Sebagai bentuk dukungan kawan-kawan buat Light Novel That Time One Class Summoned in the Another World ini. Penulis berharap, tanpa paksaan, cukup melakukan dua hal ini.
1. Sempatkan pencet tombol LIKE sebelum membaca.
2. Sempatkan tinggalkan KOMENTAR setelah membaca, terserah mau komen kayak apa, ketik satu huruf "A" saja termasuk komentar kok(。•̀ᴗ-)✧
_________________________________________
Entah berapa lama ia tertidur, bel istirahat jam kedua berbunyi. Sepertinya Shin telah melalui beberapa periode saat jam pelajaran.
Setelah beberapa saat, kelas mulai bertambah berisik lagi. Sebagai seorang tukang tidur di kelas, tubuh Shin menyesuaikan diri untuk mengetahui kapan harus bangun dan tidur lagi secara alami.
Shin bangun untuk mengambil makan siang di dalam tas.
Mayoritas orang di kelas biasanya membawa makan siang mereka sendiri, karena itulah sekitar dua pertiga di ruangan kelas tetap berada di kelas. Selain itu, tampaknya beberapa murid memiliki pertanyaan untuk guru pelajaran sosial, Shinoaka Haruka, dan tengah bermain-main dengan podium guru.
Setelah mengisi energinya dengan sebuah kotak uht, Shin berpikir untuk kembali melanjutkan mimpinya dan berencana untuk menutup matanya. Namun, dewi sekolah, yang mungkin lebih dari seorang setan dalam kasus Shin, tersenyum bahagia saat dia menarik kursinya lebih dekat ke arahnya, mencegahnya untuk kembali tidur.
Shin mengerang di dalam hati. Senin pasti telah membuatnya meninggalkan akalnya. Biasanya dia akan cepat-cepat makan siangnya dan keluar kelas untuk mencari tempat terpencil untuk tidur siangnya, tapi dua hari berturut-turut begadang tampaknya....
------------------telah membebani dirinya.
"Ah, Kiriga-kun. Kau masih dikelas."
"Shirasaki-san. Apa kau tidak akan makan siang di luar?"
"A-ah, um, Kafetaria nya penuh. Jadi kupikir untuk kembali ke kelas dan memakan bekal buatan rumah."
"Begitu ya."
Nene mengeluarkan bekal buatan rumahnya dan meletakkannya di atas meja Shin. Entah apa maksudnya, Nene menawarkan makan siangnya kepada Shin.
"Kau belum makan siang 'kan? Jadi, kalau mau cobalah bekal milikku."
"Eh?!" Shin tampak terkejut. "Tidak! Tidak! Bagaimana denganmu, Shirasaki-san! Kau juga belum makan siang juga bukan?"
Shin berteriak saat itu, tentu yang masih berada di dalam ruangan juga mendengar suaranya.
Untuk beberapa alasan, Nene mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak makan siangnya lagi.
"Jangan khawatirkan soal itu. Kebetulan aku tidak sengaja membawa bekalnya dua. Jadi, satunya kukasih untukmu saja deh. Itu spesial loh."
"Apa? Maksudnya spesial itu apa?"
Nene tersenyum.
"Bukan apa-apa."
"K-Kiriga-kun, sepertinya kau butuh lebih banyak energi!" Nene tersenyum menyilaukan saat dia mengatakan kalimat itu dengan grogi.
"Ayo kita makan bareng."
"I-iya, terima kasih atas makan siangnya, Shirasaki-san."
Shin menerima bekal buatan rumah Nene.
(sebenarnya Nene lah yang membuat kedua bekal tersebut dari rumah. Ia sengaja membuatkan kare khusus untuk Shin)
Tentu Shin tidak menyadarinya bahwa bekal tersebut adalah buatannya sendiri dari Nene.
"Oh? Kare."
Apakah ini suatu kebetulan? Kare adalah makanan kesukaanku. Ah, tidak. Mungkin saja, dia sangat menyukai kare daripada aku.
"Selamat makan!"
"Selamat makan."
Melihat dari suasananya, Nene sepertinya sedang merasa sangat bahagia dan ceria ketika menghabiskan waktu berdua bersama Shin.
Saat memasukkan kare ke dalam mulutnya. Shin bereaksi saat rasa pedas yang sempurna menyentuh lidahnya. Matanya terbelalak dan kagum.
"Enak? Serius, ini tidak. Mungkin ini adalah kare terenak yang pernah kurasakan!"
"Benarkah!? Syukurlah kalau kau menyukainya."
"Orang yang membuat ini pasti menggunakan bumbu rahasia di dalamnya!"
"B-benarkah!? U-um! Ya… kurasa begitu."
Tidak lama setelah itu, beberapa grup yang berbelanja dari Kafetaria kembali ke kelas. Sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, Shin berusaha untuk mencari cara agar bisa menjauh dari Nene.
"Shirasaki-san, aku lupa untuk mengumpulkan tugas. Jadi…"
"Aku mengerti. Kalau ga segara dikumpul nanti kau tidak akan mendapatkan nilai lho."
"Ah, maaf. Aku akan segera kembali."
"Iya."
Nene mengangguknya paham.
Shin mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan beberapa buku catatannya. Dengan mengumpulkan tugas-tugasnya selama libur panjang pada Haruka, ia dapat meluangkan waktunya mengobrol dengan Haruka-sensei sementara mengorbankan kare terenaknya demi menghindari tatapan mengerikan dari teman-teman sekelasnya.
"Lama tidak bertemu, Haruka-sensei."
"Kiriga-kun. Satu tahun begitu cepat berlalu ya. Bagaimana harimu saat libur panjang?"
"Y-yah, tidak terlalu spesial."
"Kamu tau? Sensei sangat merindukan wajahmu itu."
"Be-begitu ya, sensei merindukan wajahku. Ha…hahaha."
Shin tertawa lebar sambil menggaruk kepalanya. Ia terus berteriak di dalam pikirannya, kapan kelas ini akan dimulai. Shin tidak ingin Nene terus menunggu di sana. Ia juga kehabisan topik dengan Haruka. Tanpa berpikir panjang, Shin langsung membuka pembicaraan untuk mengulur waktu.
"A-anu, begini sensei. Sekarang usia sensei berapa?"
"Etto… mungkin sekitar 20 an."
"Oh, sensei ternyata masih muda, ya. Saya mengira sensei berusia 30 an, mungkin diatasnya."
Haruka menggembungkan pipinya agak sedikit kesal. Mungkin Haruka kesal karena Shin mengira dirinya sudah tua. Meskipun sebenarnya Shin merasa tidak enak karena mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, dan dengan refleks mengambil langkah mundur.
Haruka merupakan satu-satunya seorang guru terfavorit di sekolah. Selain masih muda, Haruka masih belum mempunyai seorang suami.
"A-ah… tidak. Jika saja, saya terlahir 3 tahun lebih awal, mungkin saya sudah melamar sensei saat itu."
Haruka memerah karena malu dan mulai gemetaran. Dia menatap Shin dan berkata, "A-ap-apa yang sedang kamu bicarakan, Kiriga-kun!? Sensei tidak dapat mengerti."
Tidak lama kemudian, bel pun berbunyi.
"Haruka-sensei. Mulai sekarang sampai tahun kedepan, mohon bantuannya!"
"I-iya…"
Shin menundukkan kepalanya pada Haruka, dan segera kembali ke tempat duduknya.
Melihat sifatnya yang tulus itu, Haruka merasa kalau Shin itu adalah perwujudan dari adiknya yang sudah meninggalkannya tiga tahun yang lalu. Dia tersenyum gembira meski terdapat beberapa kesedihan di dalam dirinya.
Saat ia kembali ke tempat duduknya, Nene ternyata sudah menyimpan bekal siangnya ke dalam tas. Tetapi dia masih menunggu kedatangan Shin di sana.
"Kau akrab sekali dengan Haruka-sensei, ya."
Shin mengangguk lesu, matanya menghadap ke bawah, rasa bersalah kini telah menghantui pikirannya untuk meminta maaf karena tidak menghabiskan makan siang yang diberikan Nene.
"Shirasaki-san, maaf. Aku tidak sempat menghabiskan kare buatan rumahmu."
"Tidak apa-apa. Kalau mau, lain kali akan kubuatkan khusus untukmu."
"Khusus?"
Shin memiringkan kepalanya dalam kebingungan. Ia tidak terlalu mencerna maksud di balik perkataannya. Akan tetapi, Nene merespon secara alami dengan mengangkat bahunya, telinga dan pipi nya tiba-tiba memerah. Nene menjadi canggung dalam tingkah lakunya pada Shin.
"Ah, terima kasih atas tawarannya, Shirasaki-san. Tapi aku tidak ingin terus merepotkanmu."
Namun perlawanan lemah seperti itu tidak akan mempan pada dewi sekolah itu, jadi dia terus memaksa Shin selama masih ada kesempatan.
"Jangan khawatirkan soal itu. Kau perlu makan yang banyak, Kiriga-kun! Besok, aku janji akan membuatkan kare yang banyak nanti untukmu!"
"S-Shirasaki-san… itu…"
Semua mata tertuju pada mereka berdua, termasuk Haruka-sensei. Perkataan itu seperti dia bermaksud mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung pada Shin. Lebih dekat meminta seseorang untuk menjadi pasangannya.
Nene membuat dirinya terlihat mempermalukan dirinya sendiri, namun itu tidak akan menjadi masalah karena dia benar-benar menyukai Shin.
Dalam waktu singkat, Shin benar-benar bisa langsung merasakan bagaimana ada aura kebencian yang sangat kuat menyelimuti seluruh ruangan. Ia berusaha untuk tidak melirik tatapan membunuh dari teman-teman sekelasnya.
Tolong, tolong, biarkan aku beristirahat sebentar saja! Kenapa kau tidak sadar! Baca situasi dong!
Dengan setiap saat, Shin bisa merasakan tekanan yang meningkat, dan penyelamatnya akhirnya muncul saat keringat dingin mulai meluncur di punggungnya. Amanogawa Jun.
"Em. Shirasaki Nene-san, kelas sebentar akan dimulai, jadi bisakah kamu melihat situasinya terlebih dahulu?"
"U-um. Maafkan aku."
Nene mengangguk dengan perasaan tidak nyaman dan hendak mau kembali ke tempat duduknya.
Namun, entah bagaimana, Shin tidak bisa terus bersikap seperti ini pada Shirasaki Nene. Dia tidak ingin membiarkan Nene merasa kecewa dan Shin memberikan jawaban dengan berdiri tegak.
"Aku sangat menantikannya, Shirasaki-san!"
Langkahnya terhenti begitu mendengar Shin mengatakan itu barusan. Dia tersenyum manis membelakangi Shin, jauh dari lubuk hatinya dia sebenarnya merasa sangat gembira dan senang.
Pada saat itulah, semuanya telah berakhir.
Ada lingkaran emas bercahaya yang terukir dengan berbagai pola geometris yang bercahaya di depan Shin, di kaki Amanogawa.
Semua murid melihat lingkaran aneh juga. Semua orang membeku di tempat, kebingungan, menatap pola bercahaya yang aneh itu, karena tak ada kata yang lebih baik, lebih seperti lingkaran sihir.
Lingkaran sihir mulai bersinar semakin cerah, sampai cahayanya menyelimuti seluruh kelas. Lingkaran itu sendiri mulai berkembang juga, dan ketika akhirnya tumbuh cukup besar untuk menutupi kaki Shin, semua orang akhirnya menyadari dan mulai berteriak.
Haruka-sensei, yang tinggal di kelas, berteriak.
"Semua! Keluar dari kelas!"
Pada saat yang sama lingkaran sihir berkobar dalam ledakan terang yang cemerlang.
"Ryunosuke!"
Salah satu murid, Ryunosuke menerobos keluar kelas, namun dia terhempas dan terlempar seperti ada sesuatu yang menghalangi jalan keluar mereka. Bahkan beberapa murid mencoba untuk melompat dari jendela, namun hasilnya tetap sama. Mereka telah terjebak.
Shin berbisik. "Apa yang sebenarnya terjadi…" ia melihat ke arah Nene, diam membeku.
Setelah beberapa detik, atau mungkin beberapa menit, cahaya itu akhirnya mulai memudar, dan warnanya kembali ke kelas.
Namun, ruangan itu kini menjadi sangat sepi. Beberapa kursi terlempar, kotak makan setengah makan sedang diam di meja, dan sumpit dan botol plastik bertebaran di seberang ruangan. Ruang kelas memiliki segalanya yang tertinggal di dalamnya kecuali manusia di dalamnya.
Kejadian hilangnya Sekolah Menengah Atas menyebabkan kegemparan di seluruh dunia, tapi cerita ini akan lebih baik disimpan untuk lain waktu.