Chapter 82 - BAB 73

"Karena kita adalah keluarga."

[Porche Pacchara Kittisawasd]

"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Kinn. Seketika dia duduk, meski kesulitan karena Porche tetap bertahan di atas tubuhnya. Dari telungkup jadi memangku. Kinn menahan kebas untuk bersandar di dinding retak dan bicara lebih jauh. "Kau ingin membantu dia melakukan sesuatu?"

Porche justru membalik perkataannya. "Apa kau belum tahu mayat Tawan masih ada?"

DEG

"Apa?"

"Seriusan, Kinn? Kau kemari tanpa pernah melihatnya langsung?"

"Aku--tunggu, hah?!" Kinn pun terserang pusing seketika.

Namun masih mending Porche tidak menggamparnya kali ini. Lelaki itu membiarkan sang suami berpikir sejenak. Lalu dia berkata sejelas-jelasnya. "Aku sendiri tidak tahu siapa yang dibakar dalam guci abu Tawan, tapi bisa kujamin kalau itu palsu," terangnya. "Karena Kim masih menjaga mayatnya hingga sekarang. Di peti, dikamar, kadang entah dibawa kemana lagi. Aku lihat dengan mata kepalaku, Kinn. Kau mungkin harus melihatnya juga secepat mungkin."

"...."

"... karena aku yakin, kau yang paling mengenali wajah kekasihmu waktu itu."

Kinn mungkin bisa menganggap siapapun membual, tapi tidak dengan Porche. Apalagi lelaki tercintanya ini sudah begitu jauh melangkah, bahkan sebelum dirinya sampai kemari. Dia hebat. Dia tahu lebih banyak hal darinya, dan Kinn pun berusaha menerima situasi aneh ini.

"Tapi kematian Tawan sudah 8 tahun lalu."

"Aku tidak bilang dia baru mati," bantah Porche. "Tapi mayatnya memang utuh seperti orang sakit yang tertidur. Aku bisa jamin Kim menemukan cara membuat sebuah badan tetap segar dan itu belum diketahui dunia ini."

Hal yang bertentangan dengan sains. Mungkin itu yang disinggung Ken tentang "Adik Anda luar biasa" beberapa jam yang lalu. Apalagi Porche bilang, Kim juga terlihat seperti ingin menghidupkan Tawan kembali. Tentu saja posisi sang adik berbahaya jika kerahasiaan hal ini terungkap. Tidak hanya dirinya dan Laura yang memusuhi, mungkin seluruh dunia akan memburunya atas penelitian tabu tersebut.

"Apa lagi yang kau tahu?" tanya Kinn.

"Dia memang ingin membunuh kita bertiga, Kinn," kata Porcge. "Dan karena kau bilang dia pernah mencincangku, berarti dia serius."

".... "

"Tapi semua itu karena Tawan masih mati," imbuh Porche. "Bagaimana jika aku ada di pihaknya?

__________

Lagipula, siapa yang tak ingin menghidupkan orang-orang tersayang  di dunia ini?

Jawabannya tidak ada.

_________

Kinn sebenarnya mengakui dia memilih Tawan hidup kembali, jika masih diberikan kesempatan untuk meminta maaf atas kesalahan pahaman waktu itu. Hanya saja, apa semua ini masuk akal?!

Otak warasnya sungguh menolak!

"Kinn ...." desah Porche. Dia mengguncang bahu sang suami. "Tidak ada salahnya mencoba. Bukankah dia adikmu? Dan ... saat kau sendiri tahu dia bukan sosok yang lemah, tapi aku sudah cukup melihatnya menangis berkali-kali."

"...."

"Apa kau pernah membayangkan dia begitu sudah 8 tahun?"

"...."

Suara parau Porche akibat baru bangun sungguh mendukung kecemasan hati Kinn. "Kau saja ... yang melihatku berhenti bernapas, meski hanya sebentar sudah membuatmu ingin menghancurkan diri sendiri."

Kinn pun menekan kepalanya yang pusing lagi. "Oke, sebentar. Biarkan aku mencerna semua ini."

Namun, Porche tetap memberondong sang suami sebisa mungkin. "Penelitian ini tidak tabu selama tak ada yang tahu," katanya. "Hanya kita. Kau, aku, dan Kim. Ditambah orang-orangnya."

"Dan Laura," tambah Kinn.

"Ya, terutama Laura. Karena Kim menyabotase sistem pabrik lab AI miliknya. Tapi kita tidak harus saling menghancurkan bila ada kemungkinan," kata Porche terus membujuk. "Dan gunakan saja tubuhku. Tak masalah. Aku takkan mati hanya karena kehilangan darah."

Tanpa sadar, Kinn pun meremas punggung Porche hingga kukunya mengais. "Porche ...."

"Apa kau meragukanku lagi? Kau sudah lihat aku baik-baik saja meski belum makan berminggu-minggu," Porche, dan mendadak dia tertawa meski tidak tahu kenapa. "Walau, ya ... kodrat lapar itu ada. Jadi, aku tidak bercanda soal jajanan--oke, lupakan. Tapi, aku benar-benar tidak mati sampai sekarang."

Bola mata Kinn pun  memanas. "Kita belum tahu sejauh mana ampul tak jelas itu bekerja," katanya. "Apakah kau selamanya begini, atau hanya sementara waktu? Kenapa tidak suruh Ken menyuntik orang terluka lain saja untuk dijadikan sampel--"

"Suamiku, Sayangku, BISA TIDAK JANGAN EGOIS?!" tanya Porche nyaris mencopotkan jantung Kinn Anakinn. Lebih-lebih, Porche menatapnya marah sambil mencakar punggungnya hingga berdarah. Diantara mereka, siapapun tahu, Porche lebih kuat sekarang. "Kita sama-sama tahu ini kesalahan fatal. Tapi, kita juga tahu tujuannya untuk bertanggung jawab. Cukup jangan sampai pihak luar tahu atau penelitian ini digunakan untuk hal yang lain-lain."

Kinn pun terdiam lagi. Hei, sejak kapan Porche jadi begitu pintar? Apakah karena ampul itu juga yang membuat intelegensinya meningkat pesat? Kinn jadi ingin membenturkan kepalanya sendiri ke dinding sel.

"Lagipula, kenapa bertanya "harus aku atau tidak?", bukankah jelas karena memang aku kakak iparnya, kau kakaknya, dan kita semua keluarganya," bantah Porche bertubi-tubi. "Aku ini sudah berjanji padanya ... untuk menghilang jika memang itu yang dia mau--tapi, aku yakin, seseorang sepertinya akan berhenti jika yang dia harapkan kita dorong untuk meraihnya bersama."

Untuk yang terakhir kalinya, Kinn pun berkata pelan. "Tapi ini mustahil, Porche ...." katanya. "Kau pikir tubuh mati hanya persoalan sains saja? Ada nyawa--"

"Tapi kau juga tak bisa melarang aku ...." balas Porche teguh menyela. "Dan kalau kau lupa, kau pun tak pernah benar-benar mampu menahanku selama ini.

"...."

Seketika, memori segar menyerang ingatan Kinn mendadak. Adalah saat Porche tak mampu bangun di ranjang perawatannya, dirinya baru menghajar Faye di penjara kapal, dan tangan lelaki itu digenggamnya sambil menangis.

_________

Porche, jika kau bangun nanti, apapun yang kau mau, aku takkan menahannya lagi.

Kau juga tidak harus mengatakan apa rencanamu, tapi jika memang butuh sesuatu, bilang saja.

Kau sedang ingin bawa kendaraan? Senjata? Pengawal? Uang? Ambil saja, Porche. Bahkan meski itu ada aku.

Tapi tolong, oke? Jangan kembali padaku dalam kondisi mati. (*)

(*) Jika ada yang lupa, ini penggalan kata-kata Kinn di "Bab 47: Aku Telah Menyerah"

_________

Dan ternyata, lelaki itu membutuhkan kepercayaannya lebih dari semua yang Kinn tawarkan.

"Baiklah," kata Kinn pada akhirnya. Walau rasa hati benar-benar tak ingin mengatakan kata tersebut. Dia membelai belakang kepala Proche perlahan, meremasnya, lalu mengecup bibir lelaki itu. "Tapi, jangan pernah kembali padaku dalam kondisi mati."

Tanpa menjawab, Porche langsung memejamkan mata.

"Berjanjilah padaku, Porche ...."

Stormy Duomo, Ortigia, Sisilia.

Sudah 4 jam Pete menunggu jemputan bodyguard Kinn ke tempatnya sembunyi. Kini, hari semakin sore dan matahari terbenam awal karena mendung. Lelaki itu pun mondar-mandir beberapa kali, lalu duduk lagi di kursi katedral. Maunya sih berdoa lebih lama di sana, tetapi Pete was-was juga kalau ada seseorang yang datang.

"Aku tidak boleh tertangkap lagi," gumam Pete. Dia bahkan menahan diri untuk tidak makan, meski tergoda beberapa kali untuk mencicip jajanan sekitar.

Dengan apa? Tentu saja mencuri. Pete memang orang yang jujur, dan dia menjujung tinggi hal itu, tetapi memilih tidak jika untuk bertahan hidup. Sayangnya, titah Kinn lebih mutlak di dadanya daripada apapun.  Jika sang mafia ingin dia menunggu saja, maka Pete akan melakukannya tanpa berpikir dua kali.

"Ahhh ... ya Tuhan ...." desah Pete untuk kesekian kali. Dia pun memandang kursi-kursi di halaman katedral yang teronggok sia-sia. Ingin sekali dia jalan-jalan, tapi rasanya tak bisa pergi. Jangan sampai aku lalai sedetik saja ....

DEG

"Eh? Vegas?"

Tiba-tiba, kedua mata Pete pun terbuka lebar. Sebab ada sosok sang kekasih bersama beberapa bawahannya yang berjalan melintas di lorong sempit.

Mereka tampak terburu-buru, berjalan selaiknya serigala sedang menyusur target, bahkan membawa senjata terang-terangan.

Deg ... deg ... deg ... deg ....

"Aku yakin itu benar-benar Vegas!" Refleks, Pete pun berdiri dari kursinya, lalu berlari turun dari lantai dua untuk menyusul jejak-jejak sang kekasih hati.

Bersambung ....