Chapter 111 - BAB 101

"Ken?" tanya Jirayu memastikan.

"Ya," kata Kim sembari berjalan keluar. "Sekarang masuklah ke mobil, biar kujelaskan kita harus apa setelah ini."

Mereka berdua pun keluar beriringan sambil membicarakan banyak hal. Mulai dari Tawan yang dibawa Ken pergi sembunyi, Kinn yang memperjuangkan mansion Venezia walau gagal, kemudian Laura yang berhasil merebut akses sistem hingga terkumpul sempurna lagi.

Awalnya, Kim memang tetap tidak mau ikut campur. Namun, dia menghargai usaha Laura yang membantunya, padahal Kim dulu menjiplak database sistem AI wanita itu. Toh sistem sungguh-sungguh kembali menjadi miliknya. Kim pun menerima maksud mereka dengan baik, walau tetap antipati disertai kecurigaan yang besar.

"Kau pikir aku sendiri tak curiga denganmu?" tanya Laura melalui telekomunikasi sistem yang dia gunakan. "Tapi, bermusuhan saat ini tetap ide buruk, Nak. Karena kita punya PR yang lebih besar."

Dan PR yang dimaksud Laura adalah ancaman dari pemerintahan. Satu saja yang terkena, maka tak akan ada yang lolos. Baik Kinn, Mossimo, maupun Kim sekaligus. Hal ini membuat Kim harus merubah rencananya.

Kata Laura, Kim tidak boleh hanya mencuci otak Allard, melainkan menembaknya sebelum dibuang ke danau.

DORRRR!!!

BYURRRRRRRRR!!!

Dan Kim langsung meninggalkan raga Allard begitu mengambang pergi.

Alasan pembunuhan itu adalah Allard memiliki banyak koneksi selama di pesta bisnis. Begitu pun Mike yang baru dibantai oleh mereka. Karena itulah, menurut Mossimo, jika ada dua orang penting yang menghilang, maka pasti akan memancing yang lain ikut keluar.

"Yang lain? Siapa yang dimaksud Mossimo?" tanya Jirayu selama perjalanan.

Di sebelahnya, Kim tetap fokus ke jalan raya sembari memutar setir. "Mana kutahu siapa. Namun, jika dia mencuri aksesku dan tidak berada di pihak kita, maka pasti ada sesuatu."

Jawaban yang amat logis.

Jirayu pun diam, walau tak mengerti dengan hubungan para mafia dengan Kim sekarang. Apalagi mereka telah belajar dari kesalahan perihal komunikasi, kali ini Kinn dan Mossimo pun saling mengabarkan situasi masing-masing.

Misal sudah sampai ke wilayah mana. Apakah masih butuh bantuan. Atau bahkan meski keberhasilan mereka hanya sebelah, keduanya tetap tidak mau ambil pusing.

Kinn pun langsung kembali ke Cagliari dengan membawa Jasmine. Begitu pun Laura dan Porche. Namun, Mossimo tetap harus tinggal di Pallermo karena dia harus berurusan dengan Chief Joseph yang telah mengirimkan utusan.

Bagaimana pun, Mossimo dan pemerintah memiliki perjanjian khusus. Bila sang mafia Sisilia mengabaikan masalah ini, maka akan semakin kentara sebenarnya siapa saja pelaku di balik semua kekacauan yang mereka lakukan.

"Jadi, kita akan bergabung dengan mereka?" tanya Jirayu memastikan.

"Ya."

"Dan kau benar-benar mengakhiri rencana kita?"

Kim pun melirik Jirayu sekilas. "Rencana atau dirimu," katanya. "Hanya itu pilihannya, tapi sekarang kau sudah di sini."

"...."

"Jadi, bisa sudahi pertanyaannya?"

Mendengar kata-kata Kim, Jirayu pun memandangi wajah lelaki itu dari samping. Dia tahu, mungkin bukan cinta yang Kim bawa saat dirinya kemari, melainkan hanya kepedulian atau entah apa namanya. Namun, Jirayu merasa beruntung hanya dengan Kim tak menghindarinya setelah pertengkaran mereka yang terakhir kali.

"Kim, bisa kau berhenti sebentar?" pinta Jirayu pada akhirnya.

"Kenapa."

"Aku hanya ingin bicara denganmu secara serius."

Suara Kim terdengar dingin. "Katakan saja yang kau inginkan." Lelaki itu lantas melirik spion untuk memantau deretan mobil-mobil lain yang mengikuti mereka. Semuanya berisi klona yang mengawal, dan tentunya ikut berhenti jika dirinya berhenti.

"Kim ...." panggil Jirayu sekali lagi.

Sayang, Kim tetap saja mendiamkannya. "...."

Hal yang membuat Jirayu kembali di titik jatuh, sehingga dia pun mencoba ulang tanpa harapan lagi. "Bagaimana kalau anggap ini permohonan yang terakhir?" katanya sembari membuang muka ke jendela. "Toh kita akan menghadapi sesuatu yang besar. Mana tahu aku mati setelah ini."

SRAAAAAKKKHHHH!!

Tiba-tiba, Kim mengehentikan mobil lalu memerintahkan semua klona untuk pergi terlebih dahulu. "Tidak perlu menunggu aku," katanya. "Kalian lanjutkan saja perjalanannya. Nanti aku akan menyusul segera."

[😊😊😊]

[Baik, Tuan Kim. Semoga perjalanan Anda tetap menyenangkan]

Sahutan sistem pun membuat Jirayu sedikit heran. Lelaki itu bahkan memastikan Kim benar-benar mau mendengarkan atau tidak, tapi kenyataannya memang iya.

Hanya mereka berdua di tempat itu.

Diantara mobil-mobil yang berlalu. Diantara sorot mercusuar yang tak jauh dari sana. Juga klakson yang berbunyi nyaring ....

Tiiin ... Tiiiiin .... Tiiiiiiiin ....

Jirayu pun mempertanyakan hal yang sejak dulu dia pendam kepada lelaki ini, meski dada sudah serasa terbakar sebelum dia membuka mulut.

"Kupikir, kau sudah tahu apa yang akan kubicarakan," kata Jirayu mengawali. "Soal Tawan, dendammu pada kakakmu, Ken, kemudian kau dan aku saja ...."

"...."

Jirayu memandang langit malam di atas sana. "Sejujurnya, aku selalu meragukan ucapanmu yang terkadang menginginkan kematian, Kim," katanya. "Tak peduli apakah itu untuk Tawan, atau memang kau hanya sedang agak sinting ... aku yakin kau ingin melanjutkan hidup melebihi siapa pun."

"Kau ini jangan sok tahu."

Jirayu malah menggeleng dengan senyuman. "Tidak, aku yakin aku paham soal dirimu," katanya. "Karena bagaimana pun kau masih muda. Umurmu bahkan baru 22, Kim. Dan aku melihat pertumbuhanmu sedari dulu."

Mereka lantas bertatapan dari samping.

"Kau bukanlah orangtuaku."

"Benar," kata Jirayu kalem. "Tapi aku seseorang yang memperhatikanmu melebihi orangtuamu."

Kim pun terbisu diam. Sedikit banyak, reaksi itu pun membuat Jirayu merasa yakin dia harus mengeluarkan isi hati hingga tuntas malam ini.

"Kau menginginkan kebebasan, Kim," kata Jirayu hati-hati. "Kau berharap tidak terikat dari amarah, keramaian, atau bahkan kecemasan ... tapi kau selalu mencari-carinya di tempat yang sulit."

Sebenarnya yang barusan cukup tajam, tapi Kim tampak tidak gentar sedikit pun dengan Jirayu.

"Aku takkan melepaskan Phi Tawan jika itu yang kau maksud saat ini," katanya. "Tidak akan pernah sampai kapan pun, asal kau tahu saja."

"Aku tahu, sangat tahu," kata Jirayu dengan senyum hambarnya. "Kan memang hanya dia di dalam otakmu. Ha ha ha."

"...."

"Jika tidak, mana mungkin aku kesulitan menembus kalian? Tapi aku masih baik-baik saja." Jirayu mungkin berkata begitu, tapi kedua mata lelaki itu memungkirinya.

Kim bisa melihat air mata tipis menggenang, atau bagaimana percikan itu jika terena karena lampu jalanan. Hal yang seharusnya memuakkan, tapi kali ini Jirayu sudah di ambang putus asanya.

"Tidak perlu berbelit-belit, Phi," kata Kim tiba-tiba. "Atau aku mulai tidak betah ingin menghajarmu cepat atau lambat."

Perlahan, kekehan Jirayu pun terdengar perih. "Baiklah, kalau begitu jawab yang jujur ...." katanya. "Dalam seumur hidup kau mengenalku, apa tidak pernah kau memikirkan perasaanku?"

Kim pun refleks mendengus. "Cih ... pertanyaan macam apa itu--"

"Kim, kumohon." Jirayu memaksa Kim untuk menghadapnya kali ini. Dia bahkan meraih pipi lelaki itu, padahal biasanya menahan diri karena takut dibenci. "Lihat aku baik-baik. Dan katakan saja apapun yang kau sembunyikan."

"Brengsek--"

"Aku benar-benar ingin tahu semuanya," kata Jirayu sekali lagi. "Apa sebegitunya kau membenciku hanya karena kesalahan orang lain? Hah? Aku bahkan tidak mengenal siapa gurumu. Dan tidak benar-benar tahu apa yang dia lakukan padamu."

"Phii! Ssshhhh--"

"Aku ingin memperbaikinya, oke? Aku yakin aku bisa karena itu bukan aku," kata Jirayu dengan suara yang teramat lirih.

"Stop it, you motherfucker--"

"Kumohon ...." pinta Jirayu hingga air matanya menetes. "Akan kubantu kau melupakan masa lalumu, Kim. Dan akan kucari caranya. Pasti ... kau pun bisa percaya padaku ...."

Brakh!

KACRAK!

Karena ciuman yang tiba-tiba, Kim pun tergebrak ke jendela meski pistolnya sempat dikokang kuat. Dari depan dada Jirayu, benda itu direbut lalu dilemparkan ke kolong dashboard agar tidak membahayakan. Prakhh! PLAKH! Pertarungan tangan pun sempat sengit dalam beberapa detik. Namun, ketika Jirayu sudah mendempet lelaki itu ke pojok, Kim diam.

Mereka membagi lumatan dan napas selama beberapa saat. Sesekali menggigit, sesekali saling menggurat bibir satu sama lain seperti mangsa.

Hal yang tidak lagi aneh untuk mereka berdua. Sungguh. Karena memang seperti itu yang sering terjadi. Namun, kali ini Kim lebih emosional. Matanya seperti kehilangan cahaya, tapi juga liar karena hal yang tidak Jirayu ketahui.

Apapun itu, Jirayu tidak ingin cepat menyudahi. Dia mengoyak bibir Kim selama yang dia mau, lalu memandangi raut berlipat-lipat lelaki itu.

"Kim ...."

Kim balas memandangnya dengan tatapan yang gelap. "Apa kau sudah puas sekarang?" tanyanya.

Tapi Jirayu tidak menyerah. Dia menangkup kedua pipi Kim selagi diizinkan untuk dekat. Lalu mengecup bibirnya. "Aku masih menunggu jawabanmu ...." katanya tanpa ingin menyinggung.

Ah, ini sungguh kesempatan sulit, kalian tahu? Kim adalah benteng tertebal yang pernah Jirayu tahu, tapi sialnya dia jatuh ke dalam sisi menawan lelaki itu.

"Kenapa kau sendiri tidak pernah merubah dirimu," kata Kim. Dia bahkan tak berkedip meski wajah dan hidung mereka hanya berjarak setipis benang. Kedua matanya menegang tegas, kuat. Dan isinya hanya api ketika Jirayu menelisiknya. ".... selalu bertingkah sok paling paham soal kebebasan, tapi tetap melibatkan aku dalam urusanmu--kau tidak bisa mengadiliku selama dirimu sendiri begitu."

"Oh, dia bicara lebih banyak ...." pikir Jirayu lega. Lelaki itu sampai tidak bisa menahan senyumnya, padahal masih luka-luka karena baru dari tempat sandra. "Ha ha ...." Dia bahkan tertawa. "Tentu saja karena aku ingin membawamu."

"...."

"Kau pikir hanya dirimu yang punya impian, Kim? Aku juga," kata Jirayu menegaskan. "Dengan membangun rumah-rumahan, menghilang dari semua orang, kemudian jalani yang tidak perlu mereka tahu ...."

"...."

".... dan kau satu-satunya yang ingin kuajak ke tempat itu."

Kali ini, Kim tidak memaki perkataan Jirayu, atau memungkirinya. Lelaki itu bahkan memutus kontak mata karena benci dengan kejujuran yang dia lihat, sampai-sampai tidak sanggup untuk menanggung faktanya.

Seketika, tubuh Jirayu pun bergetar karena senang. "Jadi, bagaimana, Kim? Apa aku dapat kesempatan?" tanyanya. "Aku benar-benar ingin mencobanya."

Kim tetap diam saja. Dia memandang orang-orang yang lewat di jalanan lengang, tapi juga membiarkan Jirayu mengecupi punggung tangannya.

Dengan tatapan memuja. Dengan wajah tercerah yang pernah ada. Lalu menghirup aroma khas dari lehernya.

"Hhh ...." Jirayu tak kepalang tanggung. Dia meninggalkan dua tanda isapan merah di sana, mengecupnya satu per satu, lalu mendesak Kim lagi hingga mau lepas dengan sendirinya.

Ssssaaakkhh!

"Aku tidak pernah bilang iya," kata Kim setelah Jirayu kembali memandang wajahnya.

"Tapi aku akan tetap melakukannya," kata Jirayu dengan cengiran. Dia bahkan cukup berani menguliti Kim saat itu. "Kan sudah jelas kalau aku pernah mengambil bagian. Jadi tinggal meneruskannya mulai sekarang."

Kim pun kembali menyalakan mesin mobilnya. "Kalau begitu jangan salahkan aku jika kau mati dengan perasaan seperti itu."

Selama 2 hari berturut-turut, Porche pun mulai mabuk angin kendaran.

Pasalnya, perpindahan tempat lebih lama daripada stay, apalagi mereka langsung kembali ke Cagliari setelah menyelesaikan persoalan akses. Namun, dia tidak mengatakan apapun kepada Laura yang menyetir.

Porche memilih mengutak-atik senjata dan mempelajarinya. Semua untuk mengabaikan gangguan tak beres apapun pada tubuhnya.

KACRAK!!

"Jadi, kita akan menyusun rencana kalau sudah berkumpul?" tanya Porche.

"Ya, karena suamimu tidak becus mengatasi lelaki itu," sahut Laura tanpa menoleh.

Porche tidak mau membela Kinn, walau dalam hati dia tetap kurang suka mendengarnya. "Tapi kita akan tetap menunggu Mossimo bergabung?"

"Tidak perlu," jawab Laura tegas. "Cukup adikmu dan pacarnya saja. Tapi akan bagus kalau Mossimo bisa meringankan beban kita."

"Oh ...." desah Porche. Dia lalu mencoba membidik burung di langit dengan pistolnya, tapi tidak benar-benar membuka jendela. "Tapi aku masih penasaran. Bagaimana caramu bisa tahu kalau Jirayu ada di sana?" tanyanya. "Apalagi memberitahu Kim lokasinya juga."

Laura pun melirik Porche yang sedang mengeluarkan pelurunya lagi dari dalam. Wanita itu mungkin tidak tersenyum, tapi dalam hati amat menikmati pemandangan Porche yang seperti tengah bermain-main.

"Kapan-kapan kuajari kau meng-hack sesuatu," katanya. "Dimulai dari yang ringan, kemudian ke level yang lebih tinggi."

"Apa?"

"Akan ada banyak keuntungan jika yang kau retas berhubungan dengan satelit, persis yang dimiliki adikmu," kata Laura. "Telekomunikasi dan peta bumi seperti dalam genggaman. Sehingga kau bisa melihat apapun yang diinginkan."

Porche pun tercenung membayangkannya.

"Tapi tergantung kemampuanmu juga," kata Laura. "Seseorang bisa melangkah jauh dalam dunia data karena tahu apa tujuannya."

"Oke, terima kasih. Aku menantikannya kalau memang ada kesempatan," kata Porche berusaha ramah.

"Hmph ... selalu ada kesempatan kalau kau nanti jadi milikku," sahut Laura dengan senyum tipisnya.

Porche pun berdebar keras, tapi dia berusaha mengabaikannya. "Oh, iya ... Laura," katanya lagi. Kali ini dia mengalihkan fokusnya dari senjata. "Soal penembakan Allard, aku masih agak tidak mengerti."

"Hm?"

"Kenapa harus dengan cara itu? Dan sebenarnya kau ingin memancing siapa?"

Laura justru terdiam. Sebab ini bukan pertanyaan yang mudah dibicarakan, meski dia tahu apa jawabannya.

"Laura?"

Sang ratu mafia malah mengendikkan bahu. "Yah, kau akan tahu sendiri nantinya." Laura tertawa kecil, padahal pegangannya pada setir seperti ingin meremukkan benda itu. "Karena aku pun masih harus memastikannya."

Bersambung ....

[Mafia VS Nosa Costra Palsu VS pemerintah]

🤡 Hmm ... hmm ... hmm ....

Perlahan-lahan, kita akan kupas dendam pihak Allard ke keluarga Theerapanyakul juga 🔥 Jujur aku udah gak sabar summon Tuan Korn ikutan ke sini. 👀

Btw, ada yang ngeh maksud kalimat terakhir Jirayu?

Terima kasih telah membaca!