Chereads / Dunia Tanpa Lentera / Chapter 2 - Redup

Chapter 2 - Redup

Aku mulai mengambil peralatan berburu hari ini, sebuah pisau belati yang sudah mulai berkarat, pakaian lusuh yang terbuat dari kulit, beberapa tali rotan, sebuah botol berisikan air minum, beberapa biji-bijian sebagai umpan untuk berburu, serta dua kotak makanan. Target berburu hari ini hanya beberapa hewan kecil seperti ayam liar ataupun kelinci.

Aku menggunakan peta yang ada di dalam jurnal perjalanan kedua orangtuaku, meskipun ini hanyalah salinan dari yang asli, kebanyakan dari pengetahuan yang aku perlukan mengenai Hutan Niri sudah tercatat dengan jelas dalam buku ini. Sebelum menetap di hutan ini, kedua orangtuaku adalah pengembara ulung, mereka mengelana dari kota ke kota menjelajahi tempat-tempat sulit sembari mencari tempat untuk tinggal.

Baiklah, kembali ke tujuan utamaku, aku memeriksa kembali peralatan-peralatan yang kuperlukan untuk perburuan kali ini, rasanya semuanya sudah lengkap, ah, memang sulit rasanya untuk meninggalkan tempat ini, walaupun hanya sementara.

Pelan namun pasti aku mulai pergi menjauh dari tempat tinggalku, melangkahkan diri lebih dalam ke dalam keheningan hutan.

Aku sudah menghafal kebanyakan dari bagian-bagian di dalam hutan ini, meskipun tidak sampai mengetahui dimana perbatasan hutan ini, setidaknya aku tahu dimana untuk berburu dan tidak berburu.

Kebanyakan dari binatang yang ada di hutan ini adalah binatang pemakan tumbuhan, pada dasarnya mereka bukanlah ancaman besar untukku, hanya saja mereka bukanlah binatang yang bisa diburu dengan mudah sendirian.

Setelah berjalan beberapa lama, kubuka lagi buku perjalanan orang tuaku, jariku menjelajah diantara tanda-tanda yang tergambar.

"Seharusnya aku sudah sampai, aneh, aku tidak melihat ayam ataupun kelinci berkeliaran." Gumamku.

Dengan hati-hati aku mulai menyiapkan perangkap.

Keheningan hutan rasanya membuatku gusar, namun, aku yakin aku berada di area yang aman.

Setelah yakin seluruh persiapan sudah selesai, aku mulai menyembunyikan diriku dibalik pepohonan, jika beruntung, aku dapat membawa pulang ayam hutan hari ini juga, jika tidak, mungkin akan memerlukan beberapa hari sampai jebakanku memerangkap seekor ayam hutan.

Saat menunggu seperti ini biasanya aku menjelajahi area di dekat sini, walaupun aku memiliki buku perjalanan milik orangtuaku, aku juga harus membiasakan diriku untuk mengigat dan mulai memperbaharui peta lama yang tergambar di dalam buku.

Rasanya buku ini sudah jauh berbeda, sekarang isinya dipenuhi dengan gambaran-gambaran kecilku, aku juga menambahkan peta baru ke wilayah yang belum sempat dikunjungi oleh kedua orang tuaku.

Aku mulai berjalan ke arah lainnya, masih ada beberapa bagian yang belum aku petakan, sejujurnya kegiatan ini hanya untuk mengisi waktu, karena sejauh mata memandang hanya terdapat barisan-barisan pohon tanpa akhir.

Lucu rasanya jika mengingat bahwa sewaktu aku masih kecil kukira seluruh dunia adalah barisan pohon-pohon besar, namun, ternyata di luar sana masih terdapat banyak tempat yang menarik, atau setidaknya bukan hanya barisan pohon.

Suatu hari nanti aku ingin mengunjungi tempat-tempat itu, lepas dari hutan ini.

Aku mencoba untuk berjalan lebih jauh, aku mulai memasuki wilayah yang agak asing, disini terdapat banyak cakaran terpahat di pohon-pohon. Sepertinya aku sudah memasuki tempat yang berbahaya, secara perlahan aku mulai menarik langkahku dan kembali ke wilayah yang lebih aman.

Setelah aku yakin aku berada di tempat yang aman, aku mulai menggambar bulatan merah di peta baruku, menandakan itu tempat yang berbahaya.

Kulihat lagi perangkapku, masih tidak terdapat apa-apa disana.

Hari sudah menjelang sore, memetakan wilayah-wilayah ini cukup memakan waktu, terutama jika wilayahnya cukup luas.

Aku mulai merasa bosan dan memutuskan untuk menyandarkan diriku di salah satu pohon.

Aku meraih buku jurnal lain yang ada di dalam tas.

Buku yang baru kuambil ini banyak menyimpan tulisan tentang petualangan kedua orang tuaku di dunia luar, rasanya tidak pernah bosan membaca cerita-cerita mereka.

Apa karena aku belum pernah melihat tempat-tempat itu? Atau Aku dapat melihat lagi sosok mereka di dalam cerita-cerita yang mereka tulis? Mungkin keduanya, yang jelas aku tahu aku tidak pernah bosan membacanya.

Aku sekali lagi tenggelam dalam cerita mereka.

Perjalanan mereka yang mendaki tempat-tempat tinggi, bertemu dengan mahluk-mahluk yang bahkan aku tidak pernah lihat sebelumnya.

Pada suatu waktu mereka pernah bertemu dengan sesosok mahluk atau monster atau binatang berkaki empat yag memiliki sayap sangat besar mereka dapat menaungi satu desa, tubuhnya yang besar dilindungi oleh sisik-sisik yang tidak kalah besarnya yang katanya lebih keras dari bebatuan, kepala runcing mereka dihiasi dengan dua tanduk panjang yang tajam, mereka juga bisa berbicara!

Memang ada mahluk seperti itu?

Padahal aku sudah membacanya berkali-kali, aku masih tetap terkesima dengan apa yang mereka temui.

Saat aku sedang membaca petualangan mereka di Gunung Andasar, sayup-sayup dari arah perangkapku terdengar suara kepakan sayap.

Aku menghela nafas lega, setidaknya aku tidak pulang dengan tangan kosong hari ini.

Aku mulai berdiri dan berjalan mendekati perangkapku, disana terlihat seekor ayam yang sedang menggeliat berusaha melepaskan dirinya dari perangkapku.

Aku mulai mendekati ayam itu dan dengan perlahan aku memegang kepalanya dan menyayat bagian lehernya, lalu saat aku yakin ia sudah tidak lagi bergerak, dengan hati-hati aku mulai mengulitinya.

Ditengah kesibukanku, dari kejauhan aku dapat mendengar suara raungan, suaranya terdengar dalam dan keras, sesaat setelahnya terdengar suara dentuman yang diikuti dengan getaran di tanah yang dapat aku rasakan.

"Gempa?" tanyaku bingung.

Aku mulai melihat ke sekeliling, tidak terlihat apapun kecuali pepohonan.

Aku mulai merasa tidak nyaman.

Aku tidak yakin dari mana asalnya suara itu.

Rumahku cukup jauh dari sini, aku tidak tahu apakah jalan pulangku akan aman dari ancaman yang ada.

Hari sudah semakin sore, matahari sudah mulai menyembunyikan dirinya di ufuk Barat.

Aku sepertinya harus mencari tempat berlindung sementara, memanfaatkan cahaya matahari yang terisa, dengan tergesa-gesa aku mulai membuka peta perjalananku, di sekitarku hanya ada hutan dan padang rumput, sisanya adalah teritori binatang buas dan lambang sebuah Gua yang disilang oleh tinta merah.

"Agh! Apa boleh buat kalau begitu!" ucapku, sadar aku harus memilih pilihan yang sulit.

Aku memutuskan untuk bermalam di Gua misterius yang ada di peta.

Sebelum bergegas pergi, aku memastikan bahwa bagian-bagian penting dari buruanku tadi sudah terbungkus dan kugantungkan di bagian sebelah kanan tas yang kubawa, aku juga memastikan bahwa persediaan yang ada cukup untuk bertahan hidup untuk satu atau dua hari kedepan.

Setelah semuanya kupastikan tidak ada yang tertinggal, dengan sigap aku berdiri dan berlari ke arah Gua yang terdapat di peta.

Warna oranye senja mulai mewarnai langit, jarak antara aku dan Gua tidaklah jauh, namun, jaraknya juga tidaklah dekat, dengan sisa cahaya yang ada, aku harap aku dapat sampai ke sana sebelum malam menyapa.

Aku mulai mengikuti tanda-tanda dari kayu yang sudah aku tanam sebelumnya, tanda-tanda ini sangat membantuku untuk menjelajahi hutan ini.

Pohon demi pohon telah aku lalui, rasanya hutan ini semakin membesar saja, matahari mulai tenggelam dan digantikan dengan bintang-bintang di angkasa, bersamaan dengan itu aku mulai merasa lelah, sangat lelah, nafasku mulai tersengal-sengal, tapi aku yakin aku sebentar lagi sampai di Gua itu.

Bersamaan dengan tenggelamnya matahari, hutan pun menjadi semakin gelap, aku sudah tidak dapat melihat apapun di sekelilingku.

Cahaya! Aku perlu cahaya! Pikirku.

Dari arah belakang aku dapat mendengar dentuman-dentuman keras, seperti langkah yang besar dan cepat, suaranya juga mulai mendekat.

Sekali lagi aku harus mengambil pilihan sulit, aku memutuskan untuk berhenti sejenak dan mulai mengatur nafasku.

Dalam keheningan hutan, aku mulai merapalkan sihirku, sesaat setelahnya sebuah bola cahaya kecil mulai terbentuk.

Belum cukup, kupikir.

Kudekatkan kedua telapak tanganku dan mulai kusalurkan tenagaku, aku mulai menambahkan energi ke dalam bola cahaya itu.

Sedikit demi sedikit bentuknya mulai membesar dan cahayanya semakin bersinar terang.

Sepertinya sudah cukup.

Aku mulai melemparkan bola cahaya itu ke udara.

Semakin tinggi bola cahaya itu terlempar, semakin terang area di sekitarku.

"Itu dia!" ucapku.

Aku dapat melihat mulut Gua yang aku tuju.

Aku mulai berlari ke arah Gua itu, meninggalkan bola cahayaku yang mulai kembali jatuh ke tanah.

"Sedikit lagi!" engahku.

Aku paksakan kakiku untuk melangkah lebih jauh, tubuhku rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berlari lebih jauh dari ini.

Dengan terengah-engah, aku akhirnya sampai di Gua misterius ini.

Aku mulai melangkahkan kaki memasuki Gua ini.

Dengan cahaya yang masih dipancarkan oleh bola cahaya, aku dapat melihat sebagian besar area Gua, ukurannya sangat besar, aku bahkan tidak dapat melihat langit-langitnya, diameternya juga tidak biasa, Gua ini sangat-sangat luas.

Tidak ada waktu untuk terpesona, aku harus mencari ceruk-ceruk kecil yang dapat aku gunakan untuk bersembunyi.

Kegelapan mulai menyelimuti, lagi-lagi aku tidak dapat melihat apapun.

Aku mulai mencari tepian Gua, setidaknya di sana aku dapat beristirahat barang untuk sebentar saja.

Aku mulai melangkah lebih dalam sembari meraba-raba dinding Gua ditengah kegelapan, mencari tempat untuk duduk dan beristirahat.

Rasa lapar mulai menghampiri yang diikuti oleh rasa lelah, sepertinya sudah saatnya untuk memakan bekal makanan ada.

Aku mulai merapal mantra bola cahaya, hanya kali ini kekuatan dari cahaya aku kurangi, aku tidak ingin menarik perhatian yang tidak diperlukan.

Dengan cahaya yang redup, bola cahayaku cukup untuk menerangi diriku serta sedikit bebatuan di sekelilingku.

Stalaktit dan stalakmit mengisi kebanyakan dari ruang yang ada di dalam Gua ini.

Dinding dan lantai yang terbuat dari bebatuan membuat tempat ini bukan tempat yang ideal untuk istirahat apalagi untuk bermalam, tapi aku tidak memiliki pilihan lain, setidaknya di sini lebih aman daripada di luar sana.

Aku mulai mengeluarkan bekalku, bekal makanan sederhana yang terdiri dari sayur-sayuran dan nasi. Semoga saja cukup untuk melewati malam ini.

Dengan cahaya yang seadanya, aku mencoba sebisaku untuk menyantap bekal makananku, rasanya sudah lama sekali semenjak aku menggunakan bola cahaya dengan cahaya seredup ini.

Nasi dan lauknya sudah terlanjur dingin, begitu juga dengan minuman yang aku bawa. Walaupun begitu, entah kenapa makanan ini rasanya jadi lebih enak dari biasanya.

Apa karena aku kelelahan? Mungkin begitu.

"Ah, gelap sekali di sini..." ucapku.

Dari kecil aku sudah tidak suka dengan kegelapan seperti ini, kalau diingat-ingat ini mungkin seperti trauma, atau mungkin ketakutan yang sangat terhadap tempat-tempat gelap.

Kenangan yang tidak menyenangkan, hari itu matahari rasanya sangat menyilaukan, aku masih dapat mengingat hembusan angin panas dan semilirnya yang menyapa lembut rerumputan di sekitarku pada hari itu.

Mungkin, hari itu merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidupku.

Di padang rumput yang luas, aku berlari-lari diikuti oleh ayah dan ibu. Di bawah mentari kami bermain dan tertawa bersama.

Suara mereka yang terucap bersamaan dengan desiran angin yang melewati dedaunan, memecah heningnya hutan dan memberi jiwa kepada padang lapang itu.

Ditengah keheningan Gua ini, sepertinya samar-samar aku dapat mendengar gema suara tawa mereka lagi.

"Apa kalian disini?" tanyaku kepada langit-langit Gua.

Hari itu juga untuk pertama kalinya aku tidak mendengarkan perkataan kedua orang tuaku.

Mungkin karena aku terlalu bahagia, aku mulai berlari jauh ke dalam hutan, meninggalkan kedua orangtuaku jauh di belakang.

Terlalu... jauh.

Hari kemudian mulai menjelang malam, aku mulai tersesat.

Rasa takut yang mulai menghinggap, lalu diikuti dengan kebingungan, membuatku mulai kehilangan arah.

Hari semakin gelap, suara-suara hutan mulai menjadi semakin mengerikan.

Suara gesekan dedaunan yang seakan menandakan ada sesuatu yang sedang mengintai, diikuti dengan suara lolongan binatang buas yang saling bersahutan di kejauhan.

Hutan yang ramah di siang hari, kini menjadi tempat yang mengerikan.

Aku takut, sangat takut.

Aku mulai berlari tanpa arah, menangis, memanggil nama kedua orangtuaku.

Aku kira aku sudah tidak dapat tertolong lagi.

Aku sudah menyerah pada keadaan.

Hingga dari kejauhan kulihat pendaran cahaya yang sangat terang.

Aku segera berlari menuju ke arah cahaya tersebut, dari kejauhan aku dapat melihat sosok ibu yang terlihat cemas.

Aku memanggilnya.

Ia terkejut lalu berlari kearahku.

Ibu lantas mendekapku.

Tangis kami pecah.

Aku takut, lega, juga bahagia di saat yang sama.

Mengingatnya kembali entah kenapa membuatku merasa lebih tenang.

Kulirik lagi bola cahayaku.

Aku pun lalu mulai mendekatkan tanganku.

Rasanya hangat.

Perasaan hangat yang mengingatkanku akan hari itu.

Rasa hangat saat aku berada di dekapan mereka.

"Aku rindu kalian, aku rindu perasaan ini..." ucapku sembari meminum bekal air minumku.

"Sebentar lagi aku akan pergi dari Niri, mencari kalian, mencari perasaan itu lagi, jadi tunggu aku ya." Ucapku.

Setelah menghabiskan bekalku, aku mulai membersihkan rempah makanan yang berhamburan.

Setelah merapikan semuanya, rasa kantuk mulai menghampiri.

Aku dekatkan bola cahayaku.

Dengan rasa hangat yang menemaniku tidur malam ini.

Semoga saja aku dapat bertemu dengan mereka lagi, walaupun hanya sekedar bertemu dalam mimpi.