Cukup lama Haris dan Faiz saling terdiam, keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Mereka berdua masih menunggu Akhwat yang sama-sama mereka cintai itu di luar ruang operasi.
"Berarti di antara kita Berempat hanya Raffa yang belum tahu kabarnya ya Iz..?? Anta tahu sekarang dia di mana..??" Haris berusaha meregangkan ketegangan, sementara Faiz hanya menggelengkan kepala masih enggan untuk berkomentar.
Tidak berapa lama kemudian lampu merah di atas pintu ruang operasi mati, menandakan proses pembedahan pada pasien itu telah selesai dan keluarlah dr.Iman dari ruangan tersebut.
"Bagaimana Keadaan Vi, Man..??" Faiz langsung berdiri hendak menghampiri dokter sahabatnya itu.
"Awww.." Pekiknya, Ikhwan itu kembali terduduk karena luka di kepalanya masih terasa sakit hingga membuat matanya berkunang-kunang dan pening.
"Hati-hati Iz.. Anta belum sembuh benar..!!" Haris membantu memperbaiki posisi Faiz di kursi roda.
"Assalamualaikum Mas, Apa kabar..??" dr.Iman menyapa Haris seraya menjabat tangan seniornya itu.
"Alhamdulillah.. Ana baik dok..!!" dokter sendiri bagaimana..??"
"Masyaa Allah Mas, Nda usah sungkan.. panggil aja Ana Iman seperti biasa. Rasanya Ana Nda enak..!!"
"Baiklah Man, bagaimana kondisi Vio.. Apa dia baik-baik saja..??"
dr.Iman tidak langsung menjawab, ia seperti sedang memilih kata yang tepat supaya kedua Ikhwan itu tidak shock.
"Operasinya Alhamdulillah berhasil.. tapi.."
"Tapi apa.. Anta jangan setengah-setengah ngasih informasi Man..!!" Lagi-lagi Faiz tidak sabar.
"Istighfar Iz, Anta harus sabar.. biarkan Iman menuntaskan perkataannya dulu." Sebagai yang lebih tua dari dulu Haris memang selalu menasehati adik-adiknya, sedang Faiz hanya menunduk..
"Iya maaf Iz, jadi gini.. Kita harus menunggu dua jam setelah operasi tersebut untuk melewati masa kritisnya. Jika sudah lewat dari dua jam Vio masih belum sadar berarti..... dia... koma...!!"
"Innalilahi.. Vi..!!" Faiz langsung terisak, sedang Haris hanya bergumam seraya menengadah kan kepalanya keatas supaya airmata tidak jatuh.
"Tapi memang sekalipun Vio tersadar dia akan lumpuh.. karena saraf motorik di otaknya sedikit terganggu. Semoga saja itu hanya vonis prediksi Ana aja, karena segala sesuatunya hanya Allah lah yang maha menentukan..!! Ana harap Mas Haris dan Anta Iz bisa lebih tabah.. Kita jangan berputus asa, Terus berdoa karena hanya dengan doa semuanya bisa berubah..!!" dr.Iman menepuk bahu Faiz sebagai bentuk support dan kekuatan untuk Ikhwan tersebut.
"Ana sudah lalai Mas, Ana yang sudah membuat Vi seperti itu.. Andai aja Ana Nda egois..!! Kenapa bukan Ana aja terbaring disana mas..." Faiz tak kuasa menahan hatinya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.
"Vii.. Ka Faiz minta Maaf...!!" Faiz menangis dengan penuh kesakitan, ia tidak peduli dengan Haris maupun Iman yang ada di depannya.. bahkan dengan perawat yang berlalu lalang. Yang ada di otaknya saat ini hanya perasaan bersalah dan menyesal.
"Ana mengerti Iz.. jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, bagaimana pun ini sudah kehendak Allah.. Istighfar banyak-banyak..!! Vio Akhwat yang baik, in Syaa Allah dia bisa melewati ini semua.. Anta jangan berputus asa Iz..!!" Lagi-lagi Haris menasehati juniornya itu, ia berusaha tegar meski ia sendiri sejujurnya sangat terpukul mendengar pernyataan Iman tersebut.
Airmatanya selalu ia tahan, karena tidak ingin terlihat lemah di depan adik-adiknya. Padahal seorang laki-laki tidak akan menjadi wanita hanya karena dia menangis, jika memang sudah tidak kuasa kenapa tidak kita tumpahkan saja karena sejatinya kita hanya manusia biasa. Munafik jika seorang laki-laki di dunia ini ada yang tidak pernah menangis satu kali pun.
"Lebih baik sekarang Anta istirahat aja Iz, setelah dua jam kita lihat perkembangan keadaan Vio di ruang ICU.. semoga saja dia bisa sadar..!!" dr.Iman kembali angkat bicara.
"Nda usah Man, Ana akan tetap tunggu Vi di sini..!! Kalian pergilah dulu, Ana ingin sendiri..!!" Faiz ingin menenangkan pikirannya supaya tidak begitu tertekan.
dr. Iman dan Haris saling berpandangan, Ikhwan itu kemudian mengisyaratkan sesuatu kepada seniornya tersebut untuk pergi mengikutinya.
"Baiklah kalo begitu Ana dan Iman pamit dulu Iz, Assalamualaikum..!!" Haris menimpali.
"Wa Alaikumussalam..!!"
"Bagaimana keluarga di rumah Mas.. apa mereka sudah diberitahu..??" dr. Iman bertanya ketika keduanya sudah berjalan menjauh dari Faiz.
"Sudah.. tapi Ana belum bisa memberitahukan kondisi yang sebenarnya kepada Emil dan ibundanya Vio."
"Oh iya Mas, bukankah hari ini pernikahan Mas Haris dan Vio.. kenapa Vio malah satu mobil dengan Faiz dan ada di sekitar daerah sini..??" Ikhwan itu dari pertama melihat Vio memang sudah merasa bingung, namun ia baru sekarang berani bertanya kepada Haris.
"Ceritanya panjang Man.. namun yang pasti sekarang pernikahan itu sudah kami batalkan, Emil harus dirawat di rumah sakit.. sayangnya Vio belum tahu tentang itu. Karena ketika Ana memberitahukan ke Faiz, Ikhwan itu malah shock hingga hilang kendali dan kemudian terjadilah kecelakaan itu." Haris mengatur nafas sejenak dan kemudian melanjutkan perkataannya lagi.
"Memang seharusnya Faiz dan Vio sudah tiba di acara Akad itu sekitar jam 8.. Tapi entah kenapa Mereka berdua telat, mungkin Faiz sengaja mengulur waktu. Namun siapa tahu kecelakaan itu menimpa keduanya, mungkin alasan itu juga yang membuat Faiz merasa bersalah kepada Vio hingga menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan tersebut..!!"
"Apa Faiz memang Nda mau melihat Vio menikah dengan mas Haris..??"
"Iya Man.. setelah istrinya itu meninggal, Faiz justru ingin menikahi Vio. Apalagi Almarhumah istrinya itu berpesan seperti itu juga." dr.Iman mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
"Tapi bukankah dari dulu Faiz memang menyukai Vio Mas, dan Ana yakin Mas Haris juga tahu akan hal itu. Kenapa Mas Nda mengalah saja..??!"
"Masalahnya Vio itu sudah lebih dulu menerima lamaran istri Ana Man, dua bulan sebelum meninggalnya Riha.."
Jika melihat gesture wajah Haris, Iman justru bisa menyimpulkan bahwa sepertinya Haris setuju menikahi Vio bukan semata-mata hanya demi sang istri namun dirinya juga sudah mulai mencintai Akhwat tersebut.
Tiba-tiba handphone Haris berdering..
"Ana pamit ganti baju dulu Mas, Assalamualaikum.."
"Wa Alaikumussalam..!!"
Setelah Iman berlalu Haris langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum Abi..??"
Pak kyai ternyata menghubunginya.
"Faiz Alhamdulillah baik Abi, ia sudah sadar karena hanya mengalami luka ringan. Kalo Vio Belum ada keputusan, kata Iman nunggu dua jam dulu.. karena luka di kepalanya sangat parah..!!"
"iya.. dr. Iman putra Abi..!!"
"Sekarang sedang di ruangannya.."
"NgGiih Abi hati-hati.. Wa Alaikumussalam..!!"
Dua jam kemudian mereka berkumpul di luar ruang ICU untuk mendengarkan penjelasan dokter tentang perkembangan kondisi Vio, termasuk keluarga Pak kyai, Emil, ibunda Vio dan juga ibunda Faiz. Zalwa tidak bisa hadir karena harus menjaga Fariha di rumah. Ibunda Vio terus menangis di pelukan istri pak kyai sedang Emil terisak dalam dekapan sang suami, sementara Faiz yang masih di kursi roda memeluk ibundanya yang berdiri dan pak Kyai hanya bisa menunduk menyaksikan pemandangan yang penuh kabut kesedihan itu.
Ibunda Vio dan Emil sebenarnya sudah dilarang untuk tidak ikut ke rumah sakit, namun rasanya memang egois jika dua orang yang penting dalam hidup Akhwat itu tidak diberitahukan meski demi kesehatan keduanya. Karena bagaimanapun Emil harus mengetahui kondisi sahabatnya itu apalagi ibunda Vio sebagai orang tua tunggalnya.
Tidak berapa lama kemudian dr. Iman bersama seorang dokter senior yang sudah berumur keluar dari ruangan tersebut..
"Bagaimana keadaan putri saya dok..??" Ibunda Vio buru-buru melepaskan pelukannya untuk menghampiri kedua dokter tersebut. Keduanya saling berpandangan seperti mengisyaratkan bahwa siapa yang akan menjelaskan kepada keluarga pasien.
"Silahkan dok.. !!" dr. Iman mempersilahkan dokter senior itu untuk menjelaskan, karena jika ia sendiri sepertinya tidak kuasa menahan kesedihan.
"Seperti yang sudah jelaskan oleh dokter Iman sebelumnya bahwa kami harus menunggu dua jam setelah pasien di operasi untuk melewati masa kritisnya, namun sayangnya.. Saya katakan dengan berat hati bahwa pasien tersebut masih belum bisa sadarkan diri karena mengalami koma.." Dokter itu langsung menunduk.
"Nda mungkin... putriku pasti sembuh kan dok.. katakan putri ku pasti sembuh.. huhuu!!" Ibunda Vio langsung histeris. Begitupun dengan Emil dan istri pak kyai, keduanya langsung memeluk ibunda Vio. Mereka berusaha menguatkan wanita itu supaya tidak lepas kendali meski sejujurnya mereka berdua juga tidak bisa menyimpan kesedihan itu.
Lagi-lagi Faiz menangis, ia tidak bisa tegar dari Ikhwan lainnya karena sungguh Faiz merasa bersalah atas apa yang menimpa akhwat yang sangat ia cintai itu Dan seperti biasa Haris akan menengadah kan wajahnya keatas, Ia tetap berusaha tegar di hadapan semuanya.