Sebelum berangkat, Rei sebenarnya sudah memberitahu Aria untuk tidur selama perjalanan supaya dia bisa menyimpan sihirnya di dalam kubus barunya. Tapi jangankan tidur, Aria justru malah tidak bisa berhenti gelisah sepanjang waktu.
Pertama, tentu saja karena dia tidak yakin bisa mengurus iblis jamurnya. Tapi lebih dari itu, saat membayangkan kalau dia akan melihat pemandangan yang sama dengan yang dulu dia lihat sewaktu kecil, Aria sudah merasa ciut seakan kena serangan panik duluan.
Bahkan Feny yang melihatnya saja jadi mulai kasihan. "Tenang saja, kak Aria! Walaupun tidak bisa sihir, Aku juga pernah melawan monster. Yah, yang kecil sih. Tapi tetap saja!" Kata Feny berusaha menenangkan. Aria terkekeh pelan mendengarnya, tapi dia masih tidak membalas apa-apa.
"Atau kakak mau istirahat dulu?" Tanya Feny lagi sambil melihat keluar jendela kereta. "Lagipula kita sudah hampir setengah hari berjalan."
"Tidak usah. Katamu sebentar lagi kita juga sampai kan?" Balas Aria.
Mendengar itu, Feny pun mendesah pelan. "Meski sudah tahu kalau desa kakak pernah mengalami wabah yang sama, Aku tidak percaya dia tetap mengirim kakak sendirian. Laki-laki itu memang tidak punya hati!" Cibirnya.
"Yah, setidaknya kau menemaniku." Balas Aria dengan senyumnya.
"Dan harusnya ayah juga! Tapi dia malah pergi entah ke mana." Gerutunya kemudian. "Sudah kuduga jangan-jangan wanita itu mantan pacarnya atau semacamnya--"
Grak! Tapi tiba-tiba saja kereta mereka berhenti. Dan sebelum mereka bisa bertanya pada supir keretanya, seseorang ternyata sudah mengetuk pintu keretanya duluan. Dari pakaiannya, dia terlihat seperti seorang prajurit.
"Mohon maaf. Tapi kalau saya boleh tanya, ke mana arah tujuan anda?" Tanya pria berjenggot itu.
"Itu, mm, ke kota Lukan." Jawab Aria.
"Kalau begitu sebaiknya anda putar balik. Karena sekarang kota itu sedang mengalami wabah dan dilarang menerima kunjungan dari luar."
Aria agak panik, tapi untungnya Rei sudah memperingatkan ini tadi pagi. "Tapi saya memang datang untuk mengatasi wabahnya. Tuan Alrei Kransfein yang mengirim saya." Jelasnya sambil menunjukkan tanda pengenal yang dia dapatkan dari Rei.
Ada logo khusus berbentuk bunga tulip di sana. Dan dalam sekejap, prajurit itu langsung melebarkan matanya kaget. "Maksud anda tuan muda Kransfein?! Saya minta maaf. Saya sama sekali tidak tahu kalau beliau yang mengirim anda." Katanya kemudian sambil mengembalikan tanda pengenal tadi dengan membungkuk.
"Eh, ah, iya. Tidak apa-apa." Balas Aria yang jadi agak kikuk juga. Sejujurnya Aria sudah mengira itu sejak awal, tapi melihat prajurit itu sampai langsung bersikap hormat begitu padanya, mungkin kedudukan Rei sebagai bangsawan bisa jadi lebih tinggi dari yang dia pikir.
"Kalau begitu anda boleh melanjutkan perjalanan anda. Tapi saya harus memperingatkan anda, kalau anda sampai terkena gejala penyakitnya juga, anda tidak akan diperbolehkan untuk keluar lagi dari kota itu." Katanya lagi memperingatkan. "Apa anda yakin mau tetap ke sana?"
Terdiam sejenak, Aria pun mengangguk. "Tolong izinkan saya masuk." Katanya dan mereka pun dibiarkan memasuki gerbang kota.
Padahal di sepanjang perjalanan memang tidak ada hal bising yang mengganggu mereka. Tapi begitu memasuki kota, suasana hening dan udara yang berat langsung terasa sangat pekat. Saking familiar rasanya, Aria jadi mulai merasa merinding.
Bahkan saat Aria dan Feny turun di alun-alun kota, mereka masih tidak mendengar atau melihat siapapun di sana. "Kurasa ini sebabnya mereka menyebutnya wabah hantu." Celetuk Feny yang juga mulai merasa tidak nyaman.
Menarik nafasnya pelan-pelan, Aria pun mencoba untuk melihat sekeliling. Dia tidak mungkin menyadarinya sewaktu kecil, tapi dirinya yang sekarang memang bisa merasakan ada aura sihir yang janggal di mana-mana.
"Aku sudah mendengarnya dari penjaga." Celetuk seseorang yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Ada seorang pemuda di sana.
Dengan syal merah yang melingkar di lehernya, laki-laki itu memiliki rambut coklat terang yang agak kusut. Dia terlihat lebih muda dari Aria, tapi sepertinya masih sedikit lebih tua dari Feny.
"Katanya ada bangsawan yang mengirim orang untuk membantu." Katanya lagi.
"Na-Namaku Aria, dan ini Feny. Kami--"
"Kalian tabib atau semacamnya?" Potongnya. "Kalau iya tolong tinggalkan saja semua obat yang kalian bawa dan pergi keluar lagi mumpung masih bisa. Terutama kakak, karena orang dewasa lebih rentan terkena penyakitnya."
Aria hampir kebingungan dengan reaksi itu, tapi kemudian dia berusaha membalas. "Itu, mm, Aku memang bawa obat. Tapi kalau bisa Aku juga ingin membantu sampai wabahnya selesai dan--"
"Aku hargai niat baik kakak. Tapi sejujurnya cuma anak-anak yang masih sehat di sini, dan kalau bisa Aku tidak ingin merepotkan mereka lagi kalau nanti kakak sampai sakit."
"...Meski sopan, dia agak menyebalkan ya?" Bisik Feny pelan pada Aria. Baru setelah itu dia kembali memandang ke arah laki-laki itu. "Kak Aria sudah terlanjur disuruh, kau tahu. Jadi kami tidak bisa kembali begitu saja." Katanya. "Lalu, yah, kalau sampai kak Aria sakit biar Aku yang mengurusnya. Beres kan?"
"Tuan itu juga?" Tanyanya balik sambil menunjuk pak supir yang masih menunggu di kereta. Feny tidak yakin mau mengiyakannya. Tapi setelah terdiam agak lama, laki-laki itu pun akhirnya menghela napas pelan. "Hh, jangan bilang kalau Aku tidak memperingatkan kalian." Katanya kemudian.
"Kalau begitu cepat ikut denganku. Kami lumayan sibuk hari ini." Lanjutnya sambil berjalan. "Dan kalian bisa panggil Aku Cal."
Aria tadinya berpikir kalau Cal akan membawa mereka ke balai pertemuan kota atau semacamnya. Tapi tidak seperti yang dia sangka, dia ternyata membawa mereka untuk melewati sebuah pagar tinggi dan mengarahkan mereka ke mansion yang besar.
"Bukannya ini rumah seorang bangsawan atau semacamnya?" Celetuk Feny duluan.
"Tadinya kami menampung semua orang di balai kota untuk merawat para orang dewasa." Cerita Cal. "Tapi karena putri tunggal di rumah ini, Helen, tidak bisa merawat orang tua dan para pelayannya sendirian, dia bilang kalau kami bisa menggunakan rumahnya. Dan sebagai gantinya, kami juga membantunya."
"Dan orang tuanya mengizinkannya begitu saja?"
"Tidak, tapi mereka sudah meninggal minggu lalu. Bersamaan dengan orang tuaku juga." Jawabnya dan Feny pun akhirnya kembali diam.
Tapi masih dengan nada datarnya, Cal pun kembali menoleh ke arah Aria begitu mereka sudah ada di depan pintu. "Aku tidak yakin akan berpengaruh atau tidak. Tapi sebaiknya kakak tidak menyentuh orang yang sakit sembarangan. Soalnya semua orang dewasa yang melakukan itu langsung tertular." Katanya memperingatkan dulu.
Cal akhirnya membuka pintu besar mansion itu. Dan dalam seketika, Aria langsung merasakan sesak di dadanya begitu melihat situasi di dalam, di mana para orang dewasa terbaring sakit di seluruh ruangan, selagi para anak-anak kecil sibuk mondar-mandir ke sana-sini untuk merawat mereka.
"Cal!" Panggil seseorang tiba-tiba. Ada anak perempuan berambut pendek yang berlari ke arah mereka. "Tuan Joe mengalami sakit kepala lagi. Tia sudah mencoba untuk memberikannya obat, tapi…" Adunya sambil melihat ke arah pria tua yang sedang meringis-ringis kesakitan di ujung ruangan.
Anak perempuan di sampingnya kelihatan berusaha memberinya minum obat, tapi pria itu tetap saja tidak bisa berhenti guling-guling sambil memegangi kepalanya.
Cal langsung berlari ke sana untuk membantu. Dan Aria yang buru-buru menyadarkan dirinya pun langsung berbalik pada pak supir di belakangnya. "Tuan Avo, tolong bawakan semua kotak obatnya kemari." Pintanya dan pria paruh baya itu pun langsung menurut.
"Apa wabahnya memang menyebabkan sakit kepala seperti itu?" Tanya Feny.
"Gejala utamanya hanya demam. Tapi sesekali mereka juga suka mengalami sakit kepala atau nyeri tulang yang hebat." Jelas Aria.
Dan setelah semua kotak obatnya datang, Aria pun langsung mengacak-ngacaknya sampai dia menemukan botol kecil dengan cairan biru di dalamnya. "Feny, pegang ini dulu." Katanya sebelum dia mulai mencari sesuatu yang lain.
Baru setelah dia menemukannya, Aria pun pergi ke tempat Cal. Aria sempat menunggu sejenak karena Cal baru saja berhasil membuat pria itu meminum obatnya. Tapi karena pria itu malah kembali meraung kesakitan, Aria pun kembali melangkah maju.
"Cal, biar Aku coba." Katanya. Cal sempat terlihat ragu, tapi akhirnya dia pun membiarkan Aria mendekat.
Aria berusaha menahan kepala pria itu seperti berusaha melihat rambutnya. Tapi karena pria itu masih saja berontak, dia pun langsung memikirkan cara lain. "To-Tolong bantu Aku baringkan dia ke belakang. Aku perlu melihat leher belakangnya." Pintanya kemudian.
Semua orang langsung kebingungan mendengar itu, tapi untungnya Feny langsung membantu Aria dan menaikkan suaranya ke arah Cal dan yang lain. "Apa yang kalian lakukan? Cepat bantu balikkan tubuhnya!" Serunya, dan akhirnya anak-anak itu pun mulai membantunya untuk membalik tubuh pria itu.
Setelah berhasil, Aria sebenarnya sempat kebingungan juga bagaimana harus melakukannya dengan benar. Tapi seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, dia pun memaksakan tangannya untuk menahan leher pria itu dari belakang seakan dia berusaha mencekiknya.
Baru setelah itu dia mengeluarkan batangan besi kecil yang tadi dia ambil dari kotak obat. Batangan itu memiliki ukuran yang mirip dengan pena, tapi di ujungnya justru terlihat tumpul seperti ada bola gundu kecil di sana.
"AAAAA!!" Pria itu sempat teriak dengan keras saat Aria menekankan besi itu ke tengkuknya. Tapi tepat sebelum ada yang protes, suara pria itu pun akhirnya melemah dan ketegangan di bahunya mulai mereda.
Baru setelah itu Aria meminta obat yang tadi dipegang Feny dan menyuntikkannya pada pria itu. Dan dia pun mulai tertidur.
Tapi dibanding anak-anak yang melihat itu, yang jatuh terduduk duluan karena merasa lega adalah Aria sendiri. 'Rei, Aku berhasil!'