Chereads / Peace Hunter / Chapter 259 - Chapter 259 : Court of San Fulgen

Chapter 259 - Chapter 259 : Court of San Fulgen

"Kenapa kalian semua bisa ada disini ?," tanyaku yang sedikit terkejut.

Mereka semua yang kulihat itu adalah paman Bill, paman Dean, paman Isaac, Eric dan beberapa warga desa Aston. Mereka awalnya berada di bagian belakang kerumunan itu, namun saat mereka hendak memanggilku, mereka semua maju hingga ke bagian depan kerumunan itu untuk menemuiku.

"Tentu saja kami semua datang kesini untuk menyemangatimu. Aku yakin kalau kamu tidak bersalah dalam insiden itu, Rid. Aku sudah lama mengenalmu, bahkan sejak kamu kecil. Jadi tidak mungkin kamu melakukan hal itu karena kamu adalah anak yang baik," ucap paman Bill.

"Itu benar, Rid. Kami semua datang kesini untuk memberikan semangat padamu dalam menjalani sidang nanti," ucap paman Dean.

"Meskipun kami tidak bisa menonton langsung sidang nanti, setidaknya kami bersyukur bisa menemuimu dan menyemangatimu saat ini," ucap Eric.

"Aku tidak menyangka kalau kalian akan datang kesini. Terima kasih, kalian semua," ucapku.

Aku merasa rindu dengan mereka karena sudah lama tidak melihat mereka. Aku berniat untuk mengobrol lama dengan mereka tapi beberapa prajurit mulai menarik dan mendorongku agar aku tetap melanjutkan langkahku untuk masuk ke gedung pengadilan.

"Hei kau, siapa yang menyuruhmu untuk mengobrol, cepat jalan!," ucap prajurit itu.

"Iya, iya. Kalian semua, terima kasih karena telah datang untuk menyemangatiku. Aku pergi dulu," ucapku.

"Semangat, Rid, aku yakin kalau kamu tidak bersalah dalam kasus ini," ucap paman Dean.

"Itu benar, semangat, Rid," ucap Eric.

Aku pun tersenyum lalu berjalan kembali menuju gedung pengadilan. Saat aku sudah mencapai pintu depan gedung pengadilan, terlihat 2 orang prajurit sedang menjaga pintu itu. 2 orang prajurit itu pun langsung membuka pintu itu dan menyuruhku untuk masuk. Aku pun langsung masuk ke dalam gedung itu dengan dikawal oleh prajurit-prajurit yang mengelilingiku.

Sementara itu, ketika Rid sudah memasuki gedung pengadilan, beberapa orang yang mendengar percakapan Rid dengan orang-orang dari desa Aston mulai meledeki orang-orang dari desa Aston tersebut.

"Hei kalian rakyat jelata, apa aku tidak salah dengar saat kalian bilang kalau anak itu tidak bersalah ? Sepertinya kalian itu buta ya ? padahal sudah jelas-jelas kalau anak itu diberitakan sudah membunuh beberapa orang termasuk dengan putra Duke San Angela dan kalian masih bilang kalau dia tidak bersalah ?,"

"Sepertinya mereka itu sudah sinting, yah wajar sih kalau mereka seperti itu apalagi mereka adalah rakyat jelata," ucap orang-orang itu.

"Apa yang barusan kau bilang ?," tanya Eric yang nampak marah.

"Tenang, Eric. Jangan terpancing emosi," ucap paman Bill.

"Tapi mereka duluan yang mulai, paman," ucap Eric.

"Karena kalian sudah bertemu dengan si pembunuh itu, lebih baik sekarang kalian kembali ke desa kalian yang kumuh dan jangan pernah kembali lagi ke ibukota San Estella, karena keberadaan kalian membuat udara di ibukota ini menjadi tercemar," ucap orang yang meledek itu.

"Kau, keparat," ucap Eric yang langsung memukul orang itu.

Tidak hanya Eric, teman-temannya yang lain pun ikut memukul beberapa orang yang meledek itu. Kericuhan pun terjadi di antara kerumunan orang yang berkumpul di depan gedung pengadilan itu. Beberapa prajurit yang berjaga di depan gedung pengadilan itu pun langsung turun tangan untuk menghentikan kericuhan itu.

-

Di dalam gedung pengadilan.

Saat aku baru saja memasuki gedung itu, di dalam sana aku langsung disambut dengan sebuah ruangan yang sangat besar. Di depan ku saat ini ada banyak kursi yang berjejer yang sepertinya merupakan tempat bagi penonton yang ingin menonton sidang yang dilakukan di gedung pengadilan. Saat ini kursi itu belum diduduki oleh siapapun dan di ruang pengadilan itu juga masih sangat sepi karena masih ada 1 jam lagi sampai sidang pengadilanku dimulai. Lalu jauh di depan kursi penonton yang berjejer itu, tepatnya di bagian tengah ruang pengadilan ini, ada sebuah kursi yang sepertinya itu merupakan kursi untuk terdakwa yang akan mengikuti sidang itu. Lalu, di samping kiri dan kanan kursi itu, ada 3 buah kursi dan sebuah meja yang panjangnya melebihi panjang total 3 kursi tersebut. 3 buah kursi yang berada di samping kiri dan kanan dari kursi yang berada di tengah itu diatur menghadap ke arah kursi yang berada di tengah itu. Sedangkan kursi yang berada di tengah dan kursi-kursi para penonton diatur untuk menghadap ke depan ruang pengadilan. Sementara di bagian depan ruang pengadilan, ada sebuah dinding dan di dinding itu terdapat lambang timbangan besar. Di tengah lambang timbangan besar itu ada 3 buah huruf besar yang bertuliskan 'CSF'. Lalu di atas dinding berlambang itu, tepatnya di lantai 2 ruang pengadilan ini, ada sebuah kursi yang berukuran lumayan besar. Sepertinya kursi itu diperuntukkan untuk hakim yang memimpin sidang di ruang pengadilan ini.

Setelah itu, aku melihat ke samping kanan dan kiri kursi yang lumayan besar itu. Di samping kanan dan kiri kursi itu terdapat dinding dengan lambang yang sama dengan lambang yang ada di dinding di bawah kursi itu. Tetapi di samping dinding itu, aku baru menyadari kalau ada beberapa kursi juga yang berjejer di lantai 2. Kursi-kursi itu diarahkan menghadap ke sebuah kursi yang berada di tengah di lantai 1. Dan sepertinya di atasku ini juga terdapat kursi untuk penonton tapi sayangnya aku tidak bisa melihat kursi-kursi itu karena terhalang oleh langit-langit.

"Sebenarnya seberapa luas ruang pengadilan ini ?," pikirku.

Saat aku sedang memperhatikan ruang pengadilan ini, seorang prajurit pun menyuruhku untuk terus berjalan.

"Kenapa kamu berhenti ? cepat jalan terus!," ucap prajurit itu.

Karena ruang pengadilan masih sepi, aku diarahkan menuju sebuah pintu yang berada di bagian kanan dari pintu masuk gedung itu. Aku pun berjalan ke pintu itu dan ketika aku sudah mencapai pintu itu, seorang prajurit pun membukakan pintu itu. Ternyata di dalam pintu itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas.

"Sekarang masuklah ke ruangan itu sampai sidang pengadilan dimulai," ucap seorang prajurit yang mengawalku.

"Baiklah," ucapku.

Lalu aku pun memasuki ruangan itu sedangkan para prajurit yang mengawalku tidak ikut bersamaku ke dalam ruangan itu.

"Kamu tunggulah di ruangan ini, sementara kami akan berjaga di luar. Jangan membuat masalah, jika kamu membuat masalah, kami akan langsung menindakmu," ucap prajurit.

"Baik, tuan," ucapku.

"Dan juga, aku yakin kamu pasti lapar. Makanlah ini sambil menunggu sidang dimulai," ucap prajurit itu sambil memberikanku sebuah kotak makanan.

Aku pun menerima kotak itu dengan kedua tanganku yang sedang terborgol.

"Terima kasih, tuan, tapi bagaimana caranya aku memakan ini dengan kedua tangan yang terborgol seperti ini ?," tanyaku.

"Itu bukan urusanku, yang penting aku sudah memberikanmu makanan. Sekarang aku akan menutup dan mengunci pintunya," ucap prajurit itu.

Prajurit itu pun langsung menutup dan mengunci pintu tersebut. Sementara itu, aku langsung berjalan ke bagian tengah ruangan tersebut. Di ruangan itu terdapat tempat duduk, jadi aku memilih duduk di tempat duduk itu. Lalu aku pun memperhatikan kotak makan itu dan membuka isi kotak makanan itu. Di dalam kota makanan itu, terdapat nasi dengan lauk-lauknya yang lengkap.

"Aku kira makanan yang diberikan prajurit itu adalah makanan yang tidak layak untuk dimakan, karena saat di penjara sebelumnya, mereka selalu memberikan makanan yang tidak layak, jadi aku mengira kalau mereka akan memberikan makanan yang sama tapi ternyata tidak. Aku memang sangat lapar saat ini tapi sepertinya ini bukan saatnya untuk maka. Lagipula aku tidak bisa makan dengan nyaman dengan keadaan kedua tanganku saat ini," ucapku.

Aku pun langsung menutup kembali kotak makanan itu.

-

Beberapa menit kemudian.

Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Saat pintu terbuka, datang 3 orang yang aku kenal ke ruangan itu. 3 orang itu merupakan Duke San Angela, Marquess Marcelo dan komandan Luka.

"Ada perlu apa anda datang kemari, tuan Duke ? Apa anda ingin memukul saya lagi ?," tanyaku.

"Aku datang kesini untuk melihat kondisimu dan nampaknya kondisimu sangat baik saat ini, berbeda dengan saat di penjara," ucap Duke James.

"Itu karena para prajurit yang telah menyembuhkan saya," ucapku.

"Mereka menyembuhkanmu hanya karena kamu mau menjalani sidang, jika kamu tidak menjalani sidang, mereka akan tetap membiarkanmu dengan kondisi seperti itu," ucap Duke James.

"Saya tahu soal itu. Mereka melakukan itu untuk menutupi kalau mereka sebenarnya suka memukul tahanan yang berada disana. Jadi jika suatu tahanan datang untuk menghadiri sidang, mereka akan menyembuhkan tahanan itu terlebih dahulu agar pihak luar tidak mengetahui kalau sebenarnya mereka suka melakukan kekerasan terhadap para tahanan," ucapku.

"Kamu ternyata pintar juga," ucap Duke James.

"Saya akan anggap itu sebagai pujian, tuan Duke," ucapku.

"Karena aku sudah melihat kondisimu, sekarang aku mau pergi. Aku tidak sabar menantikan sidang nanti, apalagi saat Yang Mulia Hakim menjatuhkan vonis hukuman mati terhadapmu, Rid Archie," ucap Duke James.

"Lebih baik anda tidak menantikan sidang nanti, tuan Duke. Karena seperti yang saya bilang sebelumnya, bisa saja malah anda yang akan divonis mendapatkan hukuman mati," ucapku.

"Jaga bicaramu dengan tuan Duke, keparat!," ucap komandan Luka yang tiba-tiba marah.

Duke James pun melihatku dengan tatapan tajam.

"Kamu masih saja berhalu seperti itu. Sayang sekali karena kamu sedang berada di tempat ini dan sebentar lagi sidang juga akan dimulai, jadi aku tidak bisa memukulimu lagi seperti saat itu. Saat itu aku juga berhenti memukulimu karena ada bangsawan bodoh itu,"

"Kita pergi sekarang tuan Marcelo, Luka. Tidak perlu emosi dengan apa yang dia katakan, lagipula sebentar lagi dia akan mati," ucap Duke James.

"Baik, tuan Duke," ucap Marquess Marcelo dan komandan Luka.

Mereka bertiga pun bergegas pergi meninggalkan ruangan ini. Ketika mereka sudah meninggalkan ruangan ini, pintu pun ditutup dan dikunci kembali.

-

Beberapa menit setelah Duke San Angela pergi, pintu ruangan itu kembali terbuka. Lalu datang 2 orang yang masuk ke dalam ruangan ini. Aku pun terkejut melihat kedatangan kedua orang itu.

"Kakak Rid," ucap Caroline.

Salah satu orang yang datang ke ruanganku itu adalah Caroline.

"Carol ? kenapa kamu bisa datang kesini ?," tanyaku.

"Aku melihat surat kabar yang memberitakan tentang kakak Rid yang terlibat dalam suatu insiden. Di surat kabar itu bilang kalau kakak Rid akan menjalani sidang pengadilan di hari ini. Karena aku sedang luang makanya aku datang kesini untuk menonton sidang kakak Rid," ucap Caroline.

"Padahal kamu tidak perlu repot-repot datang kesini, bahkan sampai mengajak komandan Oliver," ucapku.

Dan satu orang lagi yang datang ke ruanganku adalah komandan Oliver. Sepertinya beliau diperintah untuk menjaga Caroline makanya beliau juga ikut datang.

"Lama tidak berjumpa, tuan muda Rid," ucap komandan Oliver.

"Lama tidak berjumpa juga, komandan. Ngomong-ngomong, kenapa komandan Oliver tiba-tiba memanggil saya dengan sebutan 'tuan muda'. Saya bukanlah bangsawan jadi saya tidak pantas dipanggil dengan panggilan 'tuan muda'," ucapku.

"Anggap saja itu sebagai panggilan kehormatanku kepadamu, tuan muda Rid. Aku menghormatimu karena kamu telah menjadi pahlawan saat insiden penyerangan akademi. Apalagi kamu juga berhasil menyelamatkan pangeran Charles, putri Chloe dan juga putri Caroline," ucap komandan Oliver.

"Saya tidak pantas mendapatkan panggilan kehormatan itu, komandan Oliver. Apalagi sekarang saya merupakan seorang pelaku pembunuhan yang telah membunuh beberapa orang termasuk putra seorang Duke," ucapku.

"Aku yakin kalau kakak Rid tidak melakukan itu, itu adalah kesalahan kan ?," tanya Caroline.

"Tidak, Carol. Memang akulah yang sudah membunuh mereka semua. Itu bukanlah suatu kesalahan," ucapku.

"Tidak mungkin, aku masih tidak mempercayai itu," ucap Caroline.

"Jika memang benar kamu yang sudah membunuh mereka, pasti kamu punya alasan kenapa kamu sampai membunuh mereka, tuan muda Rid," tanya komandan Oliver.

"Sesuai yang anda katakan, komandan, saya memang punya alasan kenapa saya membunuh mereka. Saat sidang nanti, saya berniat untuk memberitahu alasan saya membunuh mereka meski sepertinya tidak akan ada yang percaya dengan alasan saya," ucapku.

"Aku akan mempercayai apapun yang dikatakan oleh kakak Rid," ucap Caroline.

"Jika putri Caroline berkata seperti itu, maka aku juga akan mempercayai apa yang akan kamu katakan nanti," ucap komandan Oliver.

"Kalian berdua padahal belum lama mengenalku, tapi kalian dengan mudahnya berkata akan mempercayaiku. Apa kalian tidak curiga kalau mungkin saja aku berbohong soal alasan yang akan aku katakan nanti ?," tanyaku.

"Jangan meremehkan insting orang tua sepertiku, tuan muda Rid. Aku bisa mengetahui orang-orang yang pantas dipercayai atau tidak," ucap komandan Oliver.

"Kalau aku, aku hanya merasa kalau kakak Rid memang orang yang dapat dipercaya, itu saja," ucap Caroline.

"Terima kasih karena telah mempercayaiku, kalian berdua. Ngomong-ngomong, apa kamu datang kesini bersama Yang Mulia Ratu, Carol ?," ucapku.

"Ah ibundaku bilang kalau beliau akan datang kesini. Tapi tadi beliau sedang ada urusan jadi beliau menyuruhku untuk pergi duluan ke gedung pengadilan ini," ucap Caroline.

"Begitu ya," ucapku.

Setelah itu, Caroline memperhatikan seluruh ruangan ini dan dia melihat ada kotak makan yang ada di sampingku.

"Kakak Rid, itu kotak makan punyamu ?," tanya Caroline.

"Iya, saat aku disuruh menunggu di ruangan ini, aku diberi kotak makan ini oleh salah satu prajurit. Prajurit itu menyuruhku untuk makan makanan dari kotak makan itu tetapi dengan kondisi tanganku yang terborgol seperti ini, aku tidak bisa makan makanan itu dengan nyaman," ucapku.

"Kalau begitu biar aku saja yang menyuapimu," ucap Caroline.

"Tidak perlu, Carol. Aku tidak mau merepotkanmu," ucapku.

"Tidak apa-apa. Lagipula kakak Rid belum makan kan ? anggap saja ini sebagai balas budi karena kakak Rid telah menyelamatkanku saat insiden penyerangan akademi beberapa waktu lalu. Meskipun balas budi itu tidak akan lunas hanya karena aku menyuapimu makan. Yah pokoknya aku akan menyuapimu jadi kamu duduk saja yang tenang, kakak Rid," ucap Caroline.

"Baiklah kalau kamu bilang begitu," ucapku.

Lalu Caroline pun mengambil kotak makan itu lalu membukanya dan mulai menyuapiku. Saat aku sedang disuapi oleh Caroline, komandan Oliver mengajakku berbicara.

"Aku dengar kalau Elaina telah bergabung dengan Elevrad dan kamu juga saat ini merupakan wakil ketua Elevrad, tuan muda Rid. Apakah Elaina telah banyak merepotkanmu saat dia mengerjakan tugas-tugas Elevrad itu, tuan muda Rid ?," tanya komandan Oliver.

"Tidak, komandan. Elaina tidak merepotkan saya, justru saya yang banyak merepotkannya karena memintanya membantu untuk mengerjakan beberapa tugas," ucapku.

"Jika nanti kamu dibebaskan dari hukuman ini dan kembali ke akademi, buatlah dia agar mengerjakan banyak tugas lagi. Aku tidak masalah apabila kamu terus merepotkannya dengan tugas-tugas itu. Dengan hal itu bisa membuatnya mendapatkan banyak pengalaman khususnya di bidang administrasi. Pengalaman ini tidak bisa didapatkan kakaknya karena kakaknya bukanlah anggota Elevrad sewaktu dia masih di akademi," ucap komandan Oliver.

"Baiklah, komandan. Jika saya kembali ke akademi nanti, saya akan memberikan banyak tugas kepadanya sesuai yang anda minta," ucapku.

Beberapa saat kemudian, aku pun telah menghabiskan makanan yang ada di kotak makan itu. Karena Elaina dan komandan Oliver sudah cukup lama berada di ruangan ini, mereka berdua pun lalu memutuskan untuk pergi.

"Kalau begitu, aku pergi dulu, kakak Rid. Semangat untuk sidang pengadilannya nanti," ucap Caroline.

"Iya, terima kasih, Carol," ucapku.

Mereka berdua pun pergi meninggalkan ruangan ini dan setelah itu, pintu ruangan ini pun kembali ditutup dan dikunci kembali.

-

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan ini pun kembali terbuka kembali.

"Kelihatannya aku hari ini kedatangan cukup banyak pengunjung," pikirku.

Dan benar saja, setelah pintu itu terbuka, datang 2 orang yang masuk ke dalam ruangan ini. Kedatangan kedua orang itu membuatku terkejut.

"Kakak Asier dan paman Louis ?," tanyaku.

2 orang yang datang ke ruanganku itu adalah komandan Asier dan Duke San Lucia, Duke Louis.

"Aku tidak menyangka kalau kamu memanggilku dengan sebutan 'paman', Rid," ucap Duke Louis.

"Bukannya paman yang bilang sendiri untuk memanggil anda 'paman' ketika paman datang ke akademi setelah insiden penyerangan akademi terjadi ?," tanyaku.

"Ah benar juga, aku lupa soal itu," ucap Duke Louis.

"Kelihatannya kamu baik-baik saja, Rid," ucap komandan Louis.

"Yah, setidaknya saat ini aku sedang baik-baik saja. Ngomong-ngomong, kenapa kalian berdua datang kesini ?," tanyaku.

"Itu karena kami berdua ingin menonton sidang ini dan juga kami berdua ingin membebaskanmu dari hukuman yang mungkin akan kamu terima di sidang ini," ucap komandan Asier.

"Membebaskanku ? bukankah itu sulit jika tidak ada bukti yang kuat ?," tanyaku.

"Memang. Kemarin, aku menyuruh beberapa anak buahku untuk pergi ke hutan Hevea dan mencari barang-barang mencurigakan yang mungkin tertinggal di hutan itu setelah insiden itu terjadi. Mereka terus mencari barang-barang itu hingga saat ini. Aku berharap barang-barang yang tertinggal itu masih bisa ditemukan sebelum sidang ini berakhir agar setidaknya kita memiliki bukti kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu,"

"Bagaimana denganmu Rid ? Apa kamu memiliki bukti yang kuat kalau kamu tidak bersalah dalam insiden itu, karena kamu sendiri yang terlibat langsung dalam insiden itu ?," tanya komandan Asier.

"Aku tidak mempunyai bukti yang bisa dipercayai oleh semua orang. Bukti yang kupunya hanyalah bukti perkataan yang kudengar sendiri dari orang-orang yang aku bunuh itu. Tentu bukti seperti ini akan lemah, sebab jika aku berbicara tentang ini, sebagian orang mungkin tidak akan percaya dan menganggap ini sebagai kebohongan belaka," ucapku

"Kamu benar, tapi bukti perkataan itu bisa dianggap sebagai kebenaran jika orang yang mengatakan itu sedang terpengaruh oleh sihir pikiran yang membuat dia harus mengatakan kebenaran. Tapi sepertinya pengadilan ini tidak menggunakan metode seperti itu," ucap komandan Asier.

"Begitu ya," ucapku.

"Meski begitu, kamu tidak perlu khawatir, Rid. Selain Asier, aku juga sedang mengumpulkan bukti-bukti yang mencurigakan. Memang aku tidak mengumpulkan bukti tentang insiden yang terjadi itu tapi aku sedang mengumpulkan bukti tentang aktivitas-aktivitas mencurigakan yang dilakukan Duke San Angela. Aku telah memerintahkan beberapa anak buahku untuk menyusup ke tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Duke San Angela. Jika bukti tentang suatu aktifitas mencurigakan sudah ditemukan, kita bisa menyeret Duke San Angela untuk menjalani sidang pengadilan juga. Jika itu terjadi, banyak orang akan berpikir kalau mungkin saja insiden yang terjadi di hutan Hevea merupakan bagian dari aktifitas mencurigakan yang dilakukan Duke San Angela, karena beberapa prajurit Duke San Angela sampai melakukan aktivitas di hutan Hevea yang bukan merupakan wilayah tugas mereka. Aku berharap bukti-bukti itu dapat ditemukan sebelum sidang ini selesai. Jadi pokoknya kamu tenang saja," ucap Duke Louis.

"Terima kasih, kakak Asier, paman Louis. Kalian berdua bahkan rela melakukan ini untuk bisa membebaskanku," ucapku.

"Kami berdua melakukan ini karena jika kamu tidak dibebaskan dan tetap mendapatkan hukuman, seseorang nanti akan sedih," ucap Duke Louis.

-

Waktu pun berlalu dan sekarang waktu telah menunjukkan hampir pukul 10 pagi. Itu berarti, sebentar lagi sidang pengadilan akan dimulai.

Pintu ruangan tempatku menunggu pun terbuka dan di balik pintu itu ada seorang prajurit yang terlihat sedang menungguku untuk keluar.

"Rid Archie, sudah waktunya bagimu untuk menjalani sidang pengadilan," ucap salah satu dari prajurit itu.

"Baiklah," ucapku.

Kemudian, aku pun berjalan menuju pintu itu untuk keluar dari ruangan ini. Setelah keluar dari ruangan itu, aku diarahkan oleh para prajurit untuk berjalan secara perlahan di ruang pengadilan itu. Aku melihat ruang pengadilan itu saat ini telah dipenuhi oleh orang-orang. Orang-orang yang duduk di bangku penonton pun mulai melihat ke arahku. Mereka melihatku dengan tatapan tajam dan beberapa dari mereka mulai meneriakiku

"Pembunuh!,"

"Pembunuh!,"

"Pembunuh!," teriak orang-orang itu.

Tidak ada satupun dari mereka yang mendukungku. Sepertinya semua orang yang ada disini memihak Duke San Angela. Tetapi aku tidak memperdulikan teriakan itu dan tetap berjalan perlahan. Aku berjalan melewati mereka sambil dikawal oleh beberapa prajurit. Di bagian depan tempat duduk penonton yang ada di lantai 1, tepatnya di bagian kanan, aku melihat ada Caroline, komandan Oliver, komandan Asier dan Duke San Lucia yang tengah duduk disana. Mereka berempat pun melihat ke arahku dan aku pun juga melihat ke arah mereka dengan tersenyum. Tidak hanya itu, di sisi lain bagian depan tempat duduk penonton itu, tepatnya di bagian kiri, aku melihat ada Duke San Angela, Marquess Marcelo dan komandan Luka. Tidak hanya itu, aku juga melihat ada Duke San Minerva dan juga Duke San Quentine. Duke San Angela, Marquess Marcelo dan komandan Luka melihatku dengan tatapan tajam, sementara Duke San Minerva dan Duke San Quentine hanya melihatku dengan tatapan biasa.

Lalu aku terus berjalan di tengah melewati bangku penonton itu. Sampai akhirnya aku berhenti di sebuah kursi yang ada di bagian tengah ruang pengadilan itu, salah seorang prajurit yang mengawalku menyuruhku untuk duduk di kursi tersebut. Aku pun langsung duduk di kursi tersebut sementara para prajurit yang mengawalku mulai berbaris di belakangku. Saat aku duduk, aku pun memperhatikan keseluruhan ruang pengadilan itu. Ternyata ruang pengadilan ini memiliki 3 lantai. Di lantai 2 dan lantai 3 bangunan itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menonton sidang ini. Orang-orang itu menatap ke bawah dengan tatapan yang tajam. Lalu orang-orang yang berada di lantai 2 dan 3 itu pun mulai berteriak 'pembunuh!' dan diikuti oleh orang-orang yang berada di lantai 1. Situasi di ruang pengadilan itu sangat gaduh dengan adanya suara teriakan orang-orang itu.

Saat aku sedang terfokus dengan suara teriakan-teriakan itu, aku lalu melihat ke arah kursi yang berukuran cukup besar yang berada di hadapanku. Karena kursi itu ada di lantai 2, aku harus mengarahkan kepalaku sedikit ke atas agar bisa melihat kursi itu. Lalu aku terkejut karena sudah ada seseorang yang duduk di kursi tersebut.

"Sejak kapan orang itu ada disana ?," pikirku.

Orang yang duduk itu adalah seorang pria yang mengenakan kacamata. Usianya tidak terlalu tua, mungkin sekitar 30 tahun. Pria itu saat ini sedang menatapku lalu kemudian dia mulai menatap ke penonton yang berada di lantai 2 dan 3.

"Kalian semua, diam!," ucap pria itu.

Suara yang dikeluarkan pria itu cukup keras karena suaranya terdengar di seluruh ruangan pengadilan itu. Setelah pria itu menyuruh orang-orang itu untuk diam, orang-orang itu pun menurut dan langsung diam. Suasana di ruang pengadilan itu pun menjadi sunyi.

"Karena sidang sudah mau dimulai, aku harap tidak ada dari kalian yang berisik atau membuat gaduh,"

"Sebelum memulai sidang ini, izinkan aku untuk memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku adalah Roswald Clementine, aku adalah hakim agung di Court of San Fulgen ini dan aku lah yang akan memimpin sidang kali ini. Kalau begitu, mari kita mulai sidangnya," ucap hakim Roswald.

Baru beberapa saat setelah sidangnya dimulai, tiba-tiba pintu depan ruang pengadilan terbuka dengan cukup kencang. Seluruh orang yang berada di ruangan itu pun menoleh ke arah pintu depan itu, kecuali bagi mereka yang berada di lantai 2 dan 3 karena mereka tidak bisa melihat ke arah pintu depan yang berada di lantai 1.

Saat aku melihat ke arah pintu depan itu, aku pun langsung tersenyum. Karena orang yang membuka pintu depan ruang pengadilan itu dan mulai melangkah masuk ke dalam adalah nona Karina. Tidak hanya nona Karina, Ratu Kayana pun juga bersamanya.

"Kelihatannya kita tidak terlambat ya," ucap nona Karina.

"Tidak, Kari- maksudku kepala akademi. Kita ini sudah terlambat beberapa detik karena sidangnya sudah dimulai," ucap Ratu Kayana.

Mereka yang hadir di ruangan itu pun langsung terkejut. Tetapi mereka tidak terkejut dengan kedatangan nona Karina, melainkan karena kedatangan Ratu Kayana. Saat mereka semua sedang terkejut dengan kedatangan Ratu Kayana, nona Karina pun berjalan perlahan di tengah bangku penonton yang berada di lantai 1. Nona Karina terus berjalan hingga menuju ke tempatku berada. Namun saat nona Karina sudah mau menghampiriku, para prajurit yang berbaris di belakangku pun langsung mencegahnya.

"Apa yang ingin kau lakukan ? Apa kau tidak lihat kalau sidangnya sudah dimulai ?," tanya salah satu prajurit itu.

"Jadi sidangnya sudah dimulai ya. Kalau begitu aku minta maaf karena telah mengganggu jalannya sidang ini. Tetapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Yang Mulia," ucap nona Karina.

Nona Karina lalu mengambil sesuatu dari saku pakaiannya. Nona Karina lalu bersiap untuk melempar sesuatu itu.

"Tangkap ini, Yang Mulia," ucap nona Karina.

Nona Karina lalu melempar sesuatu itu ke arah hakim Roswald. Hakim Roswald pun menangkap sesuatu itu dengan sempurna menggunakan tangan kanannya. Dia lalu melihat sesuatu yang dia tangkap itu yang ternyata adalah sebuah batu kristal berukuran sedang.

"Alat ini kan....," ucap hakim Roswald.

"Alat itu merupakan bukti kalau ada suatu rencana kejahatan yang besar yang sedang dijalankan di kerajaan ini. Dan insiden yang terjadi di hutan Hevea, adalah bagian dari rencana kejahatan yang besar itu," ucap nona Karina.

-Bersambung