Chapter 114 - BAB 104

CATATAN:

Waktu Costa Rica 8 jam lebih lambat daripada Italia. Jadi, kalau Kim panik keluar rumah jam 7:56 pagi, maka Ken jagain truck-nya Tawan + diserang pas jam 11:56 malem. [Di bawah ini adalah night view di San Jose].

San Jose, Costa Rica, Amerika Tengah.

USAI menutup sambungan teleponnya, kaki-kaki Ken pun terasa lemas. Dia merosot duduk dalam mesin payphone tersebut, lalu menjambaki rambutnya sendiri.

"Tawan ... Tawan ... Tawan ...." desis Ken dengan memeluk lututnya. Bagian itu mengeluarkan darah segar yang mengalir deras, begitu pun dari siku dan bahu. Jejaknya membias jelas, mulai dari jalanan basah sisa terguyur hujan, hingga lantai yang dia  duduki.

Ah, San Jose. Ken dulu pernah kemari, tetapi hanya sekali saat projek klona baru dimulai. Setelah itu sudah. Urusan apapun dia serahkan kepada Kim dan Jirayu, sementara dirinya menetap di Thailand untuk melayani Keluarga Mayor Theerapanyakul.

Tapi kenapa Kim harus semarah itu? Ken tidak bermaksud memonopoli Tawan sendirian apalagi berakhir seperti ini. Dia hanya ingin keadilan, tapi yang tersisa sekarang hanya penyesalan.

Ya tuhan ... sekuat apapun Ken berusaha, pasukan tadi terlalu banyak. Mungkin mencapai 70 hingga 100 lebih? Yang pasti merek mirip sekelompok berandalan kota yang menyerbu daripada infanteri khusus.

Para klona yang bertugas menjaganya digebuki hingga meledak satu per satu, kepala mereka dicabut dan beberapa dimatikan fungsi hancurnya, lalu semuanya memonopoli truck dan memisah-misahnya secara bar-bar.

"¡DISPARA! ¡MATA! ¡NO DEJES UNO!" (*)

(*) Bahasa Spanyol: Tembaki! Bunuh! Jangan sisakan satu pun dari mereka! [Spanyol bahasa resmi di Costa Rica, btw].

Ken takkan pernah melupakan perintah itu. Apalagi mereka datang berbondong-bondong dengan mobil kongkow. Siapa yang menyangka kalau isinya adalah orang-orang yang mengincarnya?

Ken kira pasukan itu hanya sedang lewat untuk menikmati perjalanan malam bersama geng yang dimiliki. Namun, tiba-tiba saja ada yang melemparkan bom asap, berteriak sambil menembaki badan truck-nya, lalu naik satu per satu untuk memonopoli.

Oh, jangan lupakan fakta mereka juga paham bagaimana cara menyerang para klona membabi buta, bahkan menonaktifkan fungsi mesin di dalam.

Bukankah berarti mereka sudah menerima informasi soal prajurit anti mati itu? Barangkali seseorang sudah ada yang membongkar salah satu tubuh klona dan meneliti setiap unsur dalamnya dengan teliti. Bahkan memata-matai rencana perpindahan Tawan sejak masih di Italia hingga ke Costa Rica.

Tapi, siapa?

Ken tidak menemukan jawaban sesuai, berapa kali pun memikirkannya. Maka dengan beberapa logam colon, dia hanya bisa mengabari orang rumah dua menitan melalui telepon kabel. (*)

(*) Colon adalah mata uang resmi di Costa Rica. Berikut bentuk logamnya.

Tidak banyak yang bisa dilakukan sekarang. Ken berhasil melompat turun dan sembunyi di balik semak belukar saja beruntung, apalagi mencari bantuan? Di waktu seperti ini, atau di negara yang tak terlalu dikenalnya, dia hanya bisa istirahat sebentar di tempat.

Menikmati jalanan lengang dan sunyi, menatap langit yang masihlah mendung, lalu membayangkan apa yang akan terjadi kepada Tawan dalam truck yang dibawa pergi.

"Kenapa mereka menginginkanmu?" gumam Ken. "Kenapa hanya dirimu? Aku benar-benar tidak mengerti ...."

Ken juga mengkhawatirkan bagaimana jika Tawan sudah dikeluarkan dari dalam kotak. Oh, Tuhan. Apa mereka tahu tubuh itu amat rapuh? Ken bahkan tidak bisa memastikan apakah Tawan sudah stabil atau belum. Sebab bicara saja belum mampu, dan berjalannya baru lancar kemarin.

Apakah Tawan akan sanggup mengerti maksud orang-orang di sekitarnya? Apa dia akan diperlakukan dengan baik? Atau justru dibedah untuk penelitian yang lain?

Yang jelas Ken yakin "orang ini" tahu benar apa yang sedang mereka rebut.

"Kim, maafkan aku ...." Ken kembali mengusap wajahnya yang bengkak. "Sumpah, aku tidak sengaja. Maaf ... maaf ... maaf ...." Lelaki itu amat sangat putus asa. "Kau boleh membunuhku setelah ini, oh my god aku tak sanggup lagi ...."

San Marcos, Costa Rica, Amerika Tengah.

BRAKHHH!!

"KITA SAMPAI, WOHOOOOO!!! SEKARANG MASUKKAN KOTAK ITU KE DALAM!! HA HA HA!!" teriak si sopir truck. Senyumnya sumeringah karena berhasil memimpin perampokan yang ditugaskan klien mereka. Lalu keluar setelah menutup pintu tanpa peduli.

"HA HA HA! TANGKAPAN KITA SEPERTINYA SANGAT BESAR! REAL MAN!" sahut seseorang yang berjaga di belakang bak.

Si sopir lantas mengawasi teman-temannya yang membongkar truck itu. Mereka menggunakan linggis, lalu menyeret keluar kotak yang disembunyikan rapi.

SRAAAAAAAAAAAAAAAKHHHH!!

BRAKHHHH!!!!

"HEI! BERHENTI! HATI-HATI! TUAN SAM INGIN KITA PERLAKUKAN ITU DENGAN BAIK!" teriak seorang lelaki dari dalam gedung pertemuan. Dia memakai jaket dan celana denim, tampak panik, lalu mengambil alih proses pemindahan kotak tersebut.

Di dalam, Luke Bryan sudah menunggu. Dia adalah kolega Sam Webster sekaligus Allard dan Domenico. Dan sekarang pria itu menunggu di dalam dengan seorang polisi yang menjadi perwakilan dari Italia.

"Apa itu sebenarnya?" tanya si polisi bingung.

Luke Bryan justru mengendikkan bahu. "Entahlah, temanku Dom bilang ini merupakan salah satu barang bukti," katanya. "Bukankah lebih baik segera dibuka? Toh pihak kalian mulai dibawa memasuki jalur rahasia di mansion itu."

Si polisi pun mengangguk saja. "Baiklah, tunjukkan saja padaku."

Begitu dibuka, hampir semua orang kaget karena isinya hanya seorang lelaki yang tertidur lelap. Namun, tidak bagi Luke Bryan. "Sudah kuduga Domenico benar dengan hipotesisnya," katanya, lantas memeriksa kondisi panas tubuh Tawan. Keningnya hangat. Kulitnya hangat. Dan ada sisa penembakan di beberapa bagian tubuh.

"Hei, kau bercanda ini barang bukti?" tanya si polisi Italia. "Dia cuma orang dalam masa perawatan--"

SRREEEKHH!

Untuk kedua kalinya, semua orang menahan napas di tempat itu. Karena meski Luke Bryan tidak sengaja membuka laci kotak, ada layar virtual yang melayang di sisi benda itu.

Semua mengabarkan kondisi Tawan yang menuju stabil. Dengan tingkat kesadaran 75%, luka paling parah di bagian bahu dan lutut, lalu napasnya yang amat lirih.

"Menurutku tidak begitu, Mr. John. Karena yang satu ini beda dengan "robot manusia" kemarin," kata Luke Bryan sambil menatap si polisi. "Apalagi tubuhnya bagus sekali. Manusia. Sementara "boneka-boneka" tempur itu justru dinginnya biasa saja."

John pun berdehem pelan. "Oke? Jadi, kesimpulannya bagaimana? Apa yang ini varian versi baru?" tanyanya. "Mungkin kita harus membedahnya juga mumpung sudah dapat satu."

Luke Bryan pun menghela napas panjang. "Aku tidak berwenang untuk itu," katanya. "Sam Webster juga tidak mengatakan apapun. Jadi, kusarankan kita bawa pulang saja. Nanti jika dia dan Dom sudah bertemu lagi, tinggal bagaimana mereka mengurus sisanya."

"Haa ... oke," kata John. Dia mengangguk, tapi masih penasaran dengan kotak itu. "Ngomong-ngomong, di sini ada tombol yang lain."

"Hm."

"Layarnya juga lebih kecil." John kemudian memotret kotak itu ke ponselnya. "Menurutmu fungsinya apa?"

Baru saja Luke akan membuka mulut, tiba-tiba Tawan membuka mata perlahan. Lelaki itu berkedip-kedip lucu, jarinya juga bergerak pelan, tapi lehernya begitu kaku saat menoleh. "Unh? Kim?"

Kedua mata Luke Bryan refleks menyipit. "Hei, tunggu, John. Mundur dulu darinya!" katanya memperingati.

Si polisi pun berhenti bergerak. Dia ikut menatap Tawan selidik, apalagi lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tentu saja semua orang di sana asing. Apalagi sebagian besar berparas preman. Hal itu membuat otot-otot wajah Tawan tegang dan kegelisahan segera membias pada matanya.

"Hum ... mnn .... Kim?" Tawan menyebut nama itu sekali lagi. Dia seperti tengah mencari-cari, tapi tidak menemukan lelaki yang paling sering di sekitarnya.

Luke Bryan jelas tidak bodoh. Dia pun segera melihat Tawan lebih dekat. Lalu melaporkan nama yang disebut berkali-kali kepada Domenico lewat ponsel. "Hei, Bung. Apa kau ini autis?" tanyanya refleks. (*)

(*) Autis adalah gangguan sistem syaraf yang menyebabkan perilaku sehari-hari tidak normal. Tapi, ini perkiraan Luke. Tawan hanya belum berkembang pesat dengan kondisinya sekarang.

Tawan malah hanya diam ketika Luke menyentuh rahangnya.

"Sepertinya dia memang kesulitan bicara!" sahut seorang preman dari belakang. Agaknya mereka semua ikut penasaran, apalagi sempat diberitahu soal pasukan klona yang punya mesin dalam tubuhnya. "Mungkin ini fungsinya ada yang rusak? Makanya diletakkan di dalam kotak."

Luke Bryan lalu menoleh ke si sopir. "Tadi mereka menuju kemana memangnya?" tanyanya.

"San Jose, Pak. Perjalanan 40 menitan dari sini," jawab si sopir. "Tapi aku juga tidak yakin jalur mana yang akan diambil. Karena kami menggerebek truck-nya di depan tol empat sisi: Heredia, Grecia, Alajueta, dan Santiago."

John pun menatap mereka satu per satu. "Bagaimana dengan pengawasnya?" tanyanya. "Apa tidak ada satu pun yang sungguhan manusia?"

Seketika, semua pasukan itu pun terdiam. Sudah jelas sekali, ada yang terlewat selama mereka menyerang tadi.

"Haaah ... ya sudahlah, tak masalah," kata John pada akhirnya.

Mereka pun membawa tubuh Tawan kembali ke Italia seketika itu juga. Mereka menggunakan pesawat militer agar cepat ke tujuan, walau Tawan makin panik selama dipegangi preman di sisi kanan dan kiri.

"Angh, aungh, angh, ugh. Kau ini bisu atau bagaimana?" kata salah satu dari mereka. "Cih ... aku masih sulit percaya kita baru membuang waktu untuk menculik pria gila."

Namun, Luke Bryan dan John tidak menanggapi apapun. Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai ke Roma, dan Sam Webster tak menunggu waktu lama untuk menyambut mereka masuk.

"Domenico ingin aku langsung memulai prosedurnya, ayo. Di dalam sudah ada dokter yang menunggu," kata Sam yang sigap menutup pintu rumah kembali.

"Baik," kata Luke Bryan.

Di rumah itu, Tawan langsung diperiksa dokter lelaki yang kemudian menyimpulkan kondisinya memang beda dari manusia klona. Sebab di sampel yang Domenico berikan, para klona selalu memiliki 7 "kembaran identitas", tapi Tawan tidak. Kornea dan sidik jarinya hanya terdeteksi satu. Sementara air mata menetes dari pelupuknya saat melihat banyak pisau bedah.

Tittt .... tiit ... tiit ... tiit ....

Padahal, semua prosedur penelitian hampir selesai disiapkan. Begitu pun obat biusnya. Namun, para ilmuan itu panik karena baju pasien Tawan semakin basah.

Tetes-tetesnya tidak berhenti. Dia juga pucat karena ketakutan, dan seolah ingin berteriak tapi tak mampu.

"Unn ... uumm ... ummm ...." gumam Tawan sambil meremas baju pasiennya.

Seorang ilmuan sampai berdebar kencang melihat itu, lalu berteriak pada kawannya. "Hei, tunggu! Tunggu! Tunggu!" katanya. Lalu menampik suntikan anastesi yang nyaris menembus kulit Tawan.

Prakhhh!!

"Oih ... Man ... kau ini kenapa sebenarnya?" kata dokter itu dengan kening berkerut. Sebab suntikannya jadi sia-sia. Apalagi isinya terbuyar di atas lantai. "Bukankah kita harus lihat mesin di dalam tubuhnya? Siapa tahu memang unsurnya berbeda!"

"Apa kau sudah gila?! Dia menangis tidak seperti yang lain! Dia berkeringat dan punya bekas tembakan belum sembuh! Kau pikir "manusia robot" akan begitu? Kita harus lebih hati-hati ...."

Perdebatan pun terjadi beberapa saat di tempat itu. Bahkan, dua dokter juga sempat adu tonjok, tapi argumen yang masuk akal diterima Sam Webster.

Menurut dokter yang melarang pembedahan sebelum rontgen fullbody, ada banyak bekas jahitan di tubuh Tawan. Semua itu sisa operasi besar yang berkali-kali, jadi sementara disimpulkan Tawan sudah mengalami banyak prosedur buka organ sebelumnya. Apalagi tidak hanya tubuh. Bagian kepala lelaki itu juga punya sisa-sisa sayatan pisau.

Apakah otak Tawan pernah dicabut dari dalam tengkoraknya? Semua makin menimbulkan penasaran, tetapi Sam Webster bijaksana dengan keputusannya. "Baiklah, aku setuju kita memindahnya ke tempat yang fasilitasnya lebih lengkap," kata lelaki itu sambil menghisap cerutu. "Lakukanlah pemindaian dengan X-ray untuk memastikan keberadaan mesinnya. Tapi jika memang ada, langsung bongkar. Aku tidak mau tahu. Karena pemerintah pun gelisah menunggu hasil dari kita juga."

"Baik!" kata dokter tersebut. Dia tersenyum begitu lebar, lalu segera mengusapi pipi basah Tawan dengan sapu tangan. "Hei, tenang. Tidak apa. Kau sekarang aman di tanganku."

Malam itu, tubuh Tawan pun langsung dipindai begitu sampai ke rumah sakit yang memiliki mesin rontgen modern. Dan seperti yang diharapkan si dokter panik, hasilnya benar-benar tidak ada mesin dalam tubuh.

Tawan pun dinyatakan sebagai manusia asli, walau ada beberapa hal yang membuat kening dokter pemindai mengerut. "Tapi, ini aneh sekali ... kulihat beberapa susunan rusuknya tidak serasi," katanya sambil terus memperhatikan lebih detil. "Bagian ini, ini, dan ini .... semuanya bekas diganti baru. Jadi, menurutku tidak hanya organ saja, tapi dia pernah dibongkar pasang sampai ke tulang-tulangnya."

Sam Webster, Luke Bryan, John, serta beberapa dokter lain yang ikut produr pun hanya mendengarkan baik-baik.

"Terus bagian pergelangan tangan, panggul, dan masih banyak lagi ...." kata dokter pemindai itu. Dia pun menatap semua yang di dalam ruangannya satu per satu. "Jadi, kusarankan kalian mendatangi dokter ahli ortopedi sekaligus, daripada aku keliru karena yang satu ini bukan bidangku." (*)

(*) Dokter ahli ortopedi adalah seseorang yang memiliki keterampilan untuk menangani cedera atau kecelakaan. Biasanya mereka mendiagnosis serta memberikan pengobatan tulang, sendi, tendon, otot, dan syaraf.

Luke Bryan pun menghela napas panjang. "Apa tidak bisa kau simpulkan saja? Kenapa dia mengalami begitu banyak pembedahan?" katanya. "Apalagi datamu ini banyak sekali. Memang dia punya penyakit apa sampai-sampai dibegitukan?"

"Sudah kubilang aku juga tidak yakin," kata dokter pemindai agak kesal. "Kenapa tidak pakai otakmu dulu sebelum bertanya."

Luke Bryan pun menggeleng sebelum menelepon Domenico. "Ya, hmm ... kami sudah selesai di sini. Setidaknya untuk sementara waktu," katanya. "Apa kau sudah membawa para polisi ke mansion? Jangan lupa bawa keluar beberapa sampel lagi untuk dibawa ke laboratorium utama."

Domenico menyahut dengan suara rendahnya. "Hmm, tentu. Kami sudah ada di Venezia. Tinggal masuk setelah 2 kilo lagi."

"Oke. Jadi, sekarang lelaki ini kubawa ke tempat kita?" tanya Luke Bryan memastikan.

"Ya, bawa saja. Jangan biarkan keluar apapun yang terjadi, dan tunggu sampai aku pulang."

"Hm."

Luke Bryan pun menoleh kepada Tawan setelah panggilan itu berakhir. Lelaki itu menatap bagaimana ekspresi Tawan masih teramat sedih yang kekanakan, padahal jelas-jelas fisiknya seperti pria umur 20 ke atas. "Aaaahhh! Baiklah. Yang pasti jangan sampai kematian temanku sia-sia setelah semua ini."

.

.

.

.

.

Di seberang sana, Domenico mendengus setelah ponselnya dimasukkan ke dalam saku. "Jadi, tubuhnya seaneh itu, huh?" Dia lantas tertawa hambar. "Aku harus melihatnya sendiri setelah urusan di sini selesai."

Selang 8 menit berlalu, sopir di depan pun menoleh begitu memarkir mobilnya di halaman mansion. "Kita sampai, Tuan Dom," katanya. "Anda pun sudah ditunggu utusan Chief Joseph di depan sana."

"Ok, thanks," kata Domenico dengan anggukan pelan. "Cukup stay di sini sampai aku kembali lagi."

"Baik!"

"Sekarang kau benar-benar harus berhadapan denganku, Kimhan," batin Domenico saat tersenyum kepada pasukan polisi berseragam lengkap yang akan mendampinginya. "Akan kubuat kau mengerti harus bagaimana menghadapiku jika kau macam-macam sejauh ini."

Bersambung ....

👀 Dahlah kabur dulu ....

Abis ini siap-siap liat Kinn dan Laura ngereog di jalan raya.