"Kuharap kau tak masalah jika hanya aku yang menetap ada."
[ Kim Theerapanyakul ]


Setelah Ken menggiring Porche ke dalam ruang operasi, ketegangan suasana pun semakin tinggi. Baik Kinn maupun Kim tak ada yang berbicara. Mereka hanya diam diantara para bodyguard klona yang berjaga, hingga Kim beranjak pergi dari sana.

"Beritahu aku jika sudah berlalu satu jam," kata Kim kepada salah satu pelayan klona-nya. "Atau misal ada hal yang terjadi mendadak. Aku harus siap kapan pun sebagai pengganti."
"Baik, Tuan."
Kim melewati Kinn begitu saja. Dia diikuti beberapa pelayan dan bodyguard, lalu kembali ke kamarnya yang berantakan.
Jujur, Kinn malas berhadapan dengan sosok yang sudah memporak-porandakan setiap aspek kehidupannya. Pekerjaan, keluarga, rumah tangga, kepercayaan, masa lalu, dan sebagainya. Namun, Kim benar-benar jadi sosok tersebut, yang membuatnya tidak mungkin melepaskan begitu saja.


Kinn pun mengikuti langkah Kim, meski tak dipedulikan. Kedua matanya menatap kosong, lebih-lebih saat Kim menghampiri tubuh Tawan yang kondisinya makin memburuk. Bagaimana tidak? Pembusukan yang tadi hanya di ujung jari, kini semakin naik ke atas hinga nyaris mencapai pergelangan tangan. Meskipun begitu, sang adik tetap mengecup telapak tangan Tawan setelah duduk di tepi ranjang lelaki itu.
Dia memejamkan mata. Ketakutan. Terlalu memendam segala emosinya dengan ketenangan palsu diantara para pelayan yang berjuang membersihkan ruangan.
"Tawan seperti tidak pernah berubah," batin Kinn menatap sang kekasih di masa lalu. Karena memang waktu berhenti baginya pada umur 25, tepat sehari setelah lelaki itu berulang tahun. "Dan aku masih sulit menerimanya."

"Kim ...." panggil Kinn. Dia pun mendekat perlahan. "Phi sungguh tidak paham apa yang kau pikirkan, tapi langkahmu itu sudah terlalu jauh."
Kim tidak terlihat mendengarkan ucapan sang kakak kedua. Dia hanya melakukan apa yang perlu. Mondar-mandir jika ingin mengambil kotak-kotak ampulnya. Lalu menyuntik kulit Tawan, meski kini perubahannya tak banyak.
Jujur, Kinn pernah melihat adegan dokter menyuntik orang sakit berkali-kali, meski hanya di dalam film tontonan Thankhun. Namun, baru sekarang dia menemukan sosok yang berjuang atas kematian seseorang.
"Kim, dia takkan kembali, oke? Kau harus paham kapan untuk membiarkan dia pergi--"
"Oh, sepertinya ada yang sedang tidak sadar diri," balas Kim sambil melemparkan tatapan tajam. "Kau sendiri, apa paham waktu itu dia belum pantas pergi? Kau membunuhnya seperti itu. Tanpa bukti benar tentang perbuatannya. Dan sekarang mau ceramah di depan mataku? Kenapa tidak jadi pastur saja di mimbar-mimbar gereja?" Terpancing, kali ini dia menunjuk-nunjuk dada Kinn marah.

Kinn pun gentar meski tubuhnya masih tampak sekokoh benteng. Dia menetap di sana, menyaksikan Kim membanting bekas suntikan, lalu mengambil kain kasa baru dari kotaknya.
Sang adik kini membersihkan luka-luka kecil pada pembusukan di jemari Tawan. Gerakannya begitu telaten, lembut, bahkan lebih hati-hati daripada memperlakukan gitar kesayangannya.
Kapas-kapas pun mulai membalur. Aroma obat-obatan kimia juga membaur. Lalu tempat sampah penuh hanya dalam waktu singkat.

Jujur, Kinn tak pernah melihat Kim merengek atau menangis setelah melewati masa balita. Sebab Kim selalu dikenal sebagai bocah yang keras, berpendirian pada prinsipnya, juga jarang menceritakan hal-hal pribadi. Namun, malam itu ... sebagai kakak dan keluarga, Kinn baru melihat sisi rapuh Kim yang sangat jelas.
Napas yang cukup sering tersesak. Air mata yang berjatuhan tanpa kendali. Dan bahu-bahu yang gemetaran. "Phi, I'm still here ... I stay here ... aku takkan menyerah sampai kau kembali lagi," bisik Kim nyaris tidak terdengar. "Jangan pergi ...."
Jangan pergi seperti apa yang sang adik maksud? Rusak dan termakan oleh bumi di bawah kaki mereka? Kinn pun merasakan kepalanya mulai sakit, tapi fakta Kim terserang panik ada di depan matanya.
Jika mungkin, Kim ingin sekali berkata ... "semua pasti baik-baik saja", atau "suatu hari nanti pasti berlalu," seperti halnya basa-basi yang dikatakan oleh semua orang kala saudaranya merasakan kehilangan. Namun, lidah Kinn terasa terikat. Dia tidak bisa mengatakan hal tepat satu pun, tapi diam saja sepertinya juga keliru.
"Kim, sejak kapan kau memperhatikannya?"


Karena itulah, meski Kinn merasa pertanyaannya begitu konyol, dia tetap ingin bicara kepada sang adik seperti yang Ken sarankan.
"...."
Yah, walaupun Kim seperti tak memedulikannya.
"Apa ketika dia mengajakmu ke aquarium? Apa ketika kalian makan bersama? Atau ketika aku tak ada di rumah," kata Kinn. Dia berusaha menguasai emosinya sendiri, meski rasanya campur aduk melihat sang kekasih masa lalu dipuja sebegitunya oleh lelaki selain dirinya. "Aku kira kau yang waktu itu ... tidak pernah memikirkan hal-hal yang seperti ini."
"...."

Maksud Kinn, yeah ... bagaimana logikanya bocah umur 14 tahun memandang lebih kepada kekasihnya yang sudah 25? Segila-gilanya Kinn saat mendekati seseorang, dia tak pernah begitu kepada seorang pun. Namun, mengadili Kim saat ini tentunya hanya jadi hal tolol. Kinn rasa, dia tahu kenapa Porche memihak sang adik, meski hanya sedikit sekali toleransinya.
"Tapi, jika boleh, Phi juga benar-benar minta maaf," kata Kinn pada akhirnya. "Aku akui waktu itu emosiku di luar kendali, Kim. Aku tidak bermaksud membuatnya--ya, seperti itu. Aku juga kehilangan hingga sulit menemukan seseorang lagi sejak dia pergi."

Kali ini, Kim pun memeluk mayat Tawan di dadanya. Dia menyembunyikan wajahnya di leher lelaki itu, seolah tidak ingin Kinn melihat sisi terendahnya lebih dari beberapa saat lalu. "Menurutku dia tidak pernah pergi ...." katanya.
Membuat Kinn terbisu diam seketika.
"Karena aku mengingatnya dengan sangat baik. Aku menyimpan dia untukku sendiri. Dan aku takkan pernah melepaskannya sampai aku sendiri yang mati," kata Kim. Makin membekukan bulir keringat di kulit sang kakak.
"Kim, Phi benar-benar minta tolong ...."
Bisa kau jangan seperti itu? Aku seperti kehilangan adikku.

"Apa waktu itu kau pernah memberinya kesempatan untuk bicara?" kata Kim retoris. Suaranya kini juga sudah tidak jernih lagi. "Apa kau pernah membiarkan dia membawamu ke tempat yang dia maksud--demi apapun dia bukan pengkhianat, bahkan tak pernah berpikir begitu padamu. Tapi, kenapa kau, memilikinya tanpa memahami hal-hal sepenting ini?"
Luka-luka Kinn yang telah terkubur, kini pun terobek-robek kembali hingga berdarah. "Phi benar-benar minta maaf ...." katanya, karena memang sudah tak sanggup mengeluarkan kalimat lain.
"Aku tidak pernah berusaha mengambilnya darimu selama itu," kata Kim. Tanpa sadar, kini sang adik meremas lengan Tawan hingga siapapun pasti kesulitan memisahkan pelukannya ke tubuh itu. "Karena aku paham dia senang bersamamu, berharap besar padamu, dan hanya melihatmu saja."
"...."
"... Dan, lagi. Apa kau pernah melihat kedua matanya marah pada suatu masalah?" tanya Kim. "Mungkin jengkel, atau kecewa. Tapi setiap dia mengalah dalam hubungan kalian, seseorang takkan mendengar apapun hingga aku yang bertanya. Kau kenapa, Phi? Apa kakakku melupakan janji temu dan anniversary-nya lagi? Aku bisa menggantikanmu untuk memukulnya."

Dada Kinn pun mulai berdebar kencang. Namun, bukan karena amarah, melainkan semua omongan adiknya merupakan kebenaran.
Apa dia sebelumnya sungguh separah itu? Kinn pun tertampar meski sulit menerimanya sekaligus.
"Karena itu, aku takkan pernah mengembalikannya padamu," kata Kim. "Dia milikku, Kinn. Takkan kubiarkan seorang pun menyakitinya apalagi seperti yang kau lakukan dulu."
Aneh tapi nyata, rela tapi juga tidak rela. Kinn pun mengepalkan tangan melihat pemandangan itu, tapi dia merasa tak pantas dalam waktu bersamaan.
CKLEK!
Brakh!
"KIM!" panggil Ken yang mendadak membuka pintu kamar tanpa permisi. Dia tampak berkeringat banyak, mulai luruh dari kegugupan, lalu melepas kacamata operasi yang dipakai. "Bisa bawa Tawan segera? Kita harus lanjutkan hal ini sebelum waktunya semakin larut." (***)
DEG
Kinn pun refleks menoleh ke arah lelaki itu. "Jadi prosedur operasinya berhasil?"
"Ya, tapi butuh waktu lebih lama untuk tranplantasinya," kata Ken. Dia menatap Kim sekali lagi. "CEPAT!"
Seketika itu, dunia Kinn pun terasa berputar. Semua kabur, hilang. Dia terjebak dalam nostalgia waktu yang tak jelas, selagi Kim melewatinya dengan sang lelaki tercinta yang keberadaannya masih selalu diperjuangkan.
Bersambung ....
PENJELASAN:
(***) Proses pengambilan sumsum tulang belakang kurang dari 1 jam. Sementara untuk tranplantasinya bisa mencapai 5 jam. Jika operasi berakhir pada jam 10 lebih, maka Ken akan berada dalam ruang bedah hingga nyaris jam 4 pagi. Pray for his best work, guys. Sometimes we needs mercy.