Takdir tak bisa diduga
karena dituliskan tanpa tinta
dijalankan tanpa tanda-tanda
pertemuan dan perpisahan
adalah siang dan malam
sungai dan pegunungan
tetap bisa berjumpa
di pagi buta dan kala senja
atau di padang muara
Ario Langit tidak mengetahui bahwa sebenarnya sesak nafas dan rasa gentar itu timbul karena dirinya adalah keturunan Siluman Laut Utara. Tidak satupun makhluk gaib dari dua lautan itu yang saling menyatroni untuk menjaga agar tidak terjadi kericuhan yang bisa memporak-porandakan tatanan Jawa Dwipa dan sekitarnya.
Pemuda itu kemudian menyusuri pantai dari ujung ke ujung untuk mencari informasi dari sedikit rumah-rumah penduduk yang ada di sana. Tidak ada informasi yang didapatkan kecuali bahwa tempat itu adalah satu-satunya pantai tempat Kerajaan Lawa Agung mendaratkan perahunya.
Menjelang sore, Ario Langit mengajak Galuh Lalita dan Sekar Wangi berjalan menuju perkampungan nelayan yang lebih besar. Mereka berencana akan menginap dan menyewa perahu agar bisa digunakan berlayar menuju Pulau Kabut keesokan harinya.
Saat sedang bercakap-cakap dengan kepala kampung itulah, mereka menyaksikan dari kejauhan sebuah kejadian yang mengerikan. Ujung cakrawala terlihat seolah sedang dikerumuni kegelapan yang pekat. Kilat menyambar-nyambar dan alunan gelombang raksasa terlihat begitu jelas. Peristiwa itu terjadi cukup lama. Disaksikan tanpa berkedip oleh mata orang-orang di pinggir pantai. Termasuk ketiga muda-mudi yang sedang sibuk mencari penginapan dan perahu itu.
Siapapun pasti penasaran dengan apa yang sebetulnya sedang terjadi di ujung cakrawala itu. Rasa penasaran yang akhirnya berubah menjadi keributan setelah dari kejauhan nampak berduyun-duyun rombongan kapal besar dan kecil menjauhi cakrawala dan menuju ke arah pantai.
Para penduduk kampung tentu saja ribut dan ketakutan karena sudah tahu bahwa kapal dan perahu itu milik Kerajaan Lawa Agung dan sekarang sedang menuju ke arah mereka. Kontan saja sebagian besar penduduk memilih untuk pergi cepat-cepat masuk rumah. Tidak ada yang mau berurusan dengan para prajurit Lawa Agung yang pada umumnya pongah dan jumawa. Sudah sering kejadian para penduduk kampung menjadi korban kepongahan para prajurit itu.
Hanya tinggal Ario Langit, Galuh Lalita dan Sekar Wangi saja yang tertinggal. Ketiga muda-mudi itu benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Diawali peristiwa alam yang mengerikan lalu dilanjutkan dengan kedatangan tergesa-gesa rombongan kerajaan.
Namun Ario Langit tidak mau mengambil risiko. Dia mengajak kedua gadis itu bersembunyi di tempat yang dirasa aman. Tidak terlalu jauh dari tempat pendaratan kapal dan perahu, tapi juga tidak terlalu dekat. Mereka bersembunyi di semak belukar hutan pesisir yang memang seolah mengular membentengi pantai.
Senja sudah mulai jatuh di haribaan malam saat rombongan kapal dan perahu itu mulai merapat satu persatu. Suasana temaram justru menguntungkan Ario Langit dan kawan-kawan untuk tidak mudah ketahuan. Mereka lebih leluasa memperhatikan karena lampu-lampu badai yang berasal dari kapal dan perahu terlihat terang benderang.
Para prajurit berlompatan dengan tangkas sambil mulai membentuk barisan dipimpin oleh kepala regu masing-masing. Ratusan prajurit berbaris rapi di pantai. Menunggu komando. Dari raja dan para panglima yang berada di kapal terbesar yang baru saja merapat.
Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Aruna turun dari kapal menggunakan tangga khusus. Mereka tidak berlompatan seperti para prajurit karena kondisi tubuh masih terluka akibat pertarungan melawan Raden Soca dan Ratri Geni di Pulau Kabut. Tak lama kemudian di urutan paling belakang, 1 perahu kecil yang berpenumpang 2 orang merapat. 2 orang itu tidak nampak jelas karena perahu itu tidak berlampu. Namun begitu kedua penumpangnya melompat turun dan menghampiri rombongan Panglima Amranutta, Ario Langit langsung terhenyak kaget bukan kepalang!
Matamaha Mada dan Ayu Kinasih menyeret tubuh mereka yang terluka. Baju yang sebelumnya sudah compang-camping semakin tercabik-cabik akibat pertarungan dahsyat. Ario Langit bisa melihat secara jelas bagaimana keadaan Ayu Kinasih saat ini. Gadis yang nampak jelas sedang hamil itu menampakkan raut muka kesakitan dan kemarahan hebat. Wajahnya yang ayu sangat pucat dan kuyu.
Ario Langit menahan nafas. Pikirannya berkecamuk antara bingung dan iba. Bingung atas perubahan dahsyat dari Ayu Kinasih dan iba melihat kondisinya yang sedang hamil namun terluka. Sebuah pikiran melintas cepat di benak Ario Langit. Ayu Kinasih hamil! Jangan-jangan bayi itu anaknya!
Wajah pendekar muda yang sakti itu memucat. Dia akan mempunyai anak! Sebuah sentuhan lembut di lengannya membuat Ario langit tersadar dari lamunan. Galuh Lalita memandangnya dengan penuh tanya sambil menggerakkan dagu ke arah Ayu Kinasih.
Ario Langit tersenyum samar sambil meletakkan telunjuk di mulutnya sebagai isyarat agar Galuh Lalita tetap diam. Namun gadis yang sedari tadi memperhatikan Ario Langit secara cermat itu tahu bahwa terjadi perubahan perasaan yang dahsyat dari Ario Langit setelah melihat bahasa tubuh dan juga raut muka pemuda itu. Galuh Lalita menyipitkan pandangan. Mencoba memusatkan perhatian kepada gadis tinggi langsing yang berpakaian compang-camping itu.
Wanita itu berwajah cantik dan dalam keadaan hamil. Terluka dan sedang dipenuhi hawa amarah. Galuh Lalita memperhatikan juga nenek bungkuk di sebelah wanita hamil itu. Seorang wanita yang sudah sangat tua dan berperawakan mengerikan. Namun Galuh Lalita tahu persis bahwa nenek itu pasti seorang tokoh berkepandaian luar biasa jika melihat dari langkah kakinya.
Sekar Wangi juga tidak kalah terkejut saat menyaksikan Putri Anila dan Putri Aruna turun dari kapal. Di antara 2 wanita cantik yang berkepandaian tinggi itu nampak seorang pemuda tinggi tegap berpakaian bagus berdiri dengan patuh. Kedua wanita itu memegangi lengan si pemuda. Awalnya Sekar Wangi tidak mengenali karena sorot lampu hanya memperlihatkan siluet si pemuda saja. Namun saat pemuda itu menoleh ke belakang, barulah Sekar Wangi terperanjat hebat! Pangeran Arya Batara ada bersama mereka!
Gadis yang dimabuk cinta itu nyaris berteriak memanggil kalau saja Ario Langit tidak buru-buru membekap mulut Sekar Wangi.
"I..itu Pangeran Arya Batara..!" Sekar Wangi berdesis lirih sambil melotot ke arah Ario Langit.
Pemuda itu mengangguk mengerti tapi memberi isyarat Sekar Wangi agar tetap diam. Sekali keberadaan mereka diketahui oleh pihak Lawa Agung, nyawa mereka semua berada dalam bahaya.
Memang tidak disangka-sangka bahwa Ario Langit dan Sekar Wangi, dua muda-mudi yang sedang terperangkap dalam jebakan asmara dan kehidupan, bisa bertemu dengan orang yang selama ini berada di lingkaran terdalam hati mereka.
---***