Chereads / Nagara Nusantara / Chapter 7 - Chapter 7 : Keluarga Fatih

Chapter 7 - Chapter 7 : Keluarga Fatih

Bagas merentangkan kedua tangannya tepat di depan sebuah pagar rumah yang membalut kayunya dengan hehijauan. Membaca nomor GK1-04 yang terpasang di situ membuatku dengan perlahan memundurkan langkahku, sebelum melirik kepada barisan rumah yang terletak pada sebelah kananku.

"…K-Kenapa, Dika?"

"Hm… Aku hanya sedikit terpesona."

"Ahaha… Tapi gak gitu juga ya, Dika… Aku gak sekaya yang kau mungkin kira."

"Begitu…"

"Oh iya! Masuk masuk, Dika!"

"…"

(Jadi itu rumah Kochi)

Mengikuti Bagas memasuki gerbang rumahnya, aku menemukan pekarangan luas yang penuh dengan aneka macam tumbuhan, serta dua sosok pria yang sedang memangkas rumput taman.

"Rumputnya banyak juga ya? Tono?"

"…Iya Pak Joko… Tapi mendingan bapak tidak ikut membantu saya. Nanti capek…"

"…Nggak bakal… Lumayan juga kan untuk olahraga… Eh? Bagas!"

"—P-Pa! Ngapain??"

"Lah? Gak apa-apa kan? Hanya motong rumput saja…"

"Ish ish ish… Tuan Bagas, Pak Joko memang keras kepala ya?"

"…K-Kalau gak dipaksa, pastinya gak akan berubah! Lupakan itu… Temanmu, Gas?"

Sosok pria paruh baya berkaos putih itu berdiri dari posisi merunduk dan kini mengarahkan pandangannya kepada kita. Sementara itu, pria yang sekiranya lebih muda darinya rupanya memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan kita bertiga.

"Dika?"

Rupanya merangkul bahuku, Bagas kini mengacungkan jempolnya kepada pria itu. Melihat interaksi antara mereka, aku memutuskan untuk membungkukkan badanku, masih dalam rangkulan Bagas—sebelum memperkenalkan diriku.

"Namaku Andika Raylan. Dika. Senang bertemu dengan anda."

"Tidak usah sopan-sopan, Dika… Saya Joko, papa-nya Bagas… Tapi hari-hari beginian saya malah lebih sering dipanggil Pak Tua."

"Baiklah, Pak Tua."

"Hngh! Malah berasa, datang dari Dika…"

"…"

*Growl*

Suara gemuruh perut kosong memotong perkenalan singkatku dengan Pak Tua. Melirik kepada Bagas, ia terlihat mencurahkan ekspresi datar layaknya patung moai.

"Ehem! K-Karena sudah siang, kenapa gak ikut makan di sini dengan kita, Dika? Sebagai terima kasih atas jasamu hari ini!"

"Apa kamu yakin?"

"Silahkan silahkan… Semua temannya Bagas adalah teman saya."

"…Kalau begitu aku menerima tawaranmu."

"Mantap! Ayo masuk…"

Seraya mengikuti langkah mereka, aku memutuskan untuk mengamati sekitaran kompleks rumah ini. Dinding plaster putih dengan kayu lapis coklat gelap, kolam ikan, hingga gazebo kecil dapat terlihat sejauh pengamatanku.

*Creak*

"Ah! Ke meja dulu ya? Aku ingin ngambil sesuatu…"

"…"

Mengamati meja dengan 8 kursi itu, aku juga menemukan Pak Tua rupanya sedang menonton TV yang terpasang pada dinding di seberang meja.

"…Saham?"

"Iya… Saya biasanya nonton beginian. Barangkali ada perubahan besar kan?"

Seraya menunggu Bagas, aku memutuskan untuk duduk pada kursi yang berseberangan dengan posisi Pak Tua, menonton tayangan saham itu. Aku menemukan saham menjadi sesuatu yang rumit—namun secara bersamaan, menarik… Kurasa Niki dapat mengajariku setelah ia tiba di sini. Melihat kembali pada layar, aku kini menemukan sebuah nama perusahaan yang menarik perhatianku, dengan kenaikan sebesar sebelas persen.

"NRD…"

"…Apakah Dika tahu NRD?"

"Tidak banyak."

"Banyak yang bilang kalau pendirinya itu pengusaha berdarah Eropa Timur... Sudah gitu punya banyak koneksi dengan mafia dan orang-orang bawah. Tapi… Setelah tewas dalam kecelakaan, mereka juga bilang kalau NRD ini lagi kacau…"

"…"

"Yah… Mau gimana lagi. Kita juga menghormati apa yang telah ia raih… Tapi kita sebagai manusia juga tidak bisa memprediksi kapan ajal menjemput."

"Benar."

"Ehem! Bagaimanapun, terima kasih sudah berteman dengan Bagas."

"…Hm? Ini mengejutkan."

"Hanya saja…"

"—Pa!"

Sebelum Pak Tua mengutarakan perkataannya, Bagas telah lebih dulu memotong percakapan kita. Berbicara dengan kesan terburu-buru, aku memutuskan untuk menunda informasi itu untuk lain hari… Lagipula, Pak Tua terlihat mencurahkan ekspresi kelam dan penuh keraguan ketika ingin melanjutkan perkataannya.

"Hm? Oh… Waktunya makan ya? Dika bisa minta tolong?"

"…Dengan senang hati."

Berdiri dan melangkah tepat di belakangnya, aku bergegas mengambil dan menelan beberapa pil dari botol kecil yang kubawa. Pada saat yang bersamaan, Bagas dapat terlihat keluar dari sebuah ruangan—berjalan dengan cepat menuju Pak Tua. Secara alami, aku menjaga jarakku dengan mereka.

"Pa… Hanashima bikin masalah lagi…"

(Oh?)

"Papa yakin mereka sekarang hanya ingin ngancam… Kondisi kepemimpinan yang labil akan membuat mereka terfokus pada diri sendiri. Jangan khawatir."

Aku tentunya tidak menyangka hubungan antara keluarga Bagas dengan Hanashima… Itu menjelaskan mengapa ia dapat mengenali Kaoru pada hari itu. Jika keluarga ini berhubungan dengan Hanashima, maka mereka juga dapat menjadi mangsa besar baginya.

***

"—Sebesar keinginanku untuk tinggal lebih lama, sayangnya aku memiliki beberapa urusan penting yang perlu diselesaikan hari ini."

"Tenang tenang… Tapi kamu bisa datang kapan saja, Dika…"

"Jangan lupa bawa oleh-oleh ya!"

"Pa…"

"Aku akan mengingatnya. Sampai jumpa."

"…"

Memperhatikan Dika pergi, aku menemukannya berbelok ke kiri menjauhi pos satpam perumahan ini… Yah… Mengetahuinya, sepertinya Dika ingin memeriksa kondisi rumah-rumah lainnya—kurang lebih sama seperti tadi. Bagaimanapun, aku memutuskan untuk mengangkat dan melambaikan tanganku dengan pelan kepadanya.

"Temanmu… Menarik…"

"…Maksudnya?"

"Meski terlihat acuh, dia ternyata cukup sopan…"

"Huh."

"Heran… Bagaimana juga kamu bisa temenan sama dia?"

"…K-Kenapa emangnya? Dika adalah orang yang baik."

~~~

*THUD*

"Hmphh—W-Woy! Di mana aku!?"

Seperti yang kita ketahui, manusia memiliki naluri untuk melindungi dirinya dalam situasi apa pun… Bahkan jika mereka sedang berhadapan dengan sosok malaikat pencabut nyawa. Tidak jarang kita juga menemukan bahwa perlindungan itu membuka sebuah kelemahan baginya… Sebuah organ bernama amigdala dapat menangani emosi serta ingatan yang berhubungan dengan ketakutan seseorang.

Sejujurnya, aku memiliki ketakutan terhadap kegelapan total. Bagaimana tidak, ketika hampir seluruh tragedi yang pernah kualami terjadi di dalam kegelapan. Kecelakaan pada malam hari yang dingin itu, Beliau yang membawaku ke dalam ruangan gelap itu, pembunuhan Tuanku ketika aku buta atas misiku… Pada dasarnya, mata cemas ini menjadi tidak berguna dan panik akan dengan cepat mengikutinya. Tidak jarang pula aku membayangkan keberadaan sosok yang mengamatiku dari dekat.

"H-HEY!!"

"Diam."

"—WAA!!?"

Menyalakan sebuah lampu meja, aku dengan cepat mengarahkannya kepada wajah lelaki di hadapanku. Tangan yang terikat pada kursi lipat, napas cepat dan berat, hingga wajah berkeringat dan resah itu menggambarkan kondisi tamuku hari ini. Busana gaul itu tidak lagi terlihat karena kegelapan yang menenggelamkannya.

"Takeshi Kaoru."

"S-Siapa kamu!?"

"Kamu mengetahui siapa aku."

"…K-Kamu… Tuannya Sylvie!!"

"…Tebakan bagus. Rupanya kamu tidak sepadat yang kukira… Berikan tepuk tangan untukmu, Kaoru."

"Tch! Apa lagi huh?! Aku sudah gak ngincar Sylvie!! Apa lagi!!?"

*Clack*

"—!!"

Suara pelatuk besi dapat terdengar tepat dari belakang punggungnya. Memeriksa asal suara itu, aku menemukan sebuah moncong silinder yang mengarah tepat pada kepala Kaoru.

"…Jadi kamu dapat menebak suara apa itu."

"K-Kamu mau nembak aku!?"

"—Ini hanyalah antisipasi jika kamu tidak bekerja sama denganku."

"…Kerja sama? A-Apa lagi yang kamu inginkan dariku?!"

"Mengabaikan apa yang telah engkau perbuat kepada Sylvie, apakah kamu dapat menjelaskan ini… Takeshi Kaoru?"

"Huh? K-Kok bisa dapat ini!?"

Menghiraukan kebingungannya, aku mengambil dan meletakkan sebuah koper kecil yang sebelumnya tersimpan di samping kakiku pada permukaan meja yang tersorot lampu ini.

"Arsip Hanashima? Rahasia… Namun aku menemukan beberapa kejanggalan di sini. Dimana perginya dana sebesar sebelas juta dollar yang seharusnya dipergunakan sebagai modal para pegawai perusahaanmu?"

"…Sebelas juta dollar? T-Tahu apa kamu!?"

"Tidak. Aku bercanda… Untuk sekarang. Namun yang pasti, perusahaan milikmu rupanya telah memeras jumlah yang sama dari usaha-usaha kecil di Kusumajaya. Apakah Kaoru tidak berbelas kasih kepada mereka?"

"Wha—!!"

Tanpa adanya basa basi, aku dapat membuktikan apa yang ia telah perbuat dengan kaki-tangan Hanashima itu. Namun untuk memenuhi dendamku sepenuhnya, alangkah baiknya jika aku menambahkan beberapa bumbu kepada masakan ini. Lagipula—dengan reaksi berat itu, maka tidak heran jika ia memercayai apapun yang akan kukatakan sekarang.

"H-Hentikan… K-Kamu menang!!"

"…Keputusan yang bijak."

Menyadari tumpukan berkas yang kini berserakan pada meja, aku dapat merasakan senyuman yang mulai terbentuk pada wajahku, terselimuti kegelapan ini. Bagaimana tidak, ketika mengetahui dendamku yang telah selesai ini? Kaoru juga tidak dapat kabur lagi dari realita perusahaan merakyat itu.

"Seumur hidupku, aku selalu heran kepada manusia yang selalu membohongi dirinya… Cepat atau lambat, kebohongan itu akan menghitam dan mulai menodai lingkaran yang sebelumnya dekat denganmu… Anggap dirimu beruntung, Kaoru."

"L-Lalu… Apa berikutnya?"

"Melalui kenalan, aku dapat menyebarkan seluruh bukti ini kepada publik. Karena adanya penyuapan terhadap kepolisian dan hakim, serta pengacara yang handal, aku kini mengetahui bahwa kekuatan rakyat negeri ini jauh melampaui mereka… Alhasil, kamu tidak akan selamat di luar sana."

"Huh? J-Janga—"

"—Pilihan kedua. Lengserkan para oligarki yang melekat di dalam perusahaan rusak itu. Peras dana itu dan sebarkan kepada para pegawai Hanashima, rakyat miskin, serta berbagai usaha yang terperas oleh kalian. Langkah terakhir—tentunya—mundur dari posisi yang telah engkau racuni itu."

"W-Woy!! Gak adil it—"

"—Tidak adil, Kaoru katakan? Lalu bagaimana dengan peran kalian sebagai tikus berdasi? Apakah itu adil?"

"…"

"Waktu tidak akan berhenti, Kaoru. Moncong yang masih membidikmu itu akan menjadi haus akan darah."

"—B-Baiklah!! A-Aku akan pergi dari sekolah juga!!"

"Oh? Itu adalah tawaran yang jauh lebih menguntungkan bagi kita… Baiklah, Kaoru. Aku tidak akan mengingkari janji itu… Lagipula, jika kamu memainkan kartumu dengan benar, aku yakin kamu dapat menghilang tanpa jejak."

"…Huh? T-Tungg—"

"Senang berbisnis denganmu."

"Tunggu dulu!! Siapa sebenarnya kamu!?"

"Aku? Hanya seseorang yang ingin menjalankan hidup normal sebagai seorang siswa SMA."