuk melapisi hasil tumbukan dan mengikatnya."
Beruang itu kemudian meletakkan barang-barang yang aku minta ke dalam lesung batu yang berada disampingku, dengan mengumpulkan seluruh tenagaku aku mulai menumbuk bahan-bahan yang ada di lesung itu menggunakan tumbukan batu yang ada, Beruang itu terlihat penasaran dengan apa yang aku lakukan.
"Aku menumbuk tumbuhan ini agar mereka tercampur dengan baik, lalu, dari hasil tumbukannya, aku kemudian mengumpulkannya dan aku oleskan di luka-luka yang ada ditubuhku. Ini ramuan yang ada di dalam jurnal perjalanan kedua orang tuaku, dan ramuan ini dapat membantu menutup luka yang ada, sekiranya satu sampai dua hari setelah dioleskan." Ucapku sembari menumbuk ramuan di lesung batu.
Beruang itu mengangguk seakan mengerti dengan apa yang aku katakan.
Setelah beberapa saat menumbuk, aku rasa semuanya sudah tercampur dengan baik, kemudian aku mengambil hasil tumbukan tadi dan meletakkannya diatas salah satu kulit kering yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Setelah itu, aku mulai mengambil dan meletakkan kulit kering yang dilapisi ramuan tadi dan meletakkannya diatas luka yang ada di tangan kananku.
Perih sekali rasanya saat ramuan ini menyentuh luka itu.
"Bisakah kamu menahan sebentar kulit kering ini? Aku akan mencoba untuk mengikatnya dengan tangan kiriku."
Beruang itu mulai menyusut dan menaruh tangannya yang mungil diatas kulit kering yang ada di tangan kananku. Tangannya yang kecil rasanya mengingatkanku dengan tanganku sendiri sewaktu aku kecil dulu, besarnya tidak jauh berbeda.
Aku lalu mulai mengikat kulit itu dengan cukup kuat, semoga saja ikatannya tidak terlepas dengan mudah. Proses yang sama kemudian aku lakukan dengan sisa luka-luka yang lain.
Aku lalu mengulang proses yang sama di semua luka yang ada di tubuhku.
Pendarahan dari luka-luka yang ada perlahan mulai berhenti, namun, rasa sakitnya tidak sedikitpun berkurang, yah, setidaknya luka-luka ini akan sembuh nantinya.
Sekarang baiknya aku mengistirahatkan diriku dulu.
"Beruang, terima kasih banyak ya, kamu sudah banyak membantuku hari ini, suatu saat nanti kebaikanmu pasti aku balas, tapi, aku sekarang mau isitirahat dulu ya."
Beruang itu mengangguk lalu membalikkan badannya, sepertinya ia akan kembali ke hutan.
"Hei, jika kamu mau, kamu bisa bermalam disini, hari sudah mulai gelap. Kamu bisa tidur di kasurku, walaupun tidak begitu besar tapi cukup untuk kita berdua, kalau kamu berkenan, kamu bisa mengikutiku masuk."
Beruang itu membalikkan badannya dan mengiyakan ajakanku.
"Baiklah kalau begitu, aku merapihkan barang-barangku dulu ya."
Aku lalu berdiri dan mulai merapihkan barang-barang sisa dan memasukkannya kembali ke dalam gudang, setelah itu aku kembali ke pekarangan belakang dan mengambil tas perjalananku yang masih tergeletak di tanah. Setelah mengambilnya, aku mulai masuk kembali ke dalam rumahku, aku dapat mendengar suara langkah-langkah kecil yang mengikutiku dari belakang.
Koridor panjang yang tidak ada isinya ini adalah jalan kecil yang menghubungkan langsung antara rumahku dengan pekarangan belakang. Seluruh strukturnya terbuat dari kayu yang diambil dari pohon yang ada di sekitar pekaranganku. Dulunya tempat itu adalah tempat terbuka yang cukup luas, jadi kedua orang tuaku memutuskan untuk membuat pekarangan disana, namun, jarak antara rumah kami dan tempat itu tidaklah begitu dekat, jalan ke pekarangan itu cukup terbuka, untuk alasan keselamatan, ayahku lalu memutuskan untuk membuat lorong panjang ini agar kami dapat lebih aman jika ingin ke pekarangan belakang.
Gudang itu sendiri ditambahkan setelah pekarangan belakang digunakan oleh ayahku untuk membuat banyak alat-alat untuk keperluan di rumah.
Setelah keluar dari lorong ini, di sebelah kanannya terdapat dapur yang biasanya aku gunakan untuk memasak, aku kemudian melanjutkan langkahku lurus kedepan dimana ruang tengah berada dan tepat di sisi kiri ruang tengah adalah kamarku.
Setelah masuk ke kamarku, aku mulai melemparkan diriku ke kasurku yang empuk dan merebahkan diriku disana.
Meskipun aku sekarang kotor sekali, masih mengenakan baju berburu yang aku pakai, tapi, aku sudah tidak perduli lagi, aku hanya ingin bersitirahat setelah melalui semua kegilaan yang terjadi selama dua hari ini.
Waah rasanya nyaman sekali bisa tiduran di kasur ini lagi. Beruang yang sedari tadi mengikutiku dari belakang sekarang hanya berdiri diam di lantai kayu dan memandangiku dengan tatapan kosongnya, ia sepertinya bingung harus melakukan apa.
Aku memalingkan tubuhku ke arah beruang itu.
"Hei, ayolah naik keatas sini, jangan malu-malu."
Beruang itu mengikuti perkataanku, ia menanjak naik ke atas kasurku.
"Bolehkah aku memelukmu?" Tanyaku. Ia kini terlihat tidak lebih besar dari anjing hutan yang biasanya berkeliaran, entah kenapa rasanya ia menjadi lebh manis untuk dilihat.
Beruang itu mengangguk.
Aku mendekap beruang itu dengan erat, rasanya hangat, juga lembut.
Aku mulai memejamkan mataku.
"Selamat tidur." Ucapku lembut.
Untuk pertama kalinya setelah ditinggal oleh kedua orangtauku, aku mengucapkan kata-kata itu.
Selamat tidur beruang kecilku.