Aku menemukan seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di dalam kegelapan dingin ini. Entah bagaimana, ketika pakaian gelap dan wajah kusam itu berhasil menyamarkan keberadaannya. Mengabaikan dirinya, aku juga mencium aroma nostalgia—bunga melati yang berusaha mengencerkan busuk darah dari bangkai manusia di sekitarnya.
Menggunakan kenangan, aku menerangkan kegelapan ini menjadi sebuah koridor putih tak berujung, juga memudarkan sosok misterius itu layaknya hantu. Melihat sejenak, tidak akan ada yang menyangka jika koridor cerah ini telah menyimpan banyak kisah tragis.
Menggerakkan "tubuh", aku menelusuri ilusi halus ini untuk mencari petunjuk dan kejanggalan lainnya—apa pun yang dapat menghiburku dari siklus tanpa akhir ini. Pada saat inilah aku menemukan sebuah jendela persegi panjang yang melekat pada sisi kiri koridor, mengungkapkan ruangan dengan bantalan putih yang menyelimuti dindingnya.
Mengamati ruangan yang menyerupai penahanan penderita gangguan jiwa itu, aku menemukan sebuah kasur rumah sakit dengan berbagai peralatan medis yang mengelilinginya… Anehnya, tidak ada satu pun jiwa yang menempatinya, layaknya hanya digunakan sebagai pameran dari ingatanku.
Melanjutkan perjalanan, aku kembali menemukan sebuah jendela—kini mengungkapkan ruangan berdinding keramik yang menyerupai halnya ruang kelas, dengan 13 tempat duduk bagi para pelajarnya. Mengamati "meja guru", aku juga menemukan pot kecil yang menahan sebuah bunga lily putih, menantang lampu yang sekali-kali berkedip itu.
Jendela yang hadir berikutnya mengungkapkan ruangan berumput dengan dinding yang memamerkan lukisan alamnya. Tidak hanya itu, sebuah gazebo putih juga hadir menguasai pusat ruangan ini.
Membedakannya dengan ruangan sebelumnya adalah kehadiran seorang anak laki-laki berjubah pasien rumah sakit yang tengah menduduki pelataran bangunan kecil itu. Kaki menekuk ke atas, serta wajah berambut hitam cukup panjang yang melekat pada lututnya. Ia terlihat kesepian.
Tidak lama kemudian, sebuah pintu besi terbuka dari sisi kanan ruangan itu, menghadirkan seorang anak perempuan—juga berjubah pasien—yang berjingkrak menuju lelaki itu. Sayangnya aku tidak dapat mendengar apa yang tengah mereka perbincangkan dari balik jendela tebal ini.
Namun mengamati ekspresi dan gestur dari sosok gadis berambut merah, rupanya ia ingin mengajak anak laki-laki itu bermain dengannya. Setelah sesaat menolak, ia menyerahkan tubuhnya untuk berdiri dan dituntun memasuki pintu besi seraya bergandengan tangan dengan anak perempuan itu.
*Brrt*
Apakah kamu ingin bangun dari mimpi buruk ini?
Merasakan setruman yang mengganggu kesadaran, aku menemukan diriku berdiri tepat pada ujung koridor ini, masih dengan ruangan gazebo di hadapanku… Namun aku harus merombak kesadaran sementara ini secepatnya, terlebih setelah merasakan kehadiran sosok makhluk tepat di belakangku.
Sejenak mengumpulkan kewarasan, aku perlahan memutar perantara ini untuk menelan pemandangan yang tampak langsung dari neraka. Koridor yang sebelumnya cerah dan menyilaukan kini menjadi redup dengan kedipan lampu yang mengungkapkan bercak aliran darah dan tumpukan tubuh tak bernyawa. Tua maupun muda, dokter maupun sipir penjara.
Di balik pertumpahan darah, aku kembali merasakan keakraban dari sosok suram ini. Tatapan kosong namun membaranya tertuju pada koridor berdarah itu. Dinding berlumuran darah menertawakannya, mengejek kekejian dalam membunuh saudara-saudaranya sendiri.
Namun berbeda dengannya. Pikiran yang telah diracuni oleh aroma darah itu membuatnya tidak dapat membedakan tawa dan tangisan, mensyukuri penderitaan dan dendam kronis yang akhirnya terselesaikan.
"Lima lagi."
Layaknya robot rusak, ia berkali-kali mengucapkan kedua kata itu. Belati yang meneteskan darah pada tangan kirinya telah digunakan untuk menebas berbagai organ vital manusia dengan mudah layaknya potongan kue. Namun hal itu tidak dapat menutupi beragam luka tebasan dan tembakan di sekujur tubuh, serta darah yang mengalir keluar dari telinga, mata, hidung, hingga mulutnya.
Apakah kamu rela menyerah dari mimpi buruk belaka ini, atau apakah dirimu bersedia memaksa kewarasanmu untuk mencapai akhir dari segalanya?
Pertanyaan itu datang menghampirinya. Mimpi buruk yang kembali terulang hingga membuatnya mati rasa terbiasa dengannya. Kita sebagai manusia selalu berdiri di ambang kematian dan kehidupan… Namun ia tidak memedulikannya. Ia hanya ingin menyelesaikan dendam yang terpendam sejak hari ulang tahun penuh tragedi itu.
Pengkhianatan atas para "pelindungnya" membuatnya ingin menuntaskan amarah itu. Mengamati wajah lelaki yang haus akan darah dan kematian itu membuatku tersadar bahwa aku sedang meratapi sebuah cermin. Dia adalah aku.
…
***
"…"
Meronta, aku terbangun dari mimpi buruk itu. Membuka kedua mata, aku menemukan tubuh nyataku terbaring di atas sebuah kasur biru, menatap langit baja dengan sekrup-sekrup besar yang menahannya. Ruangan ini begitu asing hingga membuatku menyita waktu sesaat untuk menyadari di mana aku sebenarnya, di dalam sebuah kabin kapal pesiar.
"Mimpi itu lagi."
Meraih jam tangan yang tergeletak pada meja di sisi kasur itu mengungkapkan jarum dalam posisi 10:12. Berhasil mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku memaksa tubuh berkeringat ini untuk bangun dari jebakan pulau kapuk, sebelum mengambil sebuah botol putih yang berdiri di sebelah jam tanganku.
Aku mengeluarkan beberapa pil putih kecil, sebelum menaruhnya pada lidah kering ini. Menunggu sejenak seraya meminum air dan meregangkan tubuh, tremor yang sebelumnya menjalar pada seluruh tubuhku kini mulai mereda.
"…Sebentar lagi kita akan tiba, Jackie."
Menyelesaikan mandi air dingin, aku mengenakan busana menyerupai seorang pekerja kantoran, kemeja putih serta celana panjang hitam yang menemaninya. Memasukkan barang- barang pribadi ke dalam ransel abu-abu, aku memeriksa sebuah koper hitam yang terbaring menghalangi pintu kamar.
Melihatnya tidak bergerak membuatku menghembuskan napas lega, mengetahui tidak ada perampok yang ingin memasuki kamar ini, meski dengan kunci dan rantai yang terpasang pada gagang pintu kayu itu.
*HONK!*
Mendengar bunyi terompet tebal, aku perlahan mengangkat koper hitam itu untuk mencegah kerusakan pada mainan yang sedang tertidur pulas di dalamnya. Memastikan kelengkapan perlengkapan, aku melangkah keluar dari kamar untuk menelusuri koridor baja ini.
Tiba pada geladak kayu, aku menemui penumpang lain yang tengah menyiapkan diri untuk menuruni kapal. Di antaranya, sepasang suami-istri dengan kedua anak mereka, pemuda berkemeja bunga dengan kacamata hitam dan topi jeraminya, hingga sekelompok pekerja yang tengah mempersiapkan kargo di antara ribuan penumpang lainnya.
Hari ini cukup panas. Aku dapat melihat berbagai payung warna-warni yang bertebaran di atas geladak, melindungi penumpang dari keganasan matahari musim kemarau. Di balik keramaian ini, aku juga menemukan daratan yang semakin dekat… Dermaga pelabuhan dengan bangunan mewahnya, juga penanda oranye yang bersandar pada lereng bukit di baliknya—Pelabuhan Kusumajaya.
Sesaat setelah kapal berlabuh, aku dan ribuan penumpang lainnya mulai memasuki bangunan pelabuhan menggunakan salah satu garbarata yang mengikat badan kapal. Lantai marbel putih yang bersih, berbagai pilar baja yang menjulang tinggi, serta mezanin pembuka atrium tengah dengan penanda selamat datang yang menggantung dari langit-langit memikat perhatianku… Tempat yang menjanjikan.
Di bawah penggorengan ini, aku berjalan keluar dari beranda pelabuhan menuju bangunan parkir kendaraan. Mengelilinginya, aku mencari nomor parkir yang tertera pada foto dari ponselku, menemukan sebuah sedan hitam dengan sosok pria yang tengah bersandar padanya… Kamu tidak perlu seformal itu dengan batik merah dan bunga mawar yang menggantung dari saku kemejamu.
"Tuan Dika. Selamat datang di Kusumajaya."
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Roland, sopir pribadi dari sosok bernama Tuan Kotaro. Menggunakan mobil bermesin V8-nya, rupanya ia mengutus Roland untuk menyelamatkanku dari serangan matahari ini. Membuka pintu belakang, aku perlahan meletakkkan barang bawaanku, sebelum menduduki kursi bagian kiri dengan suguhan berupa sebotol teh dingin.
"Terima kasih, Roland."
"Kehormatan ada pada tangan saya, Tuan Dika."
Meninggalkan area pelabuhan melalui jalan raya yang memotong perbukitan hijau, perjalanan membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mengganti lanskap pesisir dengan pusat kota dan berbagai bangunan pencakar langit yang dimilikinya. Aku juga mempersilakan Roland untuk memutar sebuah album rock lokal, di mana ia mulai mengetuk setir mengikuti irama lagu itu.
"Apakah semua lancar di Vienna, Tuan Dika?"
"Migrasi dan kondisi Nikita cukup baik… Jika semua berjalan lancar, maka kita dapat membangun pijakan kuat pada awal bulan November tahun ini."
"…Sepertinya kedatangan Nyonya Nikita juga akan menjadi hadiah ulang tahun bagi Tuan Dika."
"Tidak salah."
…
Aku menemukan diriku memasuki Distrik Cakra Raya, sebuah daerah yang memiliki reputasi karena keberadaan berbagai perumahan elit dan pusat-pusat perbelanjaannya—khususnya di sepanjang Jalan Kalimas. Tentu saja, hari minggu membuat para pengunjung mengerubungi lokasi ini layaknya badai laron.
"Roland, apakah aku bisa turun di sini?"
"Hm? Anda ingin menelusuri Kalimas, Tuan Dika?"
Rupanya Roland menangkap keinginanku untuk menampakkan diri di bawah sengatan panas serta lautan manusia ini. Bagaimana tidak? Akan bijak jika aku juga membaur dan mengamati suasana lokal ketika ingin mempelajari kota ini.
"Meski begitu, saya tidak dapat mengusir kekhawatiran atas apa yang akan mereka katakan kepada Tuan nantinya… Mengetahui anda akan datang terlambat."
"Aku akan mengurusnya… Apakah tujuanku masih jauh?"
"Sekitar tiga kilometer ke arah timur."
"Baiklah… Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk mengantarku, Roland."
"Kapan pun, Mr. Dika."
Menurunkan ransel, koper, serta tubuhku, aku mengamati mobil Roland melaju dengan pelan meninggalkanku seorang diri di keramaian ini. Memutar tubuh, aku menelusuri jalan berbata merah ini untuk memulai ekspedisi dan misi pengintaianku.
Sepanjang perjalanan, aku menemui berbagai macam gerai pertokoan, mulai dari supermarket, butik, toko perhiasan, toko sembako, swalayan, hingga mall yang menjulang di antara segalanya. Berlayar melalui lautan manusia, aku mengambil haluan kiri untuk menghindari semua keramaian ini—menemukan diriku memasuki sebuah jalan kecil.
Lebarnya tidak mencapai dua meter, belum dikurangi oleh berbagai pot tanaman, tumpukan kardus dan kotak plastik, hingga selokan kecil namun bersih pada sisi kiri. Mengabaikannya, posisi menjorok menyebabkan dinding pertokoan tanpa jendela menutupi ruas jalan kecil ini, menyembunyikannya dari dunia luar.
Oleh karena itu, maka tidak heran jika "gua" ini akan merasa kesepian terbengkalai oleh para pelancong di luar sana… Namun kesunyian ini juga menyembunyikan sesuatu yang cukup untuk membangkitkan bulu kudukku. Sesuatu yang tidak beres akan segera terjadi di sini.
"KYAAA!!!"
"…Panjang umur."
…