Chereads / Nagara Nusantara / Chapter 4 - Chapter 3 : Hari Pertama

Chapter 4 - Chapter 3 : Hari Pertama

Setiap manusia memiliki masa lalu. Sebagian bercerita, sebagian menguncinya sedalam mungkin. Hambar, malu, hingga rahasia kelam adalah beberapa alasannya. Tidak heran jika kita menemui seseorang yang ingin hidup "normal", melukis kegelapan masa lalu dengan warna cerah untuk mencegah manusia tanpa kehormatan menemukannya.

Aku teringat seorang tokoh cerita dari novel yang kubaca sebelum tiba di sini. Ia membenci diri dan sekitar karena trauma masa lalunya. Mengetahui kelembekan ini, ia berharap untuk menjadi sosok yang lebih baik di masa depan.

Namun sebuah klise menyerang layaknya penyakit kronis, menjadikannya penakut dan malas keluar dari cangkang kecilnya demi memperbaiki jiwa rongsok itu… Seperti seseorang yang tengah menekuni ilmu untuk menjadi seorang hipokrit.

Perkataan adalah sesuatu yang murah.

Kita mungkin tidak mengalami perubahan dalam waktu satu jentikan jari saja, namun kemauan dan usaha yang lemah tidak akan menghadiahi siapa pun, bahkan dengan keberuntungan dan takdir dari alam yang prihatin melihatnya.

Memudahkan pembaca memahami dan memberikan empati kepada tokoh seperti itu adalah alasan membosankan yang selalu diutarakan oleh para penulisnya… Tidak heran jika aku merasa kesal berulang kali menyesuaikan diriku dengan pecundang sepertinya. Adalah keputusan baik menyumbangkan novel itu pada suatu instalasi daur ulang sampah.

Kembali pada kata "normal". Orang-orang di sekitar termasuk diriku ingin sekali-kali menemukan sebuah kehidupan normal… Namun apa maksud dari kehidupan normal di sini? Kehidupan klise dan membosankan dengan akhir yang mudah ditebak? Kehidupan manusia latar yang menjadi budak dari seorang penguasa totaliter?

"—Dika."

Gagal menemukan artinya, suara familier yang tajam itu menusuk kedua telingaku, menyadarkanku kembali pada situasi saat ini. Mencari asal suara, aku menemukan sosok Kiki tengah merajuk kepadaku.

"Pagi, Kiki… Sepertinya aku melamun."

"Haah… Saya tahu ini hari pertamamu bersekolah seperti ini, tapi tolong persiapannya Dika! J-Jangan panggil Kiki juga!"

"…Tentu saja, Bu Amanda."

Mengamati Kiki memasuki sebuah ruangan, aku memutuskan untuk menangkap dunia sekitar, menemukanku berdiri seorang diri pada suatu koridor antik yang sepi.

"Tidak salah. Ini adalah hari pertamaku bersekolah."

Menyelesaikan upacara bendera di lapangan utama, aku kembali mendatangi kantor Kochi pada pukul 8 pagi. Rupanya ia ingin memberikanku panduan mengenai sistem sekolah ini dan beberapa "keunikan" yang dimilikinya.

Membaca sekilas, rupanya Akademi Nasional Kusumajaya mengadakan sebuah perjamuan untuk merayakan perjuangan para pelajar selama ujian bulanan, pelatihan berbagai keterampilan yang dapat dipilih oleh pelajar, aktivitas magang dalam pekerjaan dunia nyata, hingga kebebasan berpergian di dalam pulau… Hal ini membuat Pulau Kusumajaya sebagai tempat bermain bagi para pelajar di sini.

("Anak-anak! Hari ini kita kedatangan murid baru!)

Suara Kiki menggema dari ruang kelas di hadapanku, diikuti oleh bising penasaran dan terkejut para penghuninya. Mengintip dari jendela pintu, aku menemukan Kiki kini mengangguk perlahan padaku.

"Baiklah."

*Creak*

"""…"""

Memasuki ruangan kelas, suasana pasar itu segera tergantikan oleh kesunyian yang dapat dipecahkan menggunakan sayatan benang. Menoleh ke kiri, aku menemukan kurang lebih dua lusin pelajar yang tengah mengarahkan pandangan setajam silet mereka padaku.

"…"

Ingin atau tidak, seorang pendatang seperti aku akan menjadi sorotan bagi para penetap. Setidaknya melalui kesan pertama, mereka akan menilai penampilan, gaya bicara, bahasa tubuh, hingga ekspresi diri, sebelum menentukan tingkat hierarki-ku di antara mereka.

Berdiri pada sisi kiri Kiki, aku mengamati seisi kelas yang penuh dengan pelajar beralmamater merah dan hiasan mengkilap mereka, menatap jiwaku. Aku teringat kepada sebuah pementasan drama, di mana sesaat lagi sang tokoh utama akan memperkenalkan dirinya.

"Namaku Andika Raylan, kalian dapat memanggilku Dika… Umurku 15 tahun. Hobi-ku adalah membaca buku, mendengarkan pertunjukkan musik, dan bermain… Aku harap aku dapat berteman dengan kalian semua."

("…15 tahun?? Muda banget dia… Menurutmu aksel atau nukar?)

("Mungkin anak aksel pindahan dari luar…")

("T-Tapi… Kok mukanya datar? Eman, kayaknya dia cakep tuh…")

"Terima kasih. Itu saja dariku."

"Kamu bisa duduk di kursi itu, Raylan."

Kiki menunjuk sebuah kursi yang terletak pada bagian belakang kelas, bersandar tepat pada dinding dan jendela yang menghadap ke luar. Merasakan sebuah déjà vu, aku menemukan satu kursi kosong pada sisi tengah kelas, juga kursi kosong yang bersebelahan dengan tempatku. Secara bersamaan, aku dapat merasakan tatapan teman kelasku menghilang satu persatu.

"Baik anak-anak… Kita akan melanjutkan materi turunan trigonometri minggu lalu."

Kiki kini bermain peran sebagai wali kelas serta guru matematika pada sekolah ini. Mengabaikan kepala mudah panas itu, Kiki mencurahkan kesetiaannya dalam menghabiskan 5 bulan setelah pernikahannya hanya untuk menyamar dan bekerja sebagai seorang "guru", membantuku dan Niki mewujudkan kembali sebuah "kehidupan normal"…Aku menghela napas mengetahui hidup ini telah memelankan dirinya agar kita semua dapat menikmatinya.

"—Raylan, berapa hasilnya?"

"-2."

Aku hanya berharap semuanya dapat berjalan sesuai rencana.

"Hm."

Dalam satu sisi, matematika memiliki sebuah persamaan dengan lukisan abstrak, di mana mereka hanya dapat dimengerti oleh manusia tertentu. Rupanya sebagian dari teman kelasku telah terbiasa menghadapi masalah seperti yang Kiki tunjuk pada papan, melihat minimnya reaksi mereka.

Sejenak, aku mengamati sisi luar dari jendela di sisi kirku. Karena posisi matahari yang cukup tinggi, aku tidak perlu menyesuaikan mataku untuk melawan sinar menyilaukannya. Air mancur taman utama sekolah adalah objek pertama yang kutemui, diikuti oleh barisan pepohonan, kebun, rumah kaca, hingga sungai buatan yang mengelilinginya.

Mengamati salah satu pohon, aku menemukan sebuah sarang burung dengan induk yang tengah memberi makan anakannya. Melihat mereka membuatku berpikir apakah diriku dapat melindungi Niki dan Sidorova, setelah sekian banyak tragedi yang telah kualami.

Aku kembali teringat pada tokoh cerita daur ulang itu, melihat keluar dari jendela dan menanyakan beberapa pertanyaan pesimistis pada dirinya… Apakah aku pantas mendapatkan semuanya? Mengapa diriku menjadi sampah busuk ini? Adakah cara agar aku bisa menghilangkan derita ini?

Memikirkannya membuatku mengira bahwa semua itu hanyalah omong kosong. Namun mengetahui diri hipokrit ini, aku memutuskan untuk menahannya.

*RING*

"Baik anak-anak… Materi hanya dari bab satu dan dua. Mohon persiapannya untuk ujian minggu depan."

Mengamati ruang kelas, aku melihat Kiki merapikan alat mengajarnya. Setelah itu, ia memberikanku gerakan mulut untuk "menikmati" hari ini, sebelum meninggalkan kelas dengan raut tersenyum. Aku juga menemukan jarum jam tanganku telah menunjuk angka sepuluh… Waktu istirahat telah tiba.

"Aku boleh nanya gak?"

"…"

Rupanya beberapa dari teman kelasku telah menyempatkan waktu mereka untuk mengerubungiku. Aku mulai menduga beberapa pertanyaan yang dapat dilemparkan oleh mereka.

"Silakan."

"—Pindahan dari mana?"

"Makassar."

"—Suka apa saja dari hobimu??"

"Novel romansa, musik klasik, dan catur."

Sejauh ini, pertanyaan yang mereka utarakan cukup mudah untuk dijawab olehku. Aku tidak ingin membocorkan segala informasi dan rahasia yang dapat digunakan untuk menusuk punggungku, namun pada saat yang sama aku juga harus mendirikan reputasi di sekolah ini.

"Aku tanya kamu, Raylan."

Mengarahkan mata pada kursi barisan tengah, aku menemukan seorang siswa dengan bangganya melipat tangan dan mengangkat leher ketika mengeluarkan kata-kata itu. Mengamati penampilan dan gaya tubuhnya, kurasa dia adalah sosok penguasa lokal dari kelas ini. Perempuan yang sebelumnya menduduki kursi di sisinya kini juga berdiri memberikan lelaki itu pijatan, seraya memberikanku tatapan sinis.

"Hm."

"…Novel cinta-cintaan, huh? Emang dirimu sudah punya pacar?"

"""…"""

Ah. Pertanyaan sejuta dollar itu tiba. Tidak mengejutkan dari sosok yang ingin menundukkan siapa pun pada sepatunya. Aku menemukan hampir seisi kelas kembali mengarahkan pandangan mereka padaku, dengan pelajar siswi yang memiliki reaksi terbesar.

"Jangan khawatir. Aku memiliki pacar."

Mendengarnya, aku menemukan teman kelasku berbisik dengan satu sama lain. Sementara itu, lelaki tadi mulai mengangguk seraya mempermainkan wajah perempuan itu layaknya balon.

("Sudah gak usah mikirin dia, sayang")

Mengamati sekitar, aku menemukan beberapa dari teman kelasku tengah melakukan aktivitas istirahat mereka. Tentu saja, kita perlu memanfaatkan satu jam ini untuk menyegarkan diri, serta mempersiapkan program keterampilan sekolah berikutnya.

"…"

Berdiri dari kursi, aku menggapai ranselku demi mengambil sebuah botol kecil berwarna putih. Memasukkannya pada saku celana, aku melangkah menuju pintu kelas untuk meninggalkannya. Tanpa pemikiran panjang, rupanya aku telah mengetahui bahwa taman yang terlihat dari jendela kelas menjadi destinasi atas istirahatku.

"Hm~ Hm~ Hm~"

Mengepel lantai kamar milik Kak Dika, aku sekejap teringat dengan penampilannya kemarin. Rambut hitam yang acak-acakan itu masih menemukan cara untuk terlihat tampan pada siang kemarin. Selain itu, pakaian kemeja putih serta celana hitam yang ia kenakan seakan membuatnya seperti akan melamar kerja di tempat ini… Apalagi ekspresi terkejutnya setelah menyadari posisiku sebagai pelayan pribadinya.

Tapi juga mengingat kembali, mengapa aku memiliki aspirasi untuk menjadi seorang pelayan? Kurasa jawaban satu-satunya yang dapat aku berikan adalah keinginan untuk membantu papa dan mama di rumah. Mengikuti jejak pelayan ini telah membantuku bisa melakukan banyak pekerjaan rumah sekaligus menunjukkan upayaku menjadi sosok yang berguna… Pasinya, keinginan itu terwujud karena program kepelayanan di sekolah ini. Sepertinya siapa pun bisa melihat bahwa Kak Dika menjadi tuan pertamaku.

*RING!!*

"Ah!"

Mendengar bunyi bel istirahat dari pengeras yang terpasang di sudut kamar, aku segera merapikan alat bersih-bersih di dalam lemari khusus tepat di sebelah pintu kamar Kak Dika. Setelah itu, aku bergegas keluar dari kamar, mengunci pintu, dan segera berjalan menuju rumah kaca.

(Waktunya nyiram!)

"…"

*Tap* *Tap* *Tap*

~~~

*Chirp!* *Chirp!* *Chirp!*

Kicauan burung yang menenggelamkan kesunyian damai ini, pepohonan rindang yang menghalangi sinar kehidupan dari matahari, hingga bangku taman yang bersih dan tersusun dengan rapi. Kombinasi tersebut membuat taman sekolah ini sempurna untuk mencari sebuah pelarian dari keganasan dunia ini.

*Rustle* *Rustle*

"…"

Mengelilingi taman besar ini, aku dapat mendengar suara gemerisik dari semak-semak yang secara naluri membuatku memudarkan keberadaan tubuhku. Namun kehampaan aura darah dan permusuhan dapat membuatku menurunkan kewaspadaanku, bersamaan dengan langkah pelanku menuju asal suara itu.

"Haah… Kamu lari ke mana sih??"

Rupanya aku menemukan seorang siswa laki-laki sedang merangkak menghadap semak-semak di depannya, tidak jauh dari posisiku. Almamater merah serta celana putih yang memiliki beberapa noda tanah, juga napas berat seraya menyeka keringat menandakan seberapa lama ia telah melakukan ini… Memikirkan apa yang telah ia lakukan pada semak-semak berantakan di sekitarnya cukup membuatku menghembuskan napas.

"Haah… Apa yang sedang kamu lakukan?"

"EH!!?"

Layaknya terkena setruman dari sebuah tiang listrik, lelaki itu segera memutarkan tubuhnya untuk menemui mataku. Motif lencana emas pada lengan kiri itu menandakan kedudukannya sebagai siswa kelas 3.

"O-Oh astaga kaget aku dek! Fuuh… A-Aku sedang mencair kucing di sini…"

"…Kucing?"

"Yep… Tapi sepertinya dia sudah berpindah tempat. Hup!"

Melompat dari posisi semi-merangkak itu, lelaki kelas 3 ini membersihkan seragam sekolahnya dari noda tanah, sebelum mengulurkan tangan kanannya kepadaku.

"—Namaku Bagas Galang Saputra, 3B… Biasa dipanggil Galang atau Bagas saja."

"…Andika Raylan, 2A. Panggilan, Dika."

"Sepertinya aku gak pernah lihat Dika sebelumnya… Ah! Si anak beasiswa itu kan??"

"Benar."

Sesaat aku menjabat tangan kanan itu, aku rupanya melupakan apa tujuan utamaku memanggil dirinya.

"…Jadi… Apakah Bagas memiliki dendam kepada seekor kucing?"

"Hahaha… Gak juga sih… Hanya saja kucing itu punyanya penjual toko di seberang jalan. Katanya dia ngelihat kucingnya masuk sini tadi pagi."

"…Sejak pagi?"

"Mhm."

"…"

"T-Tenang! Aku juga ngikutin pelajaran kok! Tapi sejak jam kosong tadi, aku ke sini saja…"

"…Bagaimana jika aku membantumu mencari kucing itu?"

"B-Beneran?! Apa gak keberatan?? Taman sekolah itu luas lho!"

"Kita masih memiliki 53 menit lagi."

"Wah, makasih lho Dika… Ayo cari dia!"