Shocked Review:



Iya, serius. Karena Porche udah gak bisa nyembuhin siapa pun lagi. Sementara Laura ditembak di dada beberapa kali. Kali ini bener-bener kena jantung, limpa, hati, dan paru. Btw, sejak awal aku ingin Laura mati tanpa dibenci atau dihujat siapa pun. Aku mau tokoh wanita dalam karya BL bisa dimengerti pembaca. Dan sekarang aku mewujudkannya. 🤧
Guys, sadarlah. Kita bener-bener menuju tamat. Makin ke belakang bab-nya akan sering dilabeli 🔞 karena banyak scene yang gak aman.
.
.
.
.
.
SEMENJAK Kinn mendengar suara tembakan di depan rumah, dia pun buru-buru menggendong Porche ke belakang. Dia bahkan rela duduk di atas kloset kotor dan bau pesing hanya demi keamanan. Lalu memeluk lelaki tercintanya selagi para polisi mendobrak masuk.
BRAKHHH! BRAKHH!!
"CARI YANG TERSISA DI DALAM! PASTI ADA!" teriak Chief Joseph sembari memeluk Jasmine. Lelaki itu menelpon entah siapa, dan Kinn bisa melihatnya dari celah bolong-bolong pintu kamar mandi.

"Ayah ...." kata Jasmine sembari menggoyang-goyangkan tangan Joseph. Gadis kecil itu mendongak, kemudian menatap wajah ayahnya yang begitu tegang.
"Sebentar, Nak. Jangan ganggu aku dulu," kata Chief Joseph. "Dimana lelaki itu? Kenapa Mossimo tidak mengangkat panggilanku ...." Setiap detik, rautnya semakin gusar dan gusar.
"Ayah ...."
Deg ... deg ... deg ... deg ....
Kinn pun mengeratkan pegangannya pada Porche agak tak tergelincir. "Tolong jangan lakukan itu, Jasmine. Tolong jangan beritahukan keberadaan kami ...." katanya dalam hati. Dan permohonan itu campur aduk dengan suara langkah kaki yang semakin ribut di luar sana.
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap!
"ADA YANG MATI LAGI DI SINI! SEORANG LELAKI TUA!" teriak salah satu polisi.
Chief Joseph pun mengerutkan kening. "CARI LAGI! TADI ADA DUA LELAKI LAIN DI DALAM MOBIL!"
"Baik!"
"ARRRGHH! Menyebalkan sekali ...." keluh Chief Joseph yang langsung mengantungi ponselnya. Lelaki itu tampak kesal karena diabaikan Mossimo, sementara dia baru memperhatikan Jasmine yang menggeleng pelan.
"Mereka tidak ada di sini ...." kata Jasmine. Lalu menunjuk ke jalan raya yang lengang dan sepi. "Mereka pergi dengan mobil lainnya, Ayah. Tapi aku tidak tahu mau kemana."

"Apa?!"
Jasmine tetap menatap ayahnya selama beberapa detik, lalu menoleh kepada Kinn yang bersembunyi. Bocah itu seolah tahu sang mafia sedang meminta bantuan, dan mereka berdua saling menghadap secara tanpa kata lewat lubang kecil yang ada.
"Jasmine ... Jasmine ...." sebut Kinn dalam hati. Dan lelaki itu tercengang ketika Jasmine tersenyum manis padanya. Apalagi bertahan begitu lama sekali.
Mereka seperti mengenang obrolan tentang nama bayi, sementara Jasmine mengangguk setuju dengan usulan Kinn.
_________________
"Hmm ... apa, ya. Aku tidak kenal banyak wanita. Tapi kalau disuruh usul, Laura sebenarnya tidak buruk."
"Jadi, nama Laura itu bagus?"
"Ya, sangat. Terdengar seperti wanita cantik."
"Jangan bilang itu nama istrimu yang di dalam?"
"Ha ha ha. Apa kelihatannya begitu?"
"Oh ... kau sangat-sangat mencintai istrimu, Pak Tua."
"Hmph, ya. Mungkin ...."

"Baiklah, bagus juga Laura. Nanti akan kupakai untuk adikku. Biar kalau kupanggil namanya, aku ingat tentang pria baik sepertimu."
"Baik, huh? Aku tidak merasa begitu."
"Bukankah terserahku menyebutmu apa?"
"Oke, oke. Tapi bagaimana jika adikmu lelaki?"
"Oh, tapi kudengar hasil USG-nya perempuan kok."
"Hanya jaga-jaga saja ... apa kau tak ingin membahasnya sekalian?"
"Tidak. Aku sudah yakin adikku perempuan."
"Ha ha ha ha. Aku menyerah kalau begitu."
"Yups. Laura Smith. Aku akan bilang ke Ibu kalau sudah bertemu nanti."
__________________

"Ssssst ...." kata Jasmine nyaris tanpa suara. Gadis kecil itu menaruh telunjuk pada bibirnya untuk meyakinkan Kinn Anakinn. Lalu berkedip pintar.
Deg ... deg ... deg ... deg ...
"OKE CUKUP! BUBAR! KITA CARI KE TEMPAT LAIN!" teriak Chief Joseph setelah mempercayai Jasmine.
Seketika, pasukan Chief Joseph pun keluar lagi dari rumah reyot itu. Mereka memaki dan berbondong-bondong kembali, meski jantung Kinn nyaris copot saat ada satu pria sempat mengawasi selidik pintu gelap kamar mandi yang dia tempati.
"BERSIH!" teriak lelaki itu setelah mengernyit jijik atas bau pesingnya. "AYO SEMUANYA KEMBALI!"

Chief Joseph pun memimpin pasukan itu pergi, sementara Kinn langsung keluar lagi dan ambruk berlutut.
BRUGH!!
Tangan dan kakinya kesemutan. Bahkan paha dan lututnya juga. Namun, Kinn tidak mau mengeluh. Dia memandang wajah penuh cakaran Porche, kemudian menyeret diri agar bisa duduk dengan lebih santai.
Kinn pangku Porche di atas lantai berdarah itu. Kinn keluarkan ponselnya yang tertekan mati tanpa sengaja, kemudian mengaktifkannya kembali untuk menghubungi seseorang.
DEG
[+3960251682xxx]
[13 Missed Call]
[Dismissed]
Nomor siapa ini? (*)
(*) Kode domain Italia +39
Kinn tidak ingat memberikan nomor ponsel Ken kepada orang selain di tempat perkumpulan, kecuali memang sosok itu sudah menghapalnya di luar kepala.
"Pasti Kim atau Jirayu ...." gumam Kinn, yang langsung menelpon balik nomor tak dikenal itu. Jujur, dia benci jika membayangkan ekspresi arogan Jirayu tiap menatapnya, tetapi Kinn tahu lelaki itu tidak benar-benar membenci.

Trrrrt ... trrrrtt ... trrrt ....
"Angkatlah ... angkatlah ... aku sungguh butuh bantuan di sini," gumam Kinn. Dan dia lega ketika seseorang di seberang sana menekan tombol terima.
Cklik!
"Halo--"
"KINN! DI MANA KAU SEKARANG! CEPAT BERITAHUKAN PADAKU!" bentak Jirayu tiba-tiba. Di seberang sana terdengar suara yang amat gaduh. Dan lelaki itu sepertinya mengebut karena dikejar sesuatu.
BRRRRRRRMMM!! BRRRM! BRRRM!
"BIDIK DENGAN BENAR! DI ARAH JAM 3!"
"BAIK!"
DBUM! DBUM! DORRRRRR!!!

Tunggu, apa Jirayu juga sedang menghindari seseorang? Siapa? Kinn pun refleks menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari tahu nama jalan di balik jendela. Sayang tidak ada samasekali. Namun, terdapat bangunan besar yang berdiri tidak jauh dari rumah reyot ini. Lantainya bersusun-susun, dan atapnya setinggi langit.
Tertulis plang "RED HADE CLAIRE" di atasnya, lalu Kinn segera memberitahukan itu kepada Jirayu karena dia butuh bantuan.
"CIH! ASTAGA! AKU TAHU TEMPAT ITU! TAPI KENAPA KAU JAUH SEKALI! BAGAIMANA DENGAN YANG LAIN?! APA JASMINE DAN LAURA BAIK-BAIK SAJA?!"
"Soal itu ... aku benar-benar minta--"
Kresek! Kresek! Kresek! Kresek!
Mendadak, sambungan telepon mereka disela ribut sinyal yang sulit.
"HAH?! APA KATAMU TADI?! ULANGI--"
Kresek! Kresek! Kresek! Kresek!
"Tadi Laura--"
Kresek! Kresek! Kresek! Kresek!
"KINN! AKU TIDAK PAHAM UCAPANMU, BRENGSEK--!"
Kresek! Kresek! Kresek! Kresek!

Mungkin karena hujan menderas di luar sana, sinyal pun makin terganggu. Kinn sampai bingung harus bagaimana, dan Jirayu kemudian berteriak terakhir kali.
"OKE, KUJEMPUT SAJA! DIAM DI SANA! AKU DATANG! TUNG--"
Kresek! Kresek! Kresek! Kresek!
Tuuuuttt! Tuuuuttt! Tuuut! Tuuut!
Sinyal benar-benar hilang setelah itu.
Kinn pun menghela napas panjang. Lalu bedebar kencang karena baru sadar ada sesosok kasat mata nan transparan yang tangannya bertemu dengan milik Porche.
Kinn juga kaget karena Porche ternyata sudah membuka mata, tapi lelaki itu fokus kepada enigma di hadapan daripada dirinya.
"Porche ...."

Tentu saja tangan mereka tidak bisa menyatu.
Kinn jadi ingat dulu arwah Tawan juga pernah menemuinya seperti ini. Lalu tersenyum karena cinta yang tenggelam di dalam matanya.
Cinta yang teramat tulus. Cinta yang tak bisa mewakili penjelasannya. Dan cinta yang ingin memiliki walau tidak mampu lagi.
"Porche ...."
"Laura, apa itu benar-benar kau?" tanya Porche. Secara menakjubkan lelaki itu tidak takut kepada enigma Laura, padahal dia sempat dicekik dan dicakari beberapa saat lalu.
"Porche, apa aku menyakitimu? Aku benar-benar tidak sengaja."
Kinn pun menatap Laura lurus-lurus. "Kau sebenarnya tidak salah apapun, tidak apa. Situasinya tadi memang sulit sekali."
Laura pun balas menatap Kinn dengan senyuman tipis. "Jika ini waktu yang tepat untuk meminta tolong, maka aku ingin kau menjaganya."
Wajah Kinn mendingin saat dia mengangguk pelan. "Hm, jngan khawatir. Aku akan melakukannya, meski tanpa kau minta."

Sambil menatap Porche, senyum Laura pun melebar. "Terima kasih. Tapi aku masih punya permintaan lagi."
"...."
"Tolong ajari dia meretas sesuatu, menyetir dengan benar, dan bertarung jarak jauh juga. Wakili aku, Kinn. Karena aku sudah menjanjikan semua itu padanya."
"...."
"Jadikan dia benar-benar pantas, tapi jangan terlalu keras padanya. Karena aku ingin melihat Porche lebih kuat, tetap bahagia, dan berdiri dengan dua kakinya sendiri."

"Aku mengerti, Laura," kata Kinn. "Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Kinn?" Porche mendadak menginterupsi mereka berdua. "Ada apa dengan Laura? Kinn?"
Sayang, diantara Kinn dan Laura tidak ada yang bicara. Mereka justru saling menyelami ketika Laura mundur. Kemudian memudar dan pergi. Sosok itu kini tidak lagi terlihat, sementara Kinn serasa deja vu dengan sakit di dalam dadanya.
Tawan, Laura ... Kinn mendadak benar-benar ingin mereka berdua kembali bergabung. Kinn juga tak peduli bila dulu dirinya sendiri yang menentang pemikiran Porsche soal mendukung Kim. Namun, kini Kinn tak masalah jika harus menarik perkataannya sendiri.

__________
"Tapi itu semua karena Tawan masih mati. Bagaimana jika aku ada di pihaknya?"
__________
"Penelitian ini tidak tabu selama tak ada yang tahu. Hanya kita. Kau, aku, dan Kim. Ditambah orang-orangnya."
__________
"Kita sama-sama mengerti ini kesalahan fatal. Tapi kita tahu tujuannya untuk bertanggung jawab. Cukup jangan sampai pihak luar tahu, atau penelitian ini digunakan untuk hal yang lain-lain." (*)
___________
(*) Jika kalian lupa, ini adalah perkataan Porche pada "Bab 73: Kau Tak Pernah Sanggup."
"Kim ...." Seketika, Kinn pun mengingat sang adik yang entah kemana perginya. Dia meremas ponsel sinyalnya masih hilang. Lalu mencoba mencarinya segera. "Aku harus segera bicara dengannya. Kim ..." gumam lelaki itu sepanjang jalan.

Setelah menggendong mayat Laura masuk ke dalam, Kinn bahkan meninggalkan Porche demi menerobos hujan. Dia memanjat naik pagar rumah yang cukup tinggi. Bahkan tidak ragu untuk masuk ke dalam untuk memanjat lagi ke balkon-balkon tua yang dialiri air. Lelaki itu mendekap ponsel dalam balutan plastik kotor yang tadinya jadi wadah roti busuk si pak tua. Dan begitu sampai di balkon tertinggi, Kinn mencari sinyal dengan menggoyang-goyangkan ponsel.
"Ayolah ... sinyal .... Tolong, kembali sebentar saja," kata Kinn.
Dia tahu, jika Laura kembali nanti, mungkin wanita itu akan tumbuh dari awal seperti Tawan. Tapi, terserah. Kinn masih ingin mewujudkan keinginan sang ratu mafia untuk menjadi teman Porsche, atau apapun hal sederhana yang ingin dia lakukan.
Segalanya.
Kinn pasti siap membantu Kim untuk menyempurnakan penelitian itu dengan segenap jiwa raganya. Dan ini harus tetap jadi rahasia.
DEG
"Ahhh! Ada!" seru Kinn tanpa sadar tersenyum seperti bocah. Lelaki itu langsung membuka kontak Ken dengan gerakan cepat. Bahkan menggunakan korden pemilik rumah sebagai lap tangan agar tidak licin saat memencet. "Kim, Kim, Kim ... mana nomornya hmm."
Begitu menemukan, Kinn langsung menekan panggil. Dia tetap mengawasi sekitar dengan selidik, dan terus memastikan seseorang tidak ada yang mengincarnya atau masuk ke rumah reyot.
Trrrtttrtt ... trrrttttt ... trrrttttt ....
Nada sambung lama tak bersambut dari seberang sana.
"Angkat, Kim. Setidaknya beritahu aku cara mengawetkan mayat selama itu," gumam Kinn gelisah.

BRRRRRMMM!
Tiiiinnn! Tiiiiiiinnnnn! Tiiinn!
"KINN!"
Di bawah sana, mendadak ada Jirayu menekan klakson terus menerus. Lelaki itu melongok keluar sebentar untuk memastikan balkon itu sungguhan Kinn atau tidak, lalu menghentikan mobilnya.
"KINNNN!"
"SEBENTAR! AKU INGIN MENGHUBUNGI ADIKKU!" teriak Kinn balik.
Jirayu ternyata tak mau kalah. "LUPAKAN SAJA! DIA SEDANG MENGEJAR SESEORANG! TAPI AKU TAHU DIA DIMANA KALAU KAU MAU KE SANA!"

"CIH, OKE!" kata Kinn. Dari balkon tinggi itu, dia pun segera turun dan menjelaskan situasinya kepada Jirayu. Jirayu sendiri langsung syok melihat kondisi Laura dan Porsche, tapi dia cepat tanggap.
"Kau yakin dia sungguhan mati?" tanya Jirayu. Sebagai dokter, dia pun langsung mendekati Laura dan mengecek semua denyut nadinya. Luka-luka yang di dada wanita itu, lalu napasnya yang tidak ada. "Oh, benar. Walau aku sedikit tidak menyangka."
"Jangan katakan ini kepada Mossimo langsung. Dia pasti akan membunuhku kalau sampai iya," kata Kinn.
Jirayu pun mengecek Porche yang pingsan lagi. "Ya, ya. Sebentar biar kulihat istrimu dulu," katanya. Lalu melepaskan tangan dari wajah Porche yang terbiasa luka luka. "Tapi apa rencanamu? Kenapa ingin bertemu Kim? Jangan bilang ...."
Jirayu dan Kinn pun bertatapan. "Kau pasti paham isi pikiranku."
Jirayu pun meneguk ludah. "Tapi bukan kau kan yang menembaknya?"
"Bukan, tentu saja bukan aku," kata Kinn. "Tapi ayah Jasmine yang datang menjemput. Hanya saja kau apa Mossimo mau langsung mendengarkan? Aku khawatir dia akan salah paham lagi."
Ekspresi Jirayu langsung merah biru. "Sebentar ... Kinn. Kau pikir mengulangi kasus Tawan semudah itu?" tanyanya. "Butuh bertahun-tahun, paham?Dan kau baru saja bilang Porche tidak bisa menyembuhkan orang lagi."

"Aku tak peduli berapa tahun. Aku akan ikut mendanai kalian untuk penelitian itu. Cukup untuk Laura saja," kata Kinn tanpa keraguan. "Maaf sudah ikut merusak tempat kalian. Tapi, sekarang kalian butuh apa? Lokasi? Pembangunan ulang mesin baru? Bilang saja padaku. Selesaikan projek ini sampai sempurna. Mossimo harus kita buat mengerti perlahan-lahan."
"Oke. Tapi lebih baik kita bawa mereka pergi dulu," kata Jirayu sembari menggendong mayat Laura. "Tidak aman di sini. Dan aku yang akan membawanya ke Milan sementara waktu. Toh di sana alat-alat medisku lebih lengkap lagi."
"Bagus. Terima kasih."
Jirayu tidak membalas perkataan Kinn. Lelaki itu langsung keluar dan meletakkan Laura di jok belakang, lalu membelah rintikan hujan yang masih mengguyur di urutan pertama.

Bersambung ....
Jirayu dan Kinn bahkan sekarang bisa kerja sama 😁 jangan lupa vote, ya! Bantu aku sebarkan cinta dan petualangan dari FF ini.
Ren.