Menemukan tempat sepi tidak jauh dari perpustakaan, aku memeriksa kembali koridor kosong ini untuk mengamankan para calon penguping. Memastikan kesunyian ini, aku akhirnya mengangkat ponsel yang terus mengeluarkan bunyi itu.
"…Apakah meja hijau di sana?"
"—Rupanya menemukan ruangan sepi adalah tugas yang rumit. Abaikan itu, aku akan menduga Kochi telah mendapatkan informasi mengenai mereka semua."
"Tentu saja."
"…Silahkan."
"Jadi… Hanashima itu pada dasarnya perusahaan yang menawarkan jasa-jasa seperti sopir, koki, pelayan, pengirim paket, pengawal, joki tugas… Namakan saja. Dan juga, menurut Divisi Gagak, sepertinya mereka mulai menghemat pengeluaran dengan merekrut orang-orang biasa."
"Oh? Sepertinya itu adalah kebijakan yang biasa dilakukan pada perusahaan-perusahaan besar masa kini… Khususnya dengan pemimpin sepertinya."
"…Oleh karena itu, mereka sepertinya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan lokal Kusumajaya. Usut punya usut, mereka terpaksa membayar Hanashima demi perlindungan atas kehancuran bisnisnya."
"Pemerasan? Cukup umum. Sayangnya bagi kita, perusahaan menengah yang beroperasi di Kusumajaya seperti ini akan selalu menyisihkan dana untuk membayar kepolisian dari penangkapan mereka… Sebuah penyuapan."
"Benar… Tentunya melihat keadaan yang tidak stabil ini, Kaoru pastinya akan melakukan segala cara untuk menyelamatkannya. Saya menduga… Bahwa pelayan anda sebenarnya hanya akan digunakan untuk kepuasannya dari stres yang menumpuk…"
"…"
"Saya juga mendapatkan dokumen hubungan mereka dengan beberapa pengacara, politikus, hingga pemilik saham besar… Dokumen pemusatan aset para pegawai, penyetaraan penghasilan karyawan… Apakah mereka ingin kembali pada masa komunis?"
"…Maka itu akan menjadi sebuah kartu as bagi kita."
"Benar sekali… Jadi bagaimana, Dika?"
"…"
Mengesampingkan dendam pribadi ini, rupanya aku secara kebetulan menemukan harta karun yang lebih besar dari Kaoru dan Hanashima. Kini aku menjadi prihatin atas pikiranmu ini.
"…Kochi ke Dika."
"—Bagaimana dengan ruangan hitam itu? Aku selalu ingin mencobanya sendiri."
"Haha! Sudah mikir sampai situ saja! Baiklah… Bagaimana dengan rumah saya di Griya Kusumajaya?"
"Baiklah…"
"Saya akan mempersiapkan Divisi Gagak untuk menangkapnya… Itu saja, Kochi keluar."
*TUT*
"…"
*Tap* *Tap* *Tap*
…
~~~
"…"
"…"
"…Sepertinya itu terlihat susah, Kak Bagas…"
"Gahh!! S-Sylvie! Fuuh…"
"Ah!! M-Maaf Kak Bagas…"
"…T-Tidak tidak… Tidak Apa… Apa…"
Tanpa kusadari, pelayan Dika—Sylvie—telah mendekatkan dirinya kepadaku yang sedang mempelajari materi hari ini… Jujur saja, ini memang susah. A-Astaga aku juga bisa merasakan aroma parfumnya! Sebaiknya aku segera merubah kesunyian yang canggung ini!
"Ehem! Sylvie… Sudah berapa lama kamu melayani Dika?"
"Sejak senin kak! Kenapa?"
"…?"
"Ka… Katakan… Apakah Dika sudah punya pacar?"
(Sial! Itu adalah topik yang jelek!)
"…M-Menurut saya sepertinya iya, Kak Bagas…"
H-Hah? Beneran?!
"H-Hah? Beneran?!"
Rupanya memilih topik yang dapat mengarahkanku masuk ke dalam ranjau darat telah mendaratkanku kepada suatu penemuan baru… Dan tentunya, sangat mengejutkan.
"T-Tapi itu tidak pasti, kak! S-Saya hanya menebak dari ekspresi Kak Dika saat melihat hape-nya…"
"…Huh? Seperti tersenyum-senyum gitu?"
"I…Iya, Kak Bagas…"
"Haah… Kalau beneran, dia memang orang yang beruntung… Gimana gak kaget, tahu ekspresi mengantuk itu, masih aja dia dapat…"
"…"
"S-Sylvie… Aku tidak tahu senyuman itu membuatku percaya diri atau malah mengoleskan garam pada lukaku."
"!!—S-Saya tidak bermaksud begitu, Kak Bagas…"
Menyadarinya, Sylvie segera menyembunyikan wajah merah miliknya dengan kedua tangan bersarung tangan putih itu… Juga merasakan rasa malu, aku memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengganti topik.
(…Tapi apa??)
Berusaha mencari sebuah ide, aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku menuju pintu perpustakaan, menemukan seorang siswa yang sedang memeriksa jam tangannya sambil berjalan ke sini.
"N-Nah itu dia sudah balik kan!"
"S-Ssstt K-Kak Bagas! Ki—kita lagi di perpustakaan ini…"
"O-Oh… Be—Benar juga… Maaf maaf…"
"…Ada apa dengan kalian?"
"Ndak ndak… Gak ada apa-apa, Dika…"
"…Baiklah. Mengingat urusanku yang telah selesai, bagaimana jika aku membantumu menyelesaikan masalah itu?"
"Huh? K-Kok kamu tahu, Dika??"
"Aku akan membiarkanmu menebaknya."
…
***
*Clack* *Clack* *Clack*
Akhir minggu berlalu dan senin menunggu kita di ambang pintu. Dengan lima belas mata pelajaran, empat puluh lima jam, serta 5 hari. Menggerakan pena untuk mengisi pertanyaan pada lembaran kertas putih ini, aku menemukan diriku mengamati pergerakan tangan dari teman-teman kelasku.
Meski terlihat sulit, aku terbiasa mendapatkan perlakuan serupa pada masa lalu, terpaksa mengikuti tes seperti ini hingga menderita sakit kepala setiap hari… Namun melihat kembali, aku bersyukur kepada diriku untuk memilih itu daripada sebuah bongkahan timah yang menyangkut di dalam otak.
"…"
Mengamati seisi kelas, aku dapat menemukan beberapa dari teman kelasku mengeluarkan sebuah kertas kecil yang sebelumnya tersembunyi pada seragam mereka. Bahkan aku tidak sebodoh itu untuk mengetahui apa isi dari kertas-kertas tersebut. Dan juga, aku mungkin tidak membawanya sekarang… Namun bagaimana jika kesempatan itu hadir? Apakah pada saat itu, ujian ini akan benar-benar dikatakan adil?
…
***
*Tap* *Tap* *Tap*
"…"
Rupanya tanpa kita sadari, minggu ujian telah berlalu dengan cepat, dan hari sabtu memutuskan untuk datang menyambut kita pulang dari medan perang ini. Karena suatu alasan, Bagas memintaku untuk mengikutinya menuju atap bangunan asrama. Keadaan sunyi ini membuatku menyimpulkan bahwa ia tidak mengajakku untuk mengamati prosesi matahari tenggelam.
"Sini sini! Duduk, Dika!"
"Hm? Ada apa dengan situs sekolah?"
Duduk dengannya pada bangku besi yang ada, Bagas segera menunjukkanku layar ponselnya—rupanya mengungkapkan laman resmi milik sekolah.
"Jadi di sini kita bisa lihat langsung nilai ujian, juga dengan rata-rata dan peringkat kelasnya…"
"…Begitu?"
"Mhm, muncul setiap selesai ujian."
Mengikutinya, aku mulai menekan layar ponselku untuk menemukan laporan dari ujian minggu ini. Membukanya, aku mendapati sejumlah tabel yang berisikan berbagai identitas siswa, nilai total, serta peringkat kelas.
"…S-Sudah pasti kan… 4 dari 28 lagi lho! Rata-rata 93 lagi… Kalau kamu berapaan, Dika?"
"92… Peringkat 4 dari 24… Tidak buruk untuk percobaan pertamaku."
"Yah… Benar juga…"
"Namun… Sepertinya seorang siswa tidak memiliki nilai dan perangkat."
"Eh? Coba lihat! Ichimatsu… Harumi?"
"…Apa kamu mengenalnya?"
"Ah… Ada yang bilang kalau dia itu siswa paling pintar di angkatanmu… Tapi dia lagi ada urusan keluarga, jadi belum bisa sekolah untuk sekarang…"
"…"
"Oh iya! Aku hampir lupa!"
"Hm?"
"…Dika besok sibuk?"
"Tidak."
"Nah… Temui aku di gerbang sekolah, oke?"
"…Aku akan menerima tawaranmu."
(Ichimatsu… Harumi… Nama itu terdengar familier…)
…
*Tap* *Tap* *Tap*
Langkah kaki membaur dengan kawanannya di tengah-tengah keramaian. Mendongak ke atas, kita rupanya dapat menggunakan penampilan serta wajah dari berbagai manusia untuk menyembunyikan diri di antara mereka… Orang-orang akan mengira diriku sedang berada di dalam pasar, tempat wisata, atau bahkan kerusuhan. Nyatanya, aku masih berdiri tepat pada jalan utama menuju gerbang dari sekolah ini, Akademi Nasional Kusumajaya.
"…"
Banyak siswa rupanya menghabiskan akhir pekan mereka untuk meninggalkan sekolah ini. Sesuai peraturan, kita tidak dapat meninggalkan pulau, namun memiliki kebebasan berpergian di dalamnya… Seakan membuat keseluruhan Kusumajaya layaknya fasilitas milik sekolah.
Melewati gerbang utama, aku kembali menyadari jumlah siswa yang bersekolah di sini. Lautan manusia terus saja memenuhi pemandanganku… Namun aku bertaruh bahwa mereka dapat melindungi dirinya ketika berkeliaran di pulau ini, mengingat insiden minggu lalu.
(Sekarang… Dimana dia?)
Memeriksa waktu pada jam tangan, aku mulai mengitari trotoar untuk mencari Bagas. Usut punya usut, aku menemukan sosok lelaki yang tengah memperhatikan ponselnya, tidak jauh dari posisiku. Perangkat earphone pada telinganya menjelaskan alasan mengapa ia tidak dapat mendengar langkahku, meski diriku yang telah berdiri tepat di belakangnya.
"Hmm… Hmm… Hm? Bwah!! D-Dika!?"
"…"
"…B-Bikin kaget saja kau astaga… Jadi… Selama aku nunggu di sini kamu ngapain saja??"
"Tidak banyak… Hanya menikmati pemandangan dari beranda kamarku."
"Kurang kerjaan banget…"
"Lupakan itu. Ke mana kita akan pergi?"
Memasukkan earphone dan ponsel ke dalam tas selempangnya, Bagas kini mulai berjalan menelusuri lautan manusia ini menuju arah Distrik Cikara.
"…Untuk sekarang, kita akan pergi ke Kalimas! Ikuti aku, Dika."
"Tentu saja."
…
Keramaian pada Jalan Kalimas memiliki kondisi yang serupa dengan minggu kemarin, dengan satu-satunya perbedaan yang terletak pada keberadaan siswa-siswi Sekolah Kusumajaya.
"Sini, Dika."
Mengikuti Bagas, kita rupanya mulai memasuki suatu butik. Berbagai busana dapat terlihat memajangkan diri mereka pada dinding serta rak toko. Sebagai seseorang yang telah memiliki kekasih, maka tidak heran jika aku mulai membayangkan bagaimana penampilan Niki ketika ia mengenakan busana seperti ini.
"Selamat datang kembali, Mas Bagas…"
(Oh?)
"Pagi Mbak Ani… Uhh… Di Dalam ada Pak Ahmad?"
"Ada… Silahkan masuk."
"Makasih… Ah m-maaf, Dika! Aku ada urusan dengan manajer toko… T-Tolong tunggu aku!"
"Baiklah…"
"…"
"Hm."
"…Ada yang bisa dibantu, dek?"
Memutuskan untuk menunggu Bagas menyelesaikan urusan yang ia rupanya miliki, aku mengamati berbagai busana yang terpajang pada sisi toko… Untuk menemukan "Mbak Ani" mendekati diriku ini. Kurasa ia mengira aku akan membelanjakan diriku beberapa busana yang ada. Baiklah… Selagi kita di sini, mengapa tidak?
"…Apa saja busana yang sering dikenakan oleh perempuan pada musim seperti ini?"
"Hmmm… Biasanya pakaian yang lebih tipis untuk memudahkan sirkulasi udara—seperti ini… Tapi biasanya juga didobel dengan warna cerah, dan bawahan jins pendek atau rok."
"Begitu? Terimakasih. Aku akan memikirkannya."
"Silahkan…"
(Kurasa sekarang aku akan keluar)
Keluar dari toko dan mengamati Jalan Kalimas, keramaian ini memiliki potensi untuk menarik berbagai peluang dan kesempatan… Bermacam-macam pengunjung yang berbelanja di sini dapat memberikan para penjual omset tinggi. Mudahnya, mereka telah memiliki lokasi yang cukup strategis.
"…"
Mengamati ruas jalan, aku menemukan sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat pada parkiran di sebelah suatu toko elektronik. 3 pria bersetelan hitam keluar, diikuti oleh sosok yang mengenakan pakaian bertema sama dengan pakaian yang diriku kenakan… Jika kamu ingin menyamar, maka para pengawalan itu akan membuatmu terlihat bodoh. Bagaimanapun… Target terdeteksi.
*Pleep!
Bersandar pada dinding eksterior butik seraya mengamati pergerakan mereka, aku mengangkat panggilan dari ponsel yang telah lama kugenggam pada tangan kiriku.
"Kochi… Sepertinya mereka telah menemukannya."
"Mhm. Sekarang mereka hanya menunggu perintah anda."
"—Laksanakan."
"Siap."
*Tut*
"…"
"Aku sudah selesai, Dika… Eh? N-Ngapain senderan di situ??"
"Aku hanya mengamati iklan di sana… Lupakan itu, sekarang ke mana kita akan pergi?"
"Ayo."
…
Kembali mengikuti Bagas memasuki berbagai toko-toko di Kalimas, aku juga mengamati pergerakan Sang Amatir serta Divisi Gagak, berharap bahwa kita tidak akan berhadapan langsung dengan mereka.
"A-Ada apa, Dika? Eh! N-Nggak bosenin kan?? M-Maa—"
"Jangan khawatir mengenai itu. Hanya saja…"
"Huh?"
"—Sepertinya kamu sedang mengurus pekerjaan yang engkau katakan pada hari itu… Biar kutebak… Usaha mikro dan menengah? Distribusi suplai? Pemeriksaan? Manajemen?"
"K-Kurang lebih… Tapi aku malah kaget kamu bisa mikir begituan!"
"…Melihat pergerakanmu barusan, bagaimana tidak?"
"Abaikan itu… Apa yang sedang kita lakukan di sini?"
Turun dari taksi, kita tiba pada kawasan Griya Kusumajaya, tiga belas kilometer sebelah utara kompleks sekolah. Rupanya para lokal seringkali menyebut lokasi ini sebagai pusat para elit Kusumajaya… Tidak salah, karena mayoritas penghuni yang menembus angka jutaan dollar di balik dompet murahan mereka.
"Ini dia! Rumahku!"