Chapter 91 - BAB 81

Kim gemetar karena senyuman Tawan sungguh terlukis. Itu persis saat Tawan masih hidup, meski situasi sekitar mulai begitu ribut.

[PERINGATAN!! PERINGATAN!! Terdeteksi bahaya besar mendekat dalam jarak 3 menit. Siaga S! Siaga S! Siaga S! Mode tempur dalam keadaan non-aktif!]

[⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️]

Seorang klona pun mendekat padanya. "Tuan, Anda yakin kita akan diam saja? Tolong ... kami butuh izin Anda untuk melakukan semuanya."

BOOOOMM!!! BOOOMM!! BOOOM!!

Padahal masih pagi buta. Belum ada pukul 6, tetapi mansion mewah itu sudah dihancurkan dari berbagai sisi. Halaman indahnya kacau. Air mancurnya ambruk oleh tembakan senjata besar. Patung-patungnya tumbang, dan kaca-kaca jendelanya pecah berserakan oleh berondong senapan serbu.

"Tuan? Kami bisa bereskan ini kalau Anda mengizinkannya. Kumohon," pinta si klona sekali lagi. "

Namun, Kim benar-benar tidak mengatakan apapun. Dia menikmati tiap detik kehangatan dalam telapak tangannya, mengecupnya, dan menatap kedua bola mata yang dia rindukan. "Selamat datang kembali," bisiknya. Meski Tawan justru tampak bingung setelahnya.

"Umn?"

Lelaki itu pun menelengkan kepala. Keningnya mengernyit samar, tapi makin dalam begitu menoleh ke sisi kiri.

"Kenapa, Phi?" tanya Kim.

Namun, Tawan hanya menggeleng kecil saat melihat Kinn dan Porche yang duduk berpeluk di lantai. Waktu seolah berhenti sejenak, sebab keduanya sama-sama cemas dan takjub saat balas memandangnya.

"Nn ..." gumam Tawan lagi. Lalu kembali tersenyum kepada Kim seperti bocah.

"Sebentar ...." kata Kim. Dengan ketenangan yang diatur sebaik mungkin, lelaki itu pun mendekat. Dia mengecek napas Tawan dengan telinganya sendiri, degup jantungnya yang normal, kemudian membaca data-data sistem yang melayang di sisi.

Tidak ada yang salah, sebenarnya. Semua kesehatan menunjukkan perbaikan menuju stabil. Namun, meski tampak begitu ramah, kedua mata Tawan memang tidak menunjukkan perasaan akrab pada siapa pun. Pasti ada yang tak beres. Entah apa. Dan kebingungan Kim segera ditepis oleh beberapa klona.

"Maaf, Tuan. Tapi mungkin beliau tidak memiliki memori apapun."

Yang lain juga cepat menimpali. "Otak besar, otak kecil. Semua sempat menunjukkan infertilitas cukup lama, bahkan meski kami sudah menggunakan banyak cara."

Kim pun memandang mereka satu per satu. "Phi Jirayu tidak pernah mengatakan apa-apa?" tanyanya. Karena memang lelaki itulah yang memegang bagian indra, syaraf, dan lain-lain.

"Tidak. Hanya sampai di situ saja. Maaf, kami tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini."

Kim pun memandangi data sekali lagi sebelum memeluk lelaki itu. "Tidak apa, tak masalah. Semua baik-baik saja," katanya. Dan itu membuat kebingungan Tawan semakin besar.

Kedua kelopaknya berkedip-kedip, tampak cemas beberapa saat, tetapi kemudian balas memeluk sosok yang mendekapnya. "Hmmm ...." dia memejamkan mata dengan senyuman yang makin lebar.

Mungkin merasa hangat. Mungkin merasa nyaman. Yang pasti, Porche memilih tidak menghancurkan mereka bersama di tempat itu dengan teriakannya.

"Oh, shit!! Baik kubatalkan persyaratannnya! KIM!! LINDUNGI RUMAH INI SEKARANG JUGA ATAU KUTENDANG BOKONGMU NANTI!"

BOOOM!! BOOOM!! BOOOM!!

BRAKHHH!!

"Oi Porche!" kata Kinn yang refleks menggeser mereka berdua sebelum terciprat pecahan kaca jendela.

Gila!!

Tembakannya sudah sampai ke ruangan ini. Bahkan suara beberapa helikopter kini berseliweran sangat dekat saat Kim memberikan persetujuannya.

"Baiklah. Lakukan perlindungan dan penyerangannya sekarang juga."

[Akses izin diterima! Pasukan telah siap dalam waktu 10 detik!

Mohon berlindung masing-masing untuk serangan pertama!]

[Hitung mundur hingga semuanya diaktifkan]

[....10]

[....9]

[....8]

"Oke, cukup. Aku akan membawa Phi dulu," kata Kim. Lalu segera mencopoti selang-selang di tubuh Tawan, sebelum menggendongnya keluar dari ruangan tersebut.

"Eh?"

BRAKHHH!

Sebab dia tahu, meski meski mereka dikerubuti beribu pasukan, para prajuritnya jelas lebih banyak daripada milik siapa pun.

KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK!

SRAAAAAAAKKKKKKKHHHHHH!!

Halaman luasnya terbelah. Kolam-kolamnya terbalik. Bahkan rumah itu pecah menjadi dua sesuai perpotongannya dalam mode menyerang. Ada ribuan klona yang berlarian dari dalam sana. Mereka semua membawa senjata. Siap pada formasi masing-masing misi. Dan balas menggempur siapapun yang datang mendekat.

Beberapa muntah keluar dengan mobil-mobil anti peluru. Beberapa terbang menggunakan helikopter lengkap senapan serbu. Beberapa juga  bersembunyi di dalam untuk menjaga pusat sistem drone.

Semuanya berhamburan melesat ke langit. Dengan ketinggian yang berbeda, mereka meneror pesawat Mossimo dengan cakar-cakar besi bertali magnetik yang dimuntahkan. Semua mencengkeram dari berbagai arah. Lalu memberangus pesawat tersebut bagaimana hewan buruan.

CRAKH!! CRAKHH!!

CRAKHH! CRAKHH!!

Pesawat oleng, target bidikan  Mossimo pun sampai meleset. Membuat rudal selanjutnya justru mengunci pepohonan dalam kebun daripada pintu depan mansion.

BOOOOOOMMMM!!!!

"WHAT THE FUCK!" maki Mossimo. Dia memukul tombol-tombol di depan matanya. Suara gemeretak juga datang dari kepalan jari-jarinya. Sebab ada peringatan revolver pesawatnya terganggu oleh semua drone yang masih menempel.

"Domenico!! Bereskan mereka semua! Aku tidak mau tahu!" teriak Mossimo, yang sudah murka. Dia pun terbang makin meninggi, membuat pemandangan di bawah menjadi kecil demi mendapatkan lebih banyak ruang menyerang.

Sayang, sebelum Mossimo siap dengan target selanjutnya, dia mendengar beberapa jet tempur juga menembaki dari belakang.

Semuanya sangat berisik. Sebab tak hanya menyerang, mereka juga terbang membalik-balik di udara bagai sedang bermain saja.

Tidak ada pilot di dalam. Semuanya terkendali oleh artificial intelligence dalam sistem yang berpusat pada satelit, dan itu tersembunyi dalam ruang bawah tanah terdalam seorang Kim Theerapanyakul.

BRAKH! BRAKH! BRAKH! BRAKH!

"LEWAT SINI, TUAN!" teriak beberapa klona yang menyemangati di sekitar Kinn. Mulai dari lift hingga ke lorong rahasia yang baru diketahuinya, lelaki itu terus berlari menyusul sang adik yang bergerak cepat jauh di depan. "CEPAT!! Cepat! Cepat! Cepat!!"

Keduanya menggendong lelaki tercinta masing-masing. Terus melesat dengan urat-urat otot yang keluar hanya demi melindungi diri dan napas yang masih berharga.

"KITA SEBENARNYA MAU KEMANA?! BRENGSEK!!"

Sumpah serapah Kinn terus terdengar sepanjang jalan. Keringatnya mengucur dengan napas yang nyaris putus, tetapi lengannya yang membawa Porche tak pernah mengendur.

"Kinn, bisa kau turunkan aku? Tolonglah .. aku bisa--"

"DIAM KAU! BUKANKAH KAU DENGAR SENDIRI PEMULIHANMU ITU LIMA KALI LIPAT LEBIH LAMBAT?!" sela Kinn, yang kali ini tidak bisa dibantah samasekali.

Lagipula, bibir Porche terlampau pucat. Siapa yang percaya dia bisa berlari cepat dalam kondisi seperti ini?

"BELOK KE KIRI, TUAN! TERUS LURUS MENUJU RUANG KELAHIRAN!!" teriak beberapa klona yang menyusul dari belakang. Mereka membawa tubuh Ken di dalam kotak beroda, dan itu benar-benar mirip dengan yang Kinn lihat di dalam "pabrik rahasia sinting" ini.

Oh ... Hahahahahah! Tempat kelahiran ya tadi, katanya? Pantas saja! Apalagi dilihat Kinn di depan ternyata belum ada apa-apanya.

Begitu mereka masuk semakin dalam, beratus-ratus--entah ribu--kotak lain pun berjejer sebagai sarang peneluran futuristik, yang dia sendiri tak pernah tahu bagaimana cara Kim merealisasikannya.

Semuanya berwarna hijau. Semua masih ada isinya. Dan mereka merupakan klona-klona yang belum siap dengan 7 wajah kembar pada tiap desainnya.

BRAKHHHHH!!!

"SHIT! TIDAK BISA!" maki Kim yang mendadak macet di sebuah pintu terkunci.

"Hnngh?" bingung Tawan. Yang memandang kepanikan pada wajahnya, lebih-lebih saat meneriaki seorang klona.

"HEI KAU!! CEPAT KEMARI DAN BAWA DIA! AKU HARUS MEMBUKA AKSESNYA!"

"BAIK!"

Kinn dan Porche pun disalip lari seorang klona lelaki yang segera menggendong Tawan. Tidak ada yang tidak tersengal di dalam sana, lebih-lebih saat Kim berusaha memprogram ulang pintu inti kendali rumahnya, sebelum membukanya dengan mulus.

[SELAMAT DATANG, TUAN KIM THEERAPANYAKUL! KAMI SANGAT MENANTI KEDATANGAN ANDA KEMARI .... 😊]

"CUKUP 7 YANG MASUK KE DALAM!" kata Kim mutlak. "YANG LAIN BERJAGALAH DI LUAR! BERITAHU AKU JIKA SUDAH MATI SEMUA!"

"BAIK!!"

BRAKHHH!!

Kinn dan Porche pun menjadi yang kelima dan berhasil terlindung di ruang inti. Namun, begitu pintu futuristik itu menutup, Porche tetap mencecar sang adik ipar.

"DASAR KEPARAT GILA! AKU HANYA MEMINTA KITA TERLINDUNG! SIAPA BILANG KAU BOLEH MEMBUNUH?!" bentak Porche, padahal lelaki itu baru diturunkan ke sebuah meja kaca entah berisi apa.

"KAU YANG JUSTRU TOLOL! MEREKA MENEMBAKI RUMAHKU! SAMPAI TERJADI APA-APA PADA PHI TAWAN, KAU YANG AKAN KUBANTAI DI SINI!" bentak Kim balik. "Kau pikir aku peduli pada perjanjiannya ...." desis lelaki itu sambil melirik sinis Kinn bahkan sebelum sang mafia mengatakan sesuatu. "Minggir ..." katanya. Lalu menggendong Tawan kembali, demi dibawa ke tempat pembaringan yang lebih nyaman.

Bukan sulap, bukan sihir. Itu memang bangsal kecil tempat Kim beristirahat selama di dalam ruangan ini berhari-hari. Dia akan menetap untuk kelahiran para klona yang baru, lalu mengawal masing-masing desain hingga mereka membuka mata.

Memang tidak heran jika semua klona itu menganggapnya "orangtua", daripada pemimpin yang harus dipatuhi. Semuanya tunduk sebagai prajurit setia, menghamba bagai sahabat dan saudara sendiri, tetapi tak ada yang menentang kata-katanya.

"Hei Mossimo itu bukanlah musuh!" cicit Porche yang sama-sama keras kepala. "Apalagi Vegas! Aku yakin ada Vegas di luar sana, benar kan Kinn?"

Kinn meremas pinggang Porche tanpa sadar. "Aku tidak yakin, tapi bisa jadi juga. Dia sempat kuminta menyusul ke Regio untuk menjemput Laura."

"Dan bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Porche langsung. Dia bahkan tidak peka saat bola mata Kinn melebar, seolah-olah marah, tapi berusaha menyembunyikan perasaannya.

Kinn pun mengepalkan tangan karena ingat percakapan Ken dengan Jirayu di telepon tepat setelah operasi Tawan berhasil. "Jirayu memperlakukannnya tidak layak samasekali," katanya. "Dan pasti karena itu Mossimo sekarang kemari."

"ASSHHH!! Sial!" desah Porche kesal.

Padahal mereka aman di dalam sini. Bahkan tidak mendengar jenis serangan apapun di luar. Namun, batinnya tetap gelisah. Seolah-olah ingin ikut bertempur saja, meski entah sebagai apa.

"Aku akan bicara padanya, oke Porche? Aku akan jelaskan situasinya," kata Kinn berusaha menenangkan Porche. Namun, lelaki itu justru membuang muka. Membuat Kinn marah pada dirinya sendiri, lalu segera menoleh. "KIM! BERI AKU SESUATU UNTUK BICARA PADANYA! Apalah. Aku masih bisa jelaskan situasinya selagi belum terlambat!" katanya.

Namun, Kinn justru tertegun. Sebab Tawan yang tadinya akan dibaringkan, justru memeluk Kim semakin erat. Lelaki itu sepertinya sangat tegang saat melihat wajah marah Kinn. Ada kilat-kilat ketakutan. Seperti ingin berteriak, tapi juga tidak mau pergi.

"Hei, Phi? Phi Tawan? Kau ini sebenarnya kenapa?" tanya Kim.

Walau tidak tahu siapa namanya sendiri, Tawan tahu Kim sedang mengajaknya bicara. "Unn," katanya. Lalu menggeleng, dan bahkan membuang mukanya dari Kinn yang berdiri terpekur di seberang sana.

Bersambung ....

Well, infertilitas dan mati otak beda dengan amnesia 🙂 Itu istilah bener-bener buat orang mati. So, Tawan gak bakal inget lagi masa lalunya. It's a big difference, ok?

But, this is my imagination. Saya ingin dia hidup lagi di FF saya, dan memang itu rencana sejak awalnya. Terima kasih. 🙏

Special Thanks juga buat yang udah marathon Bab 1-80 kurang dari 2 hari. Love dari Author ❤️🔥

~ Ren ~

______________________________________