Bagian 14
Rencana 1 Kepala Yang Berjalan
Sintya merasa sedikit kesal, dan sangat penasaran. Sintya belum lama melihat lihat pisau yang berada di dalam laboratorium kimia. Di sepanjang pelajaran kimia, Sintya tak dapat fokus karena terlalu memikirkan pisau yang belum sempat ia ambil.
Sementara itu setelah 4 jam praktek kimia selesai sialnya Ibu guru berpesan.
"Tolong untuk anak anakku sekalian, Untuk segera meninggalkan ruang ini dengan cepat, Dan tak ada yang berlama lama di ruangan ini di karenakan ruang ini akan di pakai untuk kelas selanjutnya, Dan kelas selanjutnya sudah menunggu di depan pintu."
Raut wajah Sintya kesal seperti baju setelah di kucek, Kucel dan sangat kusut.
"Sial sial sial, Kenapa tak berjalan sesuai keinginanku." Ucap Sintya dalam hati.
Ketika Sintya akan keluar, Rautnya yang muram membuat Ibu guru bertanya.
"Sintya? Marah?" Ucap Ibu Guru.
Langkah Sintya terhenti dan mengharuskan Ia berbicara.
"Engga Bu." Ucap Sintya.
"Tenang saja, Nilai praktekmu tadi sempurna." Ucap Ibu Guru yang mengira kalau Sintya marah karena prakteknya gagal.
"Iya Bu, Saya kembali ke kelas dulu ya." Ucap Sintya.
Sintya melanjutkan langkahnya, Kemudian kelas selanjutnya pun masuk ke dalam laboratorium kimia. Terlihat Sintya menengok nengok belakang dan membuat salah satu temannya penasaran.
"Sin? Ada Apa? Ada cowo yang kamu suka?" Ucap Satu Temannya.
"Engga, Itu lagi ngeliatin semut jalan baris." Ucap Sintya.
"Ngaco lu Sin, Ayo ke kelas." Ucap Salah satu temannya sambil menggandeng tangan Sintya dan berjalan kembali ke kelas.
Yapss, Dia adalah Alena teman sekarang menjadi dekat dengan Sintya dikarenakan tragedi Ive kemarin mereka menjadi lebih dekat dan akrab. Namun siapa sangka? Alena sangat benar benar mengagumi Alamsyah. Namun ciut nyalinya untuk mengungkapkan kepadanya.
Sekilas 1 hari selesai, Ibu guru menutup pelajaran dengan mengucapkan salam dan terimakasih, Para siswa keluar dari kelasnya. Namun ketika Sintya sedang membereskan buku dan barangnya yang akan ia masukan dalam tas dan pulang, Tiba tiba handphonenya berbunyi.
Mata Sintya langsung reflek karena mendengar getaran dan bunyi, Lalu tangannya meraba untuk mengangkat telfon tersebut, Yaa ternyata Vanka.
"Hallo Sin?" Ucap Vanka.
"Hai, Kenapa Van?" Ucap Sintya.
"Eh kita bisa ketemu di cafe yang ga jauh dari sekolah ga? 1,5 kilometer kali dari sekolah Sin." Ucap Vanka.
"Bisa, Kok? Lu tau kalo itu 1,5 KM? Lu ngukur pake meteran Van?" Ucap Sintya.
"Udah lu kesini aja cepet." Ucap Vanka.
Sintya Menutup telfonnya, Keluar dari kelasnya, Menuju gerbang dan segera naik angkutan umum.
Sesampainya disana Sintya langsung duduk dan langsung memesan kopi. Kopi favoritnya, Kopi hitam polos dengan sedikit gula.
"Kek orang tua aja lu Sin, Jelang sore gini ngopi." Ucap Vanka.
"Ngopi tuh bukan karena tua Van, Tapi ngopi tuh ngebuat kita bisa mikir. Katanya sih gitu." Ucap Sintya.
"Percaya aja lu sama kata "Katanya" Sin." Ucap Vanka.
"Udah cepet apa yang mau lu omongin?" Ucap Sintya.
"Yaudah gua mulai ya, Nih lu ngerasa ga si? Kalo kematiannya Ive tuh di buat skenario? Dan skenarionya tuh kejam banget. Jadi tuh ada salah satu orang yang jadi dalang di balik semua ini. Dan gua agak aneh dengan keluarga Ive, Kenapa dengan mudahnya mereka bisa menerima. Tapi ya yang paling kejam garis keras disini tuh, Siapa orang yang bisa nenangin dan bilang ke keluarganya Ive kalo semuanya itu takdir dan juga ada orang yang emang bener bener masuk ke pikiran Ibu sama ayahnya Ive." Ucap Vanka.
"Jadi maksud lu? Ada mahluk supranatural?" Ucap Sintya.
"ENGGA GITU JUGA SIN." Ucap Vanka.
"Oh, Jadi maksud lu tuh? Ada salah satu orang yang nenangin Ibu sama ayahnya Ive tuh orang yang bikin skenario?" Ucap Sintya.
"NAH BENER SIN." Ucap Vanka sambil menunjuk Sintya.
"Lu nunjuk gua? Karena gua pelakunya?" Ucap Sintya.
"Bukan, Karena ucapan tadi tuh bener." Ucap Vanka.
"Yaudah ntar gua aja yang urus si, Tadi juga gua nemuin pisau yang berlumuran darah di laboratorium kimia, Cuman gua belum sempet ambil. tau kan? Ibu guru kimia?" Ucap Sintya.
"Pisau yang di bagian kolong meja belakang itu kan? Guru kimia emang sayang banget sama barang barang di laboratoriumnya." Ucap Vanka.
"Kalau kita bisa ambil pisaunya, Kira kira kita bakal masuk kasus ga ya?" Ucap Sintya.
"Lu berani Sin? Lu berani image lu turun?" Ucap Vanka.
"Tapi ini semua demi Ive, Kemungkinan besar gua bakal ngambil si Van, Kalo lu ya ga mungkin, Lu kan pinter. Udah jelas duduknya di bangku paling depan." Ucap Sintya.
"Kalo di belakang tuh penjelasan guru sulit buat di pahamin Sin, Gua bantu pantau aja deh. Dua hari ke depan gua ada praktek kimia juga. Nanti gua cek Sin." Ucap Vanka.
"Yaudah gua langsung pulang yaa, Nih gua bayarin sekalian punya lu ya. Dah." Ucap Sintya.
"Eh Sin." Ucap Vanka.
Namun Sintya berpura pura tidak mendengar langsung berjalan dan ketika di depan pintu cafe Sintya melambaikan tangan dan pulang.