Seseorang yang hatinya sangat patah
setelah dipenggal cintanya secara gagah
mencoba berdiri kembali
hanya untuk jatuh lagi
menjadi bayangan
yang tak lagi punya keinginan
Seharian ini Ario Langit berkutat dengan penyamaran. Dia punya tenaga sakti luar biasa sehingga ratusan kali membawa ember-ember berisi air tidak menjadi masalah baginya. Lagipula petugas dapur pengisi air ada beberapa orang. Di setiap dapur terdapat satu orang petugas seperti itu. Namun jika dapurnya sudah beres dan dapur lain membutuhkan bantuan, maka dia harus bergerak membantu.
Otak Ario Langit terus memutar rencana demi rencana di benaknya. Dia harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sebelum bertindak. Keberadaan Arya Batara dan Ayu Kinasih, seperti apa kebiasaan mereka setiap harinya, sering berada di mana, saat kapan sendirian dan seterusnya, diramu dalam otaknya. Dia sama sekali tidak boleh gegabah. Keberhasilan rencananya sangat bergantung pada setiap detil pelaksanaannya.
Pendengaran Ario Langit yang tajam mendengar sorakan-sorakan rendah dari arah gerbang benteng. Pemuda ini memusatkan perhatiannya sambil mengerahkan hawa sakti. Sorakan itu berirama teratur dan bernada sangat rendah. Seperti sedang menyambut kedatangan tamu agung tapi dengan sorakan yang terkendali. Mungkin Lawa Agung sudah membuat aturan bahwa tidak boleh membuat sorakan yang membahana seperti layaknya sepasukan prajurit pada umumnya.
Tempat ini sangat rahasia. Jarang sekali penduduk yang bisa sampai ke sini karena tempatnya sulit untuk dicapai. Selain itu pernah kejadian beberapa kali pemburu yang nyasar hingga ke sekitar Mandalawangi, hilang lenyap tak berbekas. Tempat itu masih menjadi rahasia. Penduduk lereng Pangrango hanya tahu bahwa Lembah Mandalawangi adalah tempat yang angker dan tak terjamah manusia. Hanya siluman dan setan saja yang bisa sampai tempat itu. Hanya golongan makhluk gaib saja yang mampu tinggal di tempat wingit itu.
Ario Langit menjadi penasaran. Mencoba mencari tahu siapa yang datang dengan bertanya kepada orang-orang. Semuanya mengangkat bahu dan menatap heran. Ario Langit jadi celingukan sendiri dan menghentikan upayanya untuk bertanya lebih jauh. Khawatir menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu.
Pemuda itu memilih untuk mencari sasaran prajurit saat pekerjaanya kembali agak luang. Setelah selesai makan malam, para prajurit banyak yang masih tinggal di barak makan. Mata Ario Langit menyambar kesana kemari mencari-cari. Ada seseorang yang berperawakan pas dengannya duduk di sudut ruang makan. Jika melihat dari meja dan kursi yang disusun tersendiri, pastilah prajurit itu termasuk golongan berpangkat tinggi. Wakil hulubalang atau semacamnya. Ario Langit terus bersiaga.
"Heii! Kau sini!"
Sungguh suatu kebetulan prajurit itu melambaikan tangan memanggil Ario Langit. Dengan tergopoh-gopoh pemuda itu langsung mendatangi.
"Ya Tuan?"
Prajurit yang mungkin hanya berusia beberapa tahun lebih tua dari Ario Langit itu menunjuk gelas kosong di hadapannya. Memintanya untuk diisi air teh lagi. Ario Langit mengangguk tanpa mengangkat muka. Diliriknya barak makan sudah nyaris kosong. Kesempatan baik. Ario Langit pergi ke belakang lalu menuangkan air teh sambil celingukan ke kanan kiri. Mencari tempat untuk menyembunyikan si prajurit setelah nanti dia robohkan. Pandangannya jatuh pada sebuah ruangan tempat menyimpan barang pecah belah yang terdapat di kanan kiri barak makan ini. Hmm, tempat yang bagus. Prajurit itu kelihatannya sangat bugar. Dia pasti masih tetap bisa hidup meski dikunci selama sehari semalam di ruang mirip gudang itu.
Ario Langit kembali ke ruangan yang sekarang benar-benar kosong dan hanya tinggal si prajurit saja sedang menikmati kacang rebus di sudut. Dengan tergesa-gesa Ario Langit menghampiri dan meletakkan teh di hadapan si prajurit berpangkat tinggi.
"Silahkan Tuan."
Ario Langit mempersilahkan sambil masih berdiri dengan wajah tunduk di samping si prajurit seperti sedang menunggu perintah selanjutnya. Prajurit itu mengangkat gelas teh sambil menatap tidak senang kepada Ario Langit. Kenapa pelayan ini tetap berdiri dan tidak segera pergi? Sungguh tidak sopan!
Prajurit itu mengayunkan tangan mendorong tubuh Ario Langit sebagai isyarat agar segera pergi karena keberadaannya cukup mengganggu kenyamanannya minum teh. Tubuh prajurit itu mendadak kaku seperti sepotong kayu saat tangannya menyentuh bahu Ario Langit. Pemuda itu memang sengaja menyalurkan hawa sakti sehingga si prajurit seperti tersetrum aliran petir. Dilanjutkan dengan beberapa totokan ke bagian tubuh yang membuatnya lumpuh dan tak sanggup berbicara.
Ario Langit memapah tubuh kaku si prajurit dan berkelebat masuk ke ruangan gudang pecah belah. Setelah berganti pakaian si prajurit dan merusak kunci gudang, Ario Langit mematut dirinya di depan cermin yang berada di ruang makan. Hmm, aku sudah pantas menjadi prajurit. Ario Langit tersenyum dan membetulkan letak topi prajurit yang dilesakkanya di kepala sedikit dalam agar raut wajahnya samar dan tak terlihat jelas.
Pemuda itu melangkah dengan lagak angkuh keluar barak makan dan berjalan menuju arah gerbang benteng kerajaan. Sebelum sampai gerbang, Ario Langit melewati bangunan-bangunan besar dan megah mirip istana dan kemudian menjumpai sebuah lapangan yang sangat luas di depannya. Lapangan yang sepertinya untuk latihan para prajurit dan difungsikan juga untuk berkumpul dalam jumlah besar.
Di lapangan besar sedang berbaris beberapa regu pasukan. Ario Langit buru-buru menyelinap di balik bangunan yang merupakan gudang senjata. Di atas panggung di pinggir lapangan tak jauh di hadapannya berdiri beberapa orang yang dikenalnya sebagai tokoh-tokoh Lawa Agung. Mengapit seorang nenek tua tinggi kurus dan seorang gadis cantik jelita yang dikenalnya sebagai Gadis Penebar Maut. Dewi Lastri dan gurunya Nyai Sembilang ada di sini?
Tapi yang sangat mengejutkan dan menakutkan hati Ario Langit adalah saat matanya melihat Galuh Lalita dan Sekar Wangi berdiri juga di sana dalam keadaan lesu. Tubuh lemas mereka menunjukkan bahwa keduanya berada dalam pengaruh totokan hebat. Ahh! Kenapa mereka bisa tertangkap? Ario Langit membatin dengan masgul.
Tertangkapnya Galuh Lalita dan Sekar Wangi sebetulnya terjadi secara kebetulan saja. Saat itu mereka mencoba menjauh dari Lembah Mandalawangi sesuai pesan Ario Langit dengan menyusuri sungai dan mencari tempat yang lebih aman. Tapi di tengah perjalanan keduanya tanpa sengaja berjumpa dengan dua orang wanita yang berlari cepat menuju Lembah Mandalawangi. Dua orang yang tidak lain adalah Nyai Sembilang dan Dewi Lastri langsung menyerang serta menaklukkan Galuh Lalita dan Sekar Wangi karena curiga melihat kedua gadis itu berkeliaran di sekitar Lembah Mandalawangi tanpa disertai satu orangpun penjaga.
Tentu saja kedua gadis itu tidak bisa menandingi kesaktian guru dan murid aliran hitam dalam adu kanuragan. Tak butuh waktu lama bagi Nyai Sembilang dan Dewi Lastri untuk merobohkan dan menawan mereka berdua lalu membawanya ke dalam benteng. Sorakan yang terdengar oleh Ario Langit tadi sebetulnya untuk menyambut kedatangan Nyai Sembilang dan Dewi Lastri yang memang sudah berjanji berkunjung ke Lembah Mandalawangi untuk ikut memperkuat Lawa Agung.
Ario Langit menggaruk kepalanya dengan perasaan cemas. Belum beres urusan Arya Batara dan Ayu Kinasih, kini ditambah lagi dia harus mencari cara membebaskan Galuh Lalita dan Sekar Wangi. Duh!
---******