"Kenapa kalo maenin toket Bu Lena selalu enak." ucap Gw.
"Kamu suka yang begini, Jak?" tanya Bu Lena.
"Iyaa. Toket favorit saya itu toketnya Bu Lena. Abis itu Bu Nisa."
"Tapi kalo memek enakan mana?"
"Kalo itu baru, enakan Bu Nisa. Hahaha."
"Dasar kamu, Jak."
"Iya. Hahaha. Aselii, memeknya nyedot bangett."
"Kalo memek saya, gimana?"
"Enggak terlalu nyedot sih. Cuma kelebihan Bu Lena tuh mainnya selalu seru. Gayanya banyak. Hahaha."
"Yaudah yuk, kita main." ajaknya.
Bu Lena pun berdiri membelakangi pintu. Lalu dibuka jilbabnya agar mudah melepaskan pakaiannya. Dibuka satu persatu bajunya, dalemannya, celananya hingga CD nya sampai hanya menyisakan bulu jembutnya saja.
"Ehh iya, Bu. Boleh saya foto gak?" tanya Gw.
"Buat apa?"
"Biar Bu Nisa iri. Hahaha."
"Tapi aman kan? Gak bakal kesebar?"
"Enggak, Bu. Tenang. Saya kan enggak gaptek."
*Ckrekkk
Gw foto tubuh bugil Bu Lena. Lalu Gw pun berdiri.
"Bukain ya, Bu?" pinta Gw.
Bu Lena melepaskan satu persatu kancing Gw. Lalu dilepaskanlah kemeja Gw seluruhnya. Dibuka juga kaos Gw lalu dijilatinya puting Gw.
"Sshhhh. Enak juga ya bu dijilatin puting cowok tuh."
"Ya enak atuh, Jak. Emang kan sama-sama puting. Bedanya enggak ngeluarin susu aja."
Sambil dijilatinya puting Gw, dilepaskannya gesper Gw dari pinggang Gw lalu dipelorotinya celana Gw hingga kebawah. Lalu
*Srrttt
Ditariknya CD gw sampai turun ke bawah hingga berdiri tegaklah kontol Gw yang sedari tadi mengeras.
Tanpa ba bi bu langsung dilahapnya kontol Gw hingga masuk seluruhnya ke dalam mulutnya
*Glock glock glock
"Ahhh, enak banget, Buu."
"Sedotan Bu Lena emang yang paling enakkk."
*Slurpp slurpp
Disedotnya lupa kantung buah zakar Gw dan diemutnya bagaikan sebuah permen.
Lalu Gw angkat tubuh Bu Lena supaya berdiri agar Gw bisa menikmati toket empuknya yang menggantung.
"Ahh, Jak. Langsung aja yuk, udah sore." ucapnya.
Direbahkanlah tubuhnya ke kasur dan kangkangkan pahanya sehingga terlihat jelas memeknya yang ditumbuhi jembut hitam yang tebal.
"Saya masukin ya, Bu."
"Iya, Jak."
*Blesss
Mudah saja Gw membenamkan kontol Gw ke dalam lubang kenikmatan yang sudah melahirkan dua buah hati itu.
"Aahh, Jakk. Penuh, Jakkk."
*Plok plok plokk plokkk
"Ahh, enakkk banggettt kkontooll kammuu Jhhakkk."
Gw pun merebahkan tubuh Gw di atas tubuh Bu Lena yang tidak tertutup benang sehelaipun. Gw benamkan wajah Gw di pundaknya untuk menjilati lehernya.
"Huuhh, Jakkk. Gelii tauuu. Sshhhhh." ucapnya sambil memeluk Gw erat.
Increase Speed Mode : Lv. 2
*Plokplokplokplokkk
"Aaaaaaahhhhh. Gilaa, Jakk." racaunya yang dengan cepat langsung Gw bekap mulutnya agar tidak didengar orang luar.
"Buu, jangan teriak. Bahaya."
"Ahhh, abiss enakk Jakk dientot kamuu."
"Aku udah sampe nih, Bu."
"Uuhhh. Yaudaahh, Jhakk. Kheluarhin ajhahh."
*Crott crottt crooott
"Huhh, andai bisa main lama ya, Bu. Hahhh." ucap Gw yang terkulai lemas di atas Bu Lena.
"Makanya, kapan kamu mau ke rumah saya lagi. Pintu selalu terbuka loh untuk kamu."
"Pelanggan saya kan ada yang lain, Bu. Dan saya bukan Gatot Kaca yang tenaganya gede. Main buru-buru gini aja udah cape. Huhh."
"Karena tadi kamu abis main sama Sinta kan?? Hayohh ngakuu."
"Kok?? Ibu tau??" tanya Gw heran.
"Kamu kan abis pergi sama Sinta, lama. Dan juga kontol kamu tadi rada bau amis. Ngapain lagi coba kalo bukan abis ngentotin Sinta." paparnya sambil menyubit pinggang Gw.
"Aahh, aahhh." teriak Gw sambil merebahkan tubuh di sampingnya.
"Yang expert mah gabisa dibohongin. Hahaha."
"Dan yang expert mah selalu bikin enak." ucap Gw sambil tersenyum ke Bu Lena.
"Apanya yang bikin enak?" tanya Bu Lena.
"Ininya." ucap Gw sambil menggesek memeknya dengan tengan Gw.
"Awas, nanti ketagihan."
"Udahh, Buu. Memek ibu bikin nagihh."
"Awas lupa, kita lagi dimana."
"Di surga bikinan kita. Hahaha."
"Surga macam apa yang gak boleh teriak biar enggak ada yang curiga. Wooo."
"Seenggaknya bisa begini." ucap Gw sambil memeluk Bu Lena bagaikan sebuah guling.
"Bu Lena enak, empuk kayak guling." bisik Gw di telinganya.
"Udah ih, udah sore. Sana kamu duluan keluar biar saya disini dulu." ujarnya.
"Oke dehh. Saya diusir. Biar gak ganggu nanti mau main sama Bang Sani ya. Hahaha." kata Gw sambil bangkit dari kasur lalu mengenakan kembali pakaian yang tadi dilucuti Bu Lena.
"Ehh, enggak. Biar enggak curiga atuh, Jak."
"Halah, sekarang udah bisa bikin alibi nih." ucap Gw meledeknya.
*Cuss
Sebuah cubitan mendarat tak jauh dari bekas cubitan pertamanya tadi.
"Aahhh. Sakit ih, Bu."
"Biarin, biar tau rasa ngeledekin orang tua mulu." dumel nya.
"Udah dua nih biru. Nanti malem Bu Nisa bakal nanya nih gara-gara apa. Biarin, saya bilang karena di cubit Bu Lena biar Bu Lena diomelin Bu Nisa."
"Mau nambah yang ketiga ga?"
"Sudah, Bu. Sudah cukup penderitaan yang ibu berikan. Mending saya keluar saja."
*Ngeett
Saat pintu kamar Bang Sani Gw buka, sudah bediri dua bidadari yang melipat kedua tangannya dengan menunjukkan tatapan ganas.
"Gak puas Jak yang tadi siang?" tanya Kak Sinta yang sedang memegang helm Bang Sani.
"Puas kok, ini saya sampe lemes." jawab Gw panik.
"Kok nambah lagi?" tanya Bu Nisa.
"Ada istri orang yang perlu dipuaskan. Hehehe." jawab Gw cengengesan.
"Mukul pala orang pake helm dosa gak, Bu?" tanya Kak Sinta ke Bu Nisa.
"Jangan ih, kasian." jawab Bu Nisa.
"Kok ibu bisa kasian sama iblis yang satu ini?" tanya Kak Sinta.
"Bukan, Sin. Kasian helmnya Bang Sani. Pala iblis kan keras, nanti helmnya retak."
"Ahh aahhh." teriak Gw saat Kak Sinta mencubit kepala kontol Gw dari luar celana.
"Ah, enggak keras, Bu. Lembek ini kan abis digunain." ucap Kak Sinta.
"Mau liat klakson gak, Sin?" tanya Bu Nisa.
"Mana, Bu?"
"Aaahhhh." teriak Gw ketika Bu Nisa meremas buah zakar Gw.
"Tuh kan, dipencet keluar bunyi. Hahaha." ucap Bu Nisa.
"Hahahaha. Cuma aneh ya, Bu. Suaranya kayak menderita gitu."
"Ihh, main pencet-pencet aja." ucap Gw.
"Gantian." kata Gw sambil meremas toket Bu Nisa dan Kak Sinta.
"Tau gak, Sin? Waktu pertama kali Jaka mainin toket saya, dia cuma goyang-goyangin doang."
"Hahahaha. Kok gitu sih, hahaha." Kak Sinta menertawai Gw hingga suaranya memenuhi lorong kamar Bang Sani.
"Ahh, males ahh. Dibully mulu saya." ucap Gw lalu menyudahi remasan pada toket Kak Sinta dan Bu Nisa.
"Sinta??"
Terdengar sebuah suara dari lorong kelas memanggil Kak Sinta yang membuat kami bertiga terkejut.
Lalu orang itu terdengar berjalan ke arah kami dan ketika memasuki lorong kamar Bang Sani, baru kami tahu ternyata itu adalah Muti.
"Oh rame toh, lagi pada ngapain?" tanya Muti ke kami bertiga.
"Ini… " Gw mencoba menjawab pertanyaan Muti tetapi bingung mencari alasan.
"Mau balikin helm Bang Sani, tapi orangnya gak ada." sambung Kak Sinta yang lebih dahulu menemukan alasannya.
"Tadi aku liat Bang Sani lagi sholat di atas. Taruh situ aja helmnya, gapapa kok aku sering minjem juga." ucap Muti.
"Tuh kan, Sin. Ngapain pake takut segala orang cuma tinggal taro aja, kok." sambung Bu Nisa.
"Udah, Kak. Taro aja disitu. Dah yuk ah pulang." ucap Gw.
"Nah, ada masalah nih Jaka." kata Muti.
"Lah, kenapa? " tanya Jaka.
"Dari tadi aku coba nyalain motor, tapi enggak bisa nyala-nyala." ucapnya.
"Coba kamu yang nyalain, Jak. Biasanya tangan anak laki kan serba bisa." kata Bu Nisa.
"Tapi otak saya enggak pernah pelajarin tentang motor, Bu." jawab Gw.
"Coba aja, Jak. Daripada aku, gak ngerti sama sekali." ucap Muti.
Setelah meminta kuncinya, Gw mencoba untuk menyalakan motornya. Tetapi berkali-kali menyalakannya, tetap saja nihil hasilnya. Yang ada hanya menimbulkan bau angus dari arah mesin.
"Kak, kok bau." tanya Gw.
"Sinta kali tuh belum mandi." ucap Muti.
"Lah sembarangan banget nih anak." timpal Kak Sinta.
"Ini kak, mesin motornya yang bau. Jarang di service ya?" tanya Gw.
"Hmmm. Mungkin." katanya.
"Lah kamu gimana si, Mut. Motor bagus-bagus malah jarang di service." omel Bu Nisa.
"Motor bagus apanya sihh, orang aku juga ini dikasih bekas ayah ku dulu sebelum meninggal." ucap Muti.
"Nah, motor warisan kan harus dirawat baik-baik. Kamu rawat gak tuh motor?" tanya Bu Nisa.
"Rawat kok, kalo kotor langsung aku bawa ke tukang cuci." jawab Muti.
"Terakhir service kapan?" tanya Gw.
"Hmmm. Hmmmmmm." Muti mencoba meraih ingatannya di dalam pikirannya.
"Tuh, kan. Pasti gak pernah." omel Bu Nisa.
"Aku lupaa, udah lama banget soalnya." ucap Muti.
"Jam tangan doang mahal, tapi gak pernah service motor." oceh Kak Sinta.
"Heii, jangan fitnah yaa andaa. Ini KW lohh." seru Muti.
"KW kok bangga, Mut." kata Bu Nisa.
"Ihh, ihh, jahat ih. Masa aku di serang tiga orang." ucap Muti sambil merengut.
"Udah, udah. Aku setut yuk sampe bengkel." ajak Gw ke Muti untuk membawa motornya ke bengkel terdekat dari SD tempat kami mengajar.
"Terus nanti Bu Nisa gimana gak kamu anter pulang?" tanya Muti.
"Tenang, Mut. Aku naik ojol aja. Gampang kok." ucap Bu Nisa.
"Hmm, oke deh. Maaf ya, Bu. Drivernya saya pinjem." kata Muti.
"Gapapa, Mut. Asal jangan dipinjem sampe malem aja." timpal Kak Sinta.
"Emang kenapa?" tanya Muti.
"Nanti berubah jadi serigala." jawab Kak Sinta diikuti dengan tawa kami semua.
_____—–_____
"Wahh, parah ini, Pak." ucap Montir bengkel ketika mengecek kerusakan apa yang terjadi pada motor Muti.
"Kena apanya, Bang?" tanya Gw.
"Hmm, kompresi nya nih." jawab Abang Montir.
"Berapa lama bang kira-kira benerinnya?" tanya Gw kembali.
"Gak bisa malem ini selesai, Pak. Nih ada satu motor juga yang mesti saya beresin. Kemungkinan beresnya besok siang palingan."
Lalu aku dan Muti saling bertatap-tatapan bingung mau bertindak apa.
"Gapapa, Mut?" tanya Gw ke Muti.
"Coba tanya-tanya lagi, Jak. Rusak berat apa enggak, biayanya, tanyain Jak." suruh Muti.
"Bang, ini tergolong rusak berat ya berarti?" tanya Gw ke Abang Montir.
"Iya, Pak. Efek enggak di ganti oli sama enggak di service ringan jadi ya gini nih." jawabnya.
"Kalo biayanya? Berapa, Bang?"
"Besok siang bawa aja 700an. Soalnya kira-kira 600 lebih lah semuanya."
"Mau, Mut?" tanya Gw.
"Yaa, mau gak mau kan." jawabnya.
"Oke deh bang, tolong dibenerin ya." ucap Gw.
"Oke, sip. Besok siang bisa kok di ambil."
"Yaudah yuk, Mut. Pulang." ajak Gw ke Muti untuk Gw antar ke rumahnya.
"Anterin gw, ya."
"Iya, iyaa."
Di dalam perjalan kami menuju rumah Muti, Gw memecahkan suasana dengan membahas perihal motornya.
"Makanya punya motor tuh dirawat." omel Gw.
"Ya Gw kan enggak ngerti, Jak. Di rumah juga enggak ada anak cowok jadi enggak ada yang ngerti motor."
"Mulai besok, tiap bulan lu mesti ganti oli sama service ringan tuh. Biar enggak rusak begini lagi." omel Gw.
"Iya, iyaa." ucapnya memelas.
"Rumah lu dimana sih, Jak?" tanya Muti.
"Di deket mall, gak jauh sebelum rumah Bu Nisa. Kenapa?"
"Gapapa. Rumah gw lumayan jauh loh, gapapa nih?" tanya Muti.
"Ya gapapa lahh, asal tau diri aja. Nanti disuruh mampir dulu kek gitu, di kasih minum. Hahahaha."
*Ciuttt
Sebuah cubitan mendarat di pinggang Gw. Tepat di tempat yang sama dimana Bu Lena juga melayangkan cubitannya tadi.
"Aaahhh, sakit woy." teriak Gw sambil berusaha menyeimbangkan laju motor.
"Dih, orang pelan sih."
"Ya, sakit tapinya. Bekas jatoh tau nggak."
"Cowok tuh kalo jatoh, bangkit. Bukannya malah ngeluh." katanya seakan-akan sedang memberi motivasi ke Gw.
"Wahai Muti sang ratu kadal. Gua tuh enggak ngeluh, cuma gua bilang itu bekas jatoh jangan lu cubit."
"Tumben." katanya.
"Hah? Tumben apaan?" tanya Gw.
"Enggak macet."
"Ngalihin pembicaraan lu yak, bisa banget."
"Lah, emang gimana lagi orang gua ngeliat ini jalanan rada sepi. Jadi bisa cepet nyampenya."
"Ya, iya sih."
Bersambung