Chapter 88 - BAB 79

Bab sebelumnya udah di-edit pake gambar, ya. Kali aja ada yang pengen scroll cepet nengok-nengok. Makasih semuanya. 🤗

.

.

.

Kurang dari 10 menit, operasi kedua pun dilaksanakan. Tawan masuk, Porche keluar. Oleh beberapa suster klona, ranjang lelaki itu didorong ke bangsal lain dalam kondisi belum tersadar.

"Porche!"

Kinn pun dipersilahkan ikut, sementara mereka cepat menyingkir. Dia meninggalkan Kim yang dihimbau menunggu di luar, lalu mengecek kondisi sang lelaki tercinta.

"Apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan laporan terbaru?" tanya Kinn kepada dua suster yang masih memasang beberapa alat bantu pernapasan. (*)

(*) Jenisnya ada banyak. Ventilator, Intubasi Imdotrakeal, dan lain-lain. Yang dipakai Porche jenis ventilator.

Bagaimana pun, ini prosedur bedah pertama bagi Porche dalam seumur hidupnya. Tubuh lelaki itu mungkin belum terbiasa, tapi Kinn lega tak ada kekurangan serius.

"Dokter Ken benar, Tuan. Stem sel terbaru mulai terbentuk segera setelah kami menarik donornya keluar," kata suster yang masih bermasker itu.

"Kira-kira lima kali lipat lebih lambat dari klona, tapi kami pastikan semua berjalan baik," timpal suster yang lain.

Kinn pun menggenggam tangan Porche yang terasa dingin. Entah karena AC ruangan atau memang begitu. Yang pasti, Kinn berinisiatif membawanya ke genggaman agar bisa meniupnya semakin hangat. "Hei, jangan membuatku khawatir ...." bisiknya. Lalu duduk menemani di sisi Porche. "Tapi tak masalah kalau mau beristirahat. Kuanggap malam ini kau tidur awal saja, oke Porche?"

Kedua suster pun keluar setelah memberikan senyum dan instruksi penting. Bahwa Kinn bisa memanggil mereka kapan saja jika terjadi hal di luar kendali dengan memencet tombol kecil di sebelah ranjang perawatan.

Mereka juga bilang, besok pagi kondisinya Porche pasti sudah normal kembali. Jadi, Kinn seharusnya bisa langsung ikut beristirahat, tapi sang mafia tetap tidak tenang melakukannya.

"Kau pasti baik-baik saja ... kau pasti akan baik-baik saja ...." kata Kinn seperti merapal mantra. Lelaki itu sampai tidak sadar Kim berada di belakangnya dengan mata datar yang minus emosi samasekali.

"Aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya," kata Kim tiba-tiba. Kinn pun mendengarkan meski tidak merespon.

"Dia itu tidak pintar, keras kepala, naif, dan sering berlaku sembrono," kata Kim sembari mengingat pertama kali dia menggendong Porche yang pernah terkapar. "Tapi setelah melihatnya beberapa kali, kadang aku justru kasihan padanya."

"...."

"Kenapa dengan hati sebaik itu, bisa-bisanya malah bertemu lelaki seperti dirimu? Hahh ... hal yang sama selalu terulang kembali." kata Kim dengan dengusan tawa. "Aku jadi sangat penasaran. Apa dengan tanpa menghancurkannya, justru kau sendiri yang suatu saat akan jadi pelaku? Mungkin ... seharusnya dia juga harus dilindungi darimu."

Kinn pun meletakkan tangan Porche, lalu membenahi selimutnya perlahan. "Terserah jika kau tidak percaya," katanya. Lalu beranjak untuk menghadapi sang adik dengan kendali. "Tapi sudah cukup Tawan saja yang pergi, dia jangan. Aku tidak setolol itu untuk melakukan kesalahan yang sama, Kim."

Mata ke mata. Wajah ke wajah. Kini, Kinn dan Kim pun saling memandang dengan tinggi badan yang nyaris sama.

"Ha ha ... apa benar hanya begitu?" tawa Kim. "Asal kau tahu saja, Kinn. Sejak awal, aku bisa membunuh kalian kapan pun di rumah ini," katanya. Dan itu memang sebuah fakta. "Namun, kau mungkin juga masih harus bersyukur ... karena kelakuan istrimu itu, aku sudah merubah pikiranku berkali-kali."

Kinn hanya diam ketika sang adik semakin mempersempit jarak wajah mereka.

"Dan setelah ide gilanya barusan, anggap saja omonganku merupakan peringatan ringan ...." bisik Kim tepat di sebelah telinga sang kakak. "Karena dalam permainan ini, hanya aku yang boleh mengatur setiap aspek."

"...."

"Mau ampunan atau hukuman, aku yang memegang keduanya. Maka andai seseorang harus turun tangan untuk menyakitinya, itu hanya boleh aku saja," tegas Kim sekali lagi. "Tapi, jika kau melakukannya--maka good luck ...." Seringai pesakitannya mendadak muncul. ".... Berikutnya biar kuajari kau melakukannya dengan cara yang lebih baik secara langsung."

Persis saat kalian di penjaraku sebelum ini.

Meski agak sulit dipahami, Kinn pun mengepalkan tangan begitu tahu isi pikiran sang adik selama menahan Porche di sini. Pantas saja Kim tidak membunuhnya secara langsung meski sudah menangkap Porche pertama kali.

"Baik, terserah saja apa katamu," kata Kinn. "Tapi kujamin tidak akan begitu."

"Bagus ...." kata Kim sambil tersenyum puas. Dia lantas berlalu dengan tepukan beberapa kali di bahu sang kakak. Membawa gelap di balik binar matanya, bahkan setelah menabuh genderang perang tanpa keraguan sedikit pun.

Sejak 8 tahun lalu, Ken sudah tidak menghitung berapa kali membedah tubuh Tawan seperti ini. Dia sudah menyerah. Biarlah sistem yang mencatat semua saja. Karena memang sudah beratus-ratus prosedur ulang.

Dia, Jirayu, dan Kim. Ketiganya bergantian menjalankan tugas untuk merawat, sementara projek klona yang ada terus berlangsung.

Namun, selama ini Ken menilai dirinya juga tidak segila Kim maupun Jirayu. Karena itulah, tiap kali selesai membedah, dia tak berharap apapun selain pencangkokan ulang organ baru telah berhasil. Hanya saja ... malam ini Kena tidak menyangka bahwa tangannya bisa membawa prosesi itu kepada sebuah mukjizat.

"Aku mungkin harus meminta ditembak mati Kim setelah ini ...." desah Ken. "Karana lebih baik bolong dengan satu peluru, daripada ratusan aparat negara ini mencincang tubuhku habis."

Sebab pembusukan pada jari Tawan benar-benar hilang tidak lama setelah sumsumnya telah diganti. Penyaluran darah baru juga berjalan lancar, persis selayaknya busa menyerap air.

Segalanya berjalan melebihi ekspektasi, apalagi kulit Tawan mampu bereaksi dua kali lipat lebih baik setelah ampul-ampul booster yang mempertahankan fungsi organ dalamnya diinjeksikan.

Mau itu disebut sains, sihir, takdir, atau praktik alkimia haram yang berpotensi dihujat dunia--semua tidak penting lagi. Sebab Ken sungguhan melihat bukti ... ketika keringat hangat Tawan mulai merembes di pori-porinya untuk pertama kali.

Deg ....

Tiiiiit ....

Lebih gilanya lagi, sempat ada satu detakan yang muncul pada elektrokardiogram, tapi langsung hilang kembali menjadi garis yang lurus yang panjang.

"Tidak, Tuan Ken. Justru kita harus segera memberitahukan hasilnya segera," kata salah satu klona dengan wajah sumeringah. "Tuan Kim pasti senang melihat hal ini. Beliau tahu kemungkinan itu benar-benar ada!"

Ken pun tertawa lelah. "Ha ha ... ya, benar ...." desahnya. Masih dengan sarung tangan penuh darah, lelaki itu pun mundur dari tubuh Tawan pada jam 4 pagi lebih sedikit. Tubuhnya nyaris limbung sesaat, tapi ketiga klona pendamping di sekitarnya sigap menopang seperti kilat.

Brakhh!

"Tuan Ken!"

"Tuan Ken!"

"Tuan Ken!"

Ken pun memijit keningnya yang pusing, kemudian tersenyum kecil. "Tenang saja, tenang saja .... aku baik, kok. Sudah jangan sebegininya." Dia lantas mengibaskan tangan. "Sekarang beritahu aku tentang waktunya."

"Baik! Sekarang tanggal 17 Juli XXXX, Tuan. Tepat pukul 04:32 pagi," lapor seorang suster. "Apa ada yang perlu Anda tanyakan lagi?"

Dengan mata yang mengerjap sulit, Ken pun menyimak seksama informasi tersebut. "Tidak, itu cukup," katanya. Lalu segera menelpon Jirayu selagi dirinya berjalan keluar dengan langkah tertatih-tatih. "Aku harus tahu kapan kotak kaca itu sampai ke tempat ini ....."

Tuuuuuttt ....

Namun, meski dihubungi beberapa kali, Ken tidak mendapatkan jawaban hingga dia berhadapan dengan Kim yang sudah ada di depan matanya begitu membuka pintu.

CKLEK!

DEG

"Kim?" kaget Ken.

"Untuk Porche, sementara aku sudah mematikan semua perintah penyerangannya," kata Kim.

"Sekarang jelaskan padaku apa yang sudah terjadi di dalam sana, Ken ...."

Bersambung ....

Jadi, kenapa gantian dalam proses operasi. Itu karena Ken, Jirayu, dan Kim punya keahlian yang berbeda saat pembedahan. Ada yang menguasai bidang stem sel, organ, dan enam indra pada tubuh manusia.

ANCAMAN KIM KEPADA KINN

[artinya]

Porche memihak Kim

➡️⬅️

Kim juga memihak rencana Porche, tapi tidak kepada orang-orang di belakangnya.

That's why I called Porche the villain protagonist.