"Aku nggak tau," ucap Dario dengan polosnya yang membuat Savanna ingin sekali mencakar wajahnya.
"Aku lelah."
"Kan aku sudah bilang, sewa saja jasa babysitter. Kamu nggak akan kelelahan mengurus Azzam sama Azzura
"Aku nggak pernah lelah mengurus mereka. Aku sangat menyayangi mereka seperti anak kandungku sendiri
"Terus apa yang membuat kamu lelah?"
"Kamu."
"Aku?" Dario mengerjab bingung.
"Apa yang aku lakukan sampai membuat kamu lelah. Aku membebaskan kamu melakukan apa yang kamu mau. Mau jadi ibu rumah tangga silakan, mau bekerja silakan. Aku nggak pernah melarang kamu ini itu. Permintaanku hanya satu, tolong jaga anak-anak dengan baik. Saat di rumah, aku juga jarang bicara sama kamu, aku nggak pernah marah, nggak pernah negur kamu. Kamu bebas."
Demi apapun, Savanna ingin sekali melempar meja ke wajah suaminya.
"Savanna. Tolonglah jangan kayak gini. Aku malas harus menikah lagi dan menyesuaikan diri lagi. Kasihan Azzam sama Azzura. Mereka juga udah sayang sama kamu
"Kalau kamu... Kamu nggak sayang sama aku?""Gimana aku mau bilang? Kamu dari pagi sampai sore sibuk kerja, pulang dari kantor kamu main sama anak-anak, lalu malam hari kamu langsung tidur. Begitu terus selama dua tahun. Aku lelah batin, Mas. Aku masih bisa menahan lelah fisik, tapi lelah batin terlalu menyakitkan."
Air mata Savanna menetes kembali. Sesak di dada yang tak tertahan membuatnya tak mampu lagi menahan air mata. Selama dua tahun Savanna memendam sendiri, berusaha menguatkan hati atas sikap suaminya yang begitu dingin dan cuek. Savanna berusaha untuk bertahan beberapa saat lagi demi Azzam dan Azzura. Tapi Savanna sudah tak mampu.
"Dan kamu tau apa yang paling menyakitkan untukku. Kamu bisa meluangkan waktu untuk Ziya, mantan istri kamu, tapi kamu nggak ada waktu untukku."
"Kenapa jadi bawa-bawa Ziya?"
"Kamu masili cinta sama dia kan, Mas. Cara kamu menatap Ziya, cara kamu memperlakukan dia dengan lembut, kamu selalu meluangkan waktu untuk dia, bahkan saat aku dan dia sakit dalam waktu bersamaan, kamu lebih memilih membawanya ke dokter cuma gara-gara flu, sementara aku nyaris mati kahabisan darah di kamar mandi karena kepleset. Selama dua tahun kita menikah, kamu nggak menyentuhku, sampai aku bertanya-tanya apa yang salah dengan kau? Apa aku kurang seksi? Apa aku kurang cantik? Aku sampai mau gila karena bertanya-tanya sendiri tanpa tau jawabannya!"
Dario terdiam."Apa itu penting? Yang penting semua baik-baik saja."
"Apanya yang baik-baik aja, Mas!"
Dario berdiri, dia menarik paksa lengan Savanna agar duduk. Namun Savanna justru memalingkan wajah.
"Liat aku," Dario mengarahkan wajah Savanna agar menatapnya. Dia tersentak saat melihat air mata istrinya. Selama dua tahun menikah, sekalipun Dario tak pernah mendengar Savanna menangis.
"Kamu menangis?"
"Kenapa? Kaget? Tanpa kamu sadari setiap malam. aku nangis, Mas."
Hati Dario mencelos.
Selama dua tahun pernikahan Savanna terlihat baik-baik saja.
Setiap bangun Savanna selalu tersenyum, menyiapkan keperluan ke kantor, menyiapkan sarapan, mengurus Azzam dan Azzura, dia melakukan semua itu dengan wajah ceria. Dia tidak pernah mengeluh atau protes.
Pun saat Dario bilang....
"Aku belum siap untuk malam pertama"
Savanna menerima sepenuh hati. Savanna tidak pernah menuntut nafkah batin.
Apa selama ini hanya bersandiwara? Dia pura-pura baik-baik saja.
"Kenapa kamu nggak bilang?"Kamu nggak perlu jawab apa-apa, aku sudah tau jawabannya. Aku akan segera mengurus surat perceraian kita. Setelah itu kamu akan bebas melakukan apapun dengan perempuan itu."
Tanpa menunggu jawaban suaminya, Savanna langsung meninggalkan ruang kerja suaminya. Semua ini nggak mudah untuk Savanna. Berpisah dengan laki-laki yang begitu ia cintai rasanya sakit sekali. Tapi jauh lebih sakit tinggal seatap bersama laki-laki yang dicintai tapi bagaikan orang asing.
Savanna kembali ke kamar, membanting tubuhnya di kasur, menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga kepala.
"Jahat. Aku benci kamu Mas. Aku benci," Savanna terisak sambil memukul-mukul bantal seolah sedang memukul suaminya.
Dua tahun Savanna bersabar, tapi sekarang Savanna sudah lelah. Pun selama enam bulan ini setelah kembalinya Ziya dalam pernikahan mereka, Savanna sudah berjuang. Tapi mau sekuat apapun Savanna berjuang jika dihati suaminya masih ada nama Ziya, sampai kapanpun Savanna tidak akan menang.
Terdengar suara pintu terbuka.
Savanna langsung berhenti menangis.
Dario duduk di tepi kasur, tepat di samping istrinya.
"Savanna."
"Aku mau tidur.""Kita harus bicara...
"Aku sibuk," jawab Savanna seperti tempo hari yang suaminya lakukan padanya.
"Sibuk apa? Kamu cuma rebahan doang."
"Ya sibuk rebahan."
Dario berdecak dan menarik selimut hingga wajah Savanna terlihat. Sontak saja Savanna melotot tak terima.
"Aku mau tidur! Aku nggak mau bicara lagi sama kamu, keputusanku juga udah bulat dan nggak bisa diganggu gugat. Aku mau tetap cerai, Mas."
"Duduk dulu."
"Nggak!"
Dario mencengkeram pelan bahu Savanna dan menariknya paksa hingga tubuh mungil itu terduduk. Tapi Savanna menolak dan terus mendorongnya.
"Aku bilang aku nggak mau bicara sama kamu. Lepas- hmppp."
Gerakan tangan Savanna yang memberontak terhenti, keduanya matanya melotot terkejut saat tiba-tiba suaminya mencium bibirnya. Selama dua tahun menikah ini pertama kali Dario mencium bibirnya.
"Ma-mas."
Savanna blank untuk sesaat. Ciuman yang begitu dia dambakan selama dua tahun ini nggak akan mempengaruhinya apapun. Keputusan Savanna sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
100
"Lepasin."
Savanna masih terus mendorong suaminya, tapi Dario justru memperdalam ciumannya, lidahnya dengan nakal ingin menerobos masuk ke dalam. Savanna masih teguh pada pendiriannya. Dia tidak akan goyah.
Namun begitu tubuhnya didorong hingga tertidur di kasur lalu Dario naik ke atas tubuhnya, Savanna begitu gugup dan tidak tau harus melakukan apa. Tiba-tiba saja seluruh syarafiya seperti mati rasa, hanya ada suara detak jantung yang menggila.
"Mas."
Dario tak menjawab, dengan bibir masih menyatu tangannya berusaha melepas kancing piyama Savanna.
"Mas Dario, berhenti."
Dario tak mendengarkan larangannya, justru tangannya semakin cekatan melepas seluruh kancing piyamanya.
"Mas Dario, aku bilang berhenti."
"Kenapa? Bukankah ini yang kamu mau?"
Seketika rasa gugup dan detak jantung yang menggila sirna. Savanna marah. Saking marahnya sampai tubuhnya terasa panas. Sementara Dario mengira panas tubuh Savanna karena sentuhan-sentuhan yang dia berikan.
"Aku akan memberikan ini untukmu, tapi bertahanlah denganku dan anak-anak."
Plak...
Dario tersentak tiba-tiba istrinya menamparnya.
"Bahkan setelah aku menjelaskan panjang lebar tadi kamu masih nggak mengerti kenapa aku minta cerai!"
Dario turun dari tubuh istrinya dan duduk di kasur, pun dengan Savanna yang duduk sambil menarik selimut hingga menutupi dadanya yang hanya dibalut bra merah.
"Aku mengerti. Kamu mau berhubungan badan denganku kan?"
"Mas!" Savanna tak bisa berkata-kata lagi. Entah suaminya bodoh atau polos atau tidak peka atau apapun itu, tapi yang jelas Savanna kesal Dario berpikir permintaan Savanna cerai hanya karena seks. Savanna benar-benar tersinggung.
"Kalau hanya karena seks, sudah dari tahun lalu aku minta cerai. Tapi nyatanya aku tetap bertahan sampai dua tahun kan?"
"Ya terus kenapa?"
"Auk ah, Mas, gelap."
Savanna kembali tidur dan menarik selimut hingga menutup wajahnya. Rasanya percuma saja bicara dengan suaminya yang nggak peka ini. Atau bahkan mungkin dia sengaja pura-pura nggak peka. Pokoknya keputusan Savanna sudah bulat dan dia akan segera mengurus surat cerai.
Sementara Dario masih diam di tempat, dengan mata menatap punggung istrinya, dia bingung harus melakukan apa.
"Kamu nggak mau bicara lagi?"
"Nggak. Aku ngantuk."
Dario menghela napas panjang.
Jujur saja Dario belum mencintai istrinya. Dia menikahi mantan sekretarisnya ini karena Dario ingin memberikan ibu untuk anak-anaknya.
Savanna sosok perempuan yang lembut, penyabar,
cerdas, cocok sekali menjadi ibu rumah tangga. Dan selama dua tahun ini Savanna benar-benar melakukannya, sampai-sampai kedua anak kembarnya sangat menyayangi Savanna.
Pun selama ini Savanna terlihat bahagia-bahagia saja. Tapi ternyata istrinya tersiksa batin.