Dari yang berkebun sampai yang mulai menyiapkan sarapan, semua pelayan di kediaman Almira semuanya sudah sibuk bekerja di sana-sini meskipun pagi masih buta. Bahkan kepala pelayan juga sudah bangun untuk mengawasi seluruh pekerjaan, sampai akhirnya ia ikut membantu di dapur untuk memastikan menu sarapan hari ini cocok di lidah para anggota keluarga Almira.
Baru setelah matahari sudah mau terbit, dia pun melipat apronnya. "Selesaikan sisanya." Katanya. Tanpa diberitahu semuanya juga sudah tahu, kalau itu sudah jadwalnya memeriksa keadaan para anggota keluarga.
Keluarga Almira hanya beranggotakan tiga orang. Yaitu tuan Almira, nyonya Almira, dan putri semata wayang mereka, nona Almira. Masing-masing dari mereka sudah punya pelayan pribadi, jadi sebenarnya kepala pelayan cuma perlu memastikan kalau para pelayan melayani mereka dengan benar saja. Tapi mungkin karena dia dulunya merupakan pelayan pribadi nyonya Almira, dia sudah diminta khusus untuk selalu mendatanginya setiap pagi.
Tok tok. "Nyonya Anastasia, ini saya, Helen." Ijinnya di pintu.
"Masuk."
Dan begitu Helen melangkah ke dalam, majikannya kelihatan masih terduduk lemas di kasurnya. Wajahnya kelihatan masih mengantuk, tapi senyum cantiknya sudah terlihat merekah disinari mentari pagi. Setelah punya anak dan melewati umur 30, anehnya wanita dengan rambut brunet panjang itu malah terlihat semakin cantik setiap harinya.
"Helen, apa Rina sudah bangun?"
"Saya akan memeriksanya setelah ini." Jawab Helen.
"Hm, firasatku agak tidak enak hari ini. Apa Aku harus mengajaknya jalan-jalan…?" Lanjutnya sedikit cemberut. "Pastikan Rina turun ke bawah untuk sarapan ya. Jadi siapkan jus jeruk kesukaannya juga nanti."
"Saya mengerti." Balas Helen dan dia pun pergi keluar.
Lalu setelah berjalan ke sisi rumah yang lain, dia pun akhirnya berdiri di depan pintu kamar nona mudanya. Tapi tepat saat dia akan mengetuk, pintunya malah sudah terbuka sendiri. Memperlihatkan sosok Sei yang keluar dari sana.
"Ah, nyonya Helen." Katanya sambil membungkuk.
Helen memandangi nampan teh yang ada di tangan Sei sejenak dan kembali menatapnya. "...Nona Arina sudah bangun daritadi?"
"Iya, dan ia memintaku untuk membuatkan teh yang baru." Balas Sei.
"Yasudah, sana pergi." Katanya dan Sei pun menurut. Meski setelah dua langkah, Helen malah memanggilnya lagi. "Itu, apa suasana hati nona Arina sedang buruk?"
"...Sepertinya tidak."
"Begitu." Balasnya dan dia pun membiarkan Sei pergi lagi. Tapi sembari memperhatikan bawahannya itu berbelok di koridor, Helen jadi teringat kalau ternyata Sei sudah bekerja hampir tiga tahun di mansion ini. 'Kurasa nona Arina lumayan menyukainya.' Pikirnya.
Mengingat perangainya yang mudah sekali naik-turun, Arina dulunya selalu minta ganti pelayan setiap bulan bahkan setiap minggu seakan itu adalah jadwal yang sudah diatur. Alhasil, posisi yang awalnya diinginkan semua pelayan itu perlahan mulai berubah jadi posisi yang paling dihindari.
Tapi entah kenapa, semua itu berhenti setelah Sei jadi pelayannya. Bahkan setelah lebih dari setahun ditugaskan untuk jadi pelayan pribadi Arina, Sei juga tidak pernah kedengaran mengeluhkan apapun, yang berarti kalau setidaknya dia tidak disiksa oleh Arina atau semacamnya!
"Mungkin karena Sei penurut…?" Gumam Helen, yang kemudian langsung menggeleng sendiri, tahu kalau tidak ada gunanya menebak-nebak isi pikiran nona mudanya. Soalnya sewaktu umur Arina masih 3 tahun saja, dia sudah kesulitan melakukannya. Apalagi sekarang.
Tok Tok. "Nona Arina, ini saya, Helen."
"Masuk."
Dan begitu si kepala pelayan masuk, ternyata bukan hanya sudah bangun, nona muda cantik itu sudah duduk di meja kerjanya.
Berbeda dengan ibunya, Arina sebenarnya lebih mirip dengan tuan Almira, terutama karena rambut hitamnya yang bergelombang dan mengkilap sempurna. Matanya yang abu-abu gelap juga kabarnya berasal dari nenek keluarga ayahnya.
Tapi kalau ada satu hal yang mirip, caranya mengulum senyum tipis benar-benar sama persis dengan nyonya Anastasia. Misalnya sekarang.
"Helen, tumben kau kemari." Sapanya duluan.
"Saya dengar anda sudah bangun daritadi ya?" Tanyanya.
"Tidak. Aku memang tidak tidur semalam." Sahutnya santai.
"Anda tidak bisa tidur? Apa anda sudah minta dibuatkan teh chamomile atau semacamnya supaya—"
"Tidak butuh. Lagipula Aku bukannya tidak bisa tidur karena insomnia." Potongnya. "Aku justru tidak bisa tidur karena sedang senang." Lanjutnya sambil tersenyum lagi.
"Anda sedang senang? Karena apa?"
"Rahasia."
'Hm? Mungkin Aku memang harus menceritakan ini pada nyonya Anastasia?' Pikir Helen.
Logikanya mudah. Soalnya semua pelayan sudah tahu betul kalau Arina adalah orang yang sulit ditangani—yang artinya tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuatnya senang. Jadi kalau orangnya justru senang tanpa alasan seperti ini, biasanya itu bukan hal yang normal. Paling buruk, dia mungkin sudah membuat masalah.
"Kenapa? Kau mau cerita ke ibu?" Tanya Arina yang langsung bisa membaca ekspresi heran Helen. "Apa dia menyuruhmu ke sini untuk menanyakan itu?"
"...Tidak. Beliau cuma ingin memastikan kalau anda turun untuk sarapan nanti."
Arina sempat terdiam dengan senyumnya, tapi kemudian dia membalas, "Ya, ya, baiklah. Apa ibu tanya hal lain?"
"Hm, beliau sebenarnya berpikir untuk mengajak anda jalan-jalan hari ini."
"Begitu? Tapi sayang sekali Aku tidak bisa. Soalnya pangeran bilang akan ke sini hari ini." Balasnya. Tapi setelah memandangi wajah Helen beberapa saat, dia kembali tersenyum tipis. "Tapi kalau nanti ibu tanya tentang hubungan kami, katakan saja kalau Aku masih menyukainya, oke?"
Si kepala pelayan kelihatan tidak puas, tapi akhirnya dia membungkuk. "Kalau begitu saya permisi." Katanya dan dia pun keluar meninggalkan Arina.
Dan begitu dia kembali ke kamar Anastasia, nyonya besar itu sudah berpakaian rapi sekarang. "Apa semuanya sudah turun?" Tanyanya langsung. Tapi karena menyadari tatapan Helen yang sedikit aneh, Anastasia pun menyuruh pelayannya yang lain untuk keluar dulu.
"Kenapa? Apa suasana hati Rina sedang jelek lagi?"
"Tidak. Sebaliknya, nona Arina justru kelihatan sangat senang hari ini." Jawab Helen. "Saking senangnya dia sampai tidak bisa tidur semalam."
"Dia bilang kenapa?"
"Sayangnya tidak."
"..." Memasang senyum tipis yang sama seperti anaknya, nyonya Anastasia sempat terdiam agak lama. Walaupun belum saling bertemu pagi ini, sepertinya permainan rahasia-rahasiaan di antara mereka sudah dimulai lagi.
Arina sudah memainkan ini sejak dia kecil, tapi nyonya Anastasia tetap saja masih kesulitan menanganinya. Kalau waktu kecil dia mungkin cuma menyembunyikan cokelat, tapi sekarang dia sudah senang menyembunyikan hidupnya sekalian.
"Mungkin harusnya Aku memang mengajaknya jalan-jalan hari ini…"
"Mengenai itu, nona Arina kelihatannya punya jadwal hari ini." Timpal Helen lagi.
"Jadwal apa? Bukankah dia sudah menyelesaikan semua pelajarannya?"
"Tidak. Tapi katanya pangeran berencana berkunjung hari ini."
"Pangeran? Alex?"
Tapi karena Helen hanya diam, nyonya Anastasia pun jadi mulai gelisah sendiri. "Tapi Helen, menurutmu hubungan mereka bagaimana? Baik-baik saja?" Tanyanya, sepenuhnya khawatir mengenai fakta bahwa putrinya sudah punya tunangan sekarang.
"Kalau anda menanyakan itu, nona Arina berpesan pada saya untuk menyampaikan kalau dia masih menyukainya." Balas Helen seadanya.
"Haha… Anakku memang lucu." Gumamnya getir.
Karena keluarga Almira adalah bangsawan yang punya kedudukan tinggi, tawaran pertunangan bahkan pernikahan sebenarnya sudah datang semenjak Arina kecil. Tapi karena perangai dan karakternya yang agak aneh, Arina tidak pernah mau menerima siapapun.
Nyonya Anastasia yang lembut memang tidak pernah suka memaksa Arina, tapi tuan Almira juga jarang menang kalau Arina mulai marah padanya. Jadi ya, biasanya mereka hanya membiarkan Arina sesukanya.
Namun terlepas dari semua itu, 5 bulan lalu, pangeran ketiga tiba-tiba saja mengajukan proposal pertunangan kepada Arina--yang mengejutkannya malah diterima!
Bukan cuma berstatus tinggi, sekarang keluarga Almira juga punya status calon besan keluarga kerajaan. Kata 'disegani' saja mungkin belum cukup.
"Saladnya enak." Puji Arina saat menyuap. Seperti yang dikatakan Helen, kelihatannya suasana hati Arina memang bagus hari ini. Saking terlihat jelasnya, kedua orangtuanya sampai heran dan sempat saling memandang dulu seakan tidak yakin kalau nona muda yang duduk di depan mereka benar-benar putri mereka atau bukan.
Tapi kemudian si ayah ingin ikutan menyahut. "Iya, iya. Hari ini saladnya memang enak!" Timpalnya semangat. Tapi karena Arina mengabaikan seruannya, dia pun kembali menyuap rotinya dalam diam.
Lalu akhirnya si ibu pun angkat suara juga. "Ibu dengar hari ini pangeran akan datang ya?" Katanya memulai. "Padahal dia pasti sibuk. Syukurlah pangeran Alex perhatian padamu." Katanya. Tapi kali ini juga sama. Arina cuma diam mengunyah sarapannya.
Keduanya sempat menyerah untuk sesaat, tapi kemudian tuan Almira bicara lagi. "Ah, bicara tentang pangeran, Aku jadi ingat sesuatu." Katanya kemudian.
"Apa kalian sudah dengar tentang pangeran Felix? Padahal awalnya dia cuma bisa mengeluarkan api kecil, tapi kemarin Aku lihat dia sudah bisa membakar satu pohon langsung." Cerita si ayah.
"Aku juga dengar. Jadi itu benar?" Sahut nyonya Anastasia. "Kurasa hutan ajaib itu memang bisa mengubah nasib seseorang."
"Tidak dapat tangan, tapi malah dapat sihir kah…" Celetuk Arina dan orangtuanya kembali diam.
"...Kenapa? Aku tahu kalau awalnya dia ke sana karena berharap bisa mengembalikan tangannya." Tambah Arina lagi. "Walaupun gagal, setidaknya dia dapat sesuatu yang lain."
"..." Keduanya saling memandang lagi, tapi akhirnya mereka cuma mengangkat bahu. Tidak ada yang salah dengan kalimat putri mereka.
"Tapi Alex tidak masalah?" Tanya si ayah lagi. "Berkat itu, belakangan ini ada rumor kalau posisi Alex sebagai putra mahkota mungkin bisa terancam lagi."
Tapi lagi-lagi putrinya cuma diam.