~POJOK REVIEWERS~





___________________________________________________

"Terbiasa hidup dalam permainan membuatku berpikir bahwa takdir hanyalah sampah. Namun, sejak kau menetap ada, aku percaya tidak semua hal datang dengan tanpa arti."
[Kinn Anakinn Theerapanyakul]

Setelah pelukan terlepas, Kinn menilik kulit Porche baik-baik. Padahal tadi robek di sana-sini, tetapi kini menutup satu per satu dengan sendiri nya. "Porche, sebentar ...." katanya. Lalu membuka salah satu ikatan kain yang sudah bersimbah darah.
"Apa?"
Kinn tertegun karena benar-benar tidak ada luka. Hanya saja, raut pucat Porche tidak bisa dipungkiri. Lelaki itu kehilangan terlalu banyak hemoglobin, tapi anehnya hanya terlihat bingung. "Kau lupa dengan kejadian beberapa saat lalu?"
Porche memandang tangannya sendiri, "Tidak, tentu saja," katanya. "Tapi, memang aku kenapa? Perasaan tadi hanya tidur."

"Tidur?" Kinn nyaris tidak percaya. Dia bahkan mengguncang Porche, lalu menunjukkan robekan baju Ken di depan wajahnya. "Kau pikir ini tipuan? Lihat badanmu penuh ikatan kain!"
"Oh ...."
Kinn pun melepaskan semuanya tidak sabaran. Kening Porche sampai berkerut-kerut sebelum menampik Kinn jengkel. "Ayolah, cukup, Kinn," katanya. "Aku ini tidak apa-apa! Bukankah Kim tadi--" Suara Porche terpenggal dengan sendirinya saat menyadari sesuatu. Situasi mereka. Tempat mereka. Dan Kinn yang masih babak belur di beberapa tempat. "Kinn?"
Kinn membiarkan Porche mengambil tangannya yang memar. Kebanyakan menggila barusan membuat bagian itu memar hitam karena darah mati di dalamnya. "Oh, ini bukan apa-apa," katanya dengan senyuman tipis. Tapi, Porche justru terlihat ingin menangis.
"Tunggu--aku ... apa baru melewatkan sesuatu?"
Kinn segera menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Samasekali bukan hal penting." Dia tidak bisa membiarkan Porche syok, lebih-lebih jeruji besi diantara mereka sudah terbuka lebar seukuran dirinya hingga sanggup berhadapan dengan Porche. "Kemari. Bukankah kau datang karena ingin menemukanku?"
"Hah?"
Kinn langsung menarik Porche dalam pelukannya lagi. Persetan lah. Ini bukan saatnya bicara. "Aku akan jelaskan kalau nanti kita keluar," katanya sambil menepuk-nepuk punggung Porche. "Yang terpenting sekarang adalah kau baik-baik saja."

Meski agak tak mengerti, Porche tetap ikut bagaimana sang suami berlaku. Tapi, sumpah ingatan Porche hanya sampai Kim menyeretnya turun, mereka cekcok sebentar, lalu dia bangun karena Kinn berisik--
"Aku akan memukulmu kalau sampai tidak jujur," ancam Porche. "Kupastikan nanti kutagih sekali lagi."
"Hmm ...." Sahut Kinn sambil menghirup bahu Porche sayang. Tak bisa dia membayangkan sosok ini benar-benar pergi. Tak bisa pula dia melihat sang adik bungsu jadi segelap itu karena dirinya. "Terima kasih telah bertahan sampai sekarang," katanya. Lalu meraih pipi Porche perlahan.
"Huh? Apa sih ... huahaha ...." tawa Porche tak tahan. "Kenapa mendadak mellow sekali? Apa kau benar-benar merindukanku?"
"Hmm ...."
"Tapi aku merindukan makanan," canda Porche. "Jadi, maaf saja. Kalau nanti keluar, yang kulakukan tetap mengisi perut."

"Hmm ... lakukan saja apa yang kau suka," kata Kinn. "Makan, tidur, main-main ... yang penting tetap bernapas."
"Huek, jijik," tawa Porche semakin keras. "Aku ini masih minat les bahasa. Susah sekali jalan-jalan kalau tidak paham."
"Oh, ya?"
"Yes, karena mau kencing saja harus aku tahan!"
"Ha ha ha ...."
"Kau percaya kalau aku mengencingi Venice River?" tanya Porche retoris. "Belum sampai sih, tapi hampir. Lagipula hasrat kencingku hilang waktu lihat foto-fotoku dipajang. Rasanya aneh seperti punya penggemar rahasia."
"Ha ha ha ...."

"Hei, kau tertawa. Apa kau juga melihatnya?"
Bodoh, tentu saja iya. Tapi, Fokus Kinn tidak pada ocehan Porche. Melainkan seberapa ceria dia setelah mereka bertemu, seolah-olah hal berat yang mereka lewati selama ini tidak buruk samasekali. Dan tak ada yang salah meskipun pertengkaran mereka terjadi berkali-kali.
Tanpa permisi, Kinn pun mencuri kecupan di bibir Porche beberapa kali, meski membuat kata-kata lelaki itu sering berhenti.
"--tadinya aku ingin mampir ke Galerria Vik--umn ... hei, Kinn? Seriusan--nnh ... tapi, tidak jadi karena bangunannya ternyata jauh dari Venezi--woi! Woi! Woi!" bentak Porche, tapi dia sudah didorong ke di dinding.
BRAKH!!

Ciuman Kinn pun semakin ganas. Lelaki itu langsung memasukkan lidahnya ke dalam mulut Porche sambil mendempet. Tak hanya bibir yang menghisap kuat, hidungnya pun menghirup napas Porche yang nyata berhembus. Hal yang sempat membuatnya panik setengah mati, tapi kini bisa masuk ke relung parunya.
"Nnhhh ...."
Porche sebenarnya bisa saja meremukkan tangan Kinn seperti kepada jeruji besi. Namun, sebelum dia mendorong, Kinn sudah menyatukan jari-jemari mereka diantara sela yang hangat.
Kinn hanya ingin membuat Porche fokus padanya saja, tapi juga tidak menggunakan gerakan kasar seperti biasa. Malahan remasannya melembut. Dan setelah keinginan ribut Porche hilang, Kinn memandang lekat kedua mata cantiknya.
"Bisa lupakan hal lain sebentar?" pinta Kinn. "Aku ini hampir kehilanganmu."

Meski tak benar-benar mengerti, Porche tahu darah yang meluber di sekitar bukanlah milik Kinn. Dia pun mengatupkan bibir, kemudian melirik cincin pernikahan mereka yang sudah meleyot di jari lelaki itu.
"Oke, maaf."
"Bukan, sebenarnya tidak perlu--"
"Tapi aku berikan cincinku kepada Laura," kata Porche. "Memangnya kau tidak masalah?"
Bohong jika tidak masalah. Namun, Kinn juga mengerti Porche tak mungkin melakukannya tanpa alasan. "Memang kau menyukainya?" tanyanya. "Jika iya, itu baru masalah untukku."

Porche diam sebentar. "Kau bercanda?" Dia menjambak kerah Kinn karena kesal. "Aku mau menikah karena memang hanya milikmu. Kalau tidak, buat apa? Buang-buang waktu saja."
Meski matanya masih berair, Kinn pun tertawa kecil. "Baiklah, kalau begitu masalah selesai," katanya. "Aku tidak akan bertanya lagi kenapa. Karena persoalan cincin itu mudah--kecuali, kau sendiri yang tidak bisa."
Porche mengepalkan tangan. "Aku sebenarnya suka dengan cincin itu," katanya. "Dan kalau pun kau ingin menggantikannya, yang lama tetap harus disimpan."
"...."
"Kau pikir perasaanku ini main-main, Kinn?"
"Bukan, tapi memang harus bagaimana?" tanya Kinn. "Kau ingin mengambilnya lagi dari Laura?"
Giliran Porche yang diam bisu. "...."

Kinn pun mengambil tangan Porche. Lalu mengecupnya dengan semua rasa memuja di dalam dada. "Baik, kita benar-benar tidak boleh membicarakannya dulu. Setidaknya untuk sementara waktu."
Tatapan Porche salah fokus lagi dengan jari-jari Kinn yang membiru. "Apa rasanya sakit?" tanyanya. "Mereka menghajarmu sampai seperti itu ...."
Kinn malah mendengus tertawa. "Aku sudah bilang ini hal kecil," katanya. Karena yang kau alami tadi lebih parah dariku.

"Seriusan?" tanyanya cemas. Manik hitam Porche sampai tak bisa dari sana sedetik pun.
"Hm," kata Kinn. "Walau pasti sulit dipakai merenggangkanmu di bawah sana." Seringainya keluar, tetapi Porche justru menggampar kepalanya.
PLAKH!
"Shiaaa! Kinn!" Tatapan mata Porche terlihat jengkel.
"Hei, hei ...."
Suara Porche memberat karena emosi menanjak tinggi. "Kau begitu pasti karena menyusul aku," katanya. "Tapi, sulit sekali melihatmu sekacau ini ...."
"Hei, Porche--"
"Kim baru saja mengapakanmu, hah?" tanya Porche menggebu-gebu. "Awas saja sampai kau mati, aku pasti mencincang mayatnya."

Kinn pun sulit memberikan reaksi yang sesuai. Demi apa, hah? Bukankah seharusnya itu kata-katanya?!
"Baik, baik. Pertama kau tenanglah dulu," kata Kinn. Meskipun kesulitan menangani situasi, tetapi dirinya senang. Sebab perilaku ajaib Porche kini menguapkan segala kegelisahannya mengenai kecemburuan. Sayang, Porche malah semakin jengkel.
BRAKH!
"Tidak mau!"
Porche mendorong Kinn kasar. Sang suami sampai tergebrak ke tembok dan lupa daratan sebentar. Tahu-tahu, Porche sudah mematuk bibirnya seperti ular, dan secepat itu juga dia membuka celana.
"Porche?!"
"TIDAK BISA MERENGGANGKAN?! BIAR KULAKUKAN SENDIRI!!" kata Porche. Lelaki itu memberikan pemandangan indah tiba-tiba, bahkan tidak ragu mendempet Kinn dengan satu lutut naik ke dinding. "Buka mulut!" perintahnya seperti jagoan.
Kinn pun menurutinya, walau sempat akan tersedak. Dia melingkari pinggul ramping Porche lembut, sekedar menjaganya agar tidak oleng setalah membasahi jari dengan saliva miliknya.
"Tunggu, wait--kau serius ingin melakukannya di sini?" tanya Kinn setelah Porche benar-benar mencelupkan dua jarinya sendiri ke dalam.

"Kenapa? Bukankah kau yang mengajariku seks sembarangan?" tuding Porche. "Tidak ingat apa setelah resepsi kita malah di gazebo lautan."
DEG
Kinn batal protes meski penjara ini sangatlah kotor untuk dipakai bercinta. Sebab Porche sudah membungkamnya dengan lumatan brutal, yang membuatnya sampai lupa bagaimana cara mendominasi. Kinn membiarkan Porche memeloroti celananya secepat angin. Meremas penisnya dengan gerakan tergesa. Lalu mengocoknya seperti tengah membuat koktail.
Astaga, dia ini ... tidak sabaran sekali!! Jangan bilang salah satu efek ampulnya--
"Apapun yang kau pikirkan, hentikan," kata Porche geram. "Karena bagaimanapun situasinya, kau tidak boleh meninggalkanku."
Hah?!
"Hanya aku yang boleh pergi, kau tidak," tegas Porche dengan nada tegasnya. "Bukankah sepantasnya yang berbuat harus bertanggung jawab? Kau yang membawaku pulang untuk bersamamu."
BRAKH!!
Terlalu syok lebih dari yang tadi, Kinn sampai menjelma jadi batang kayu saat Porche memasukkan penis sang suami ke dalam tubuhnya sendiri. "Aahhhh ...." desahnya sambil mendongak. Padahal, Porche terlihat cukup lemas beberapa saat lalu. Dapat tenaga darimana dia?
Bersambung ....