Chereads / SINS OF BARTENDER [MileApo Action] / Chapter 31 - BAB 27: SIAPA PUN MEREKA SINTING

Chapter 31 - BAB 27: SIAPA PUN MEREKA SINTING

Porche memang tak tahu kemana dia akan menuju, tetapi siapapun itu, jika memang seberani ini mengerjainya, Porche akan mengejarnya hingga ke ujung dunia.

"Sinting! Sinting!" maki Porche sambil memukul setir yang dia pakai. Dia membelah malam dengan lampu mobil yang rusak sebelah entah kenapa, lalu menyusuri jalanan tebing yang sepi.

Batas pinggir jalur itu benar-benar mengerikkan. Tingginya hanya sebatas lutut, dan Porche bisa terjun bebas kapan saja bila dia tidak waspada. Namun, percayalah. Selain bertarung, dahulu dia paling ahli mengendalikan mobil meski tak memiliki kartu izin mengemudi.

Tentu saja karena balapan liar! Dan itu pun untuk memenangkan wanita cantik semalam penuh.

Dari kejauhan, deburan ombak terdengar begitu kacau. Porche bisa merasakan kulit wajahnya menebal karena terpaan angin yang beku, padahal hanya menerobos kaca bolong-bolong bekas peluru.

Ah, Kinn. Suaminya mungkin sudah menggampar salah satu bawahannya sekarang. Yang menuduh lengah menjaganya lah, yang tidak melaporkan situasi lah, yang ... lain-lain lah.

Intinya Porche tak mau pulang, sebelum mendapatkan jawaban. Urusan menghadapi Kinn belakangan. Porche hanya harus buktikan dia kembali lagi dengan utuh sehingga tak perlu dikekang lagi di lain hari.

SRAAAAAAAAAKHHHH!!

"FUCK!" teriak Porche saat ada rusa yang lewat mendadak di depannya. Dia mengerem mendadak dan nyaris terbentur kaca depan bila saja tak hati-hati.

Menjengkelkannya lagi, rusa-rusa itu tidak sendiri. Ada dua atau tiga ekor, dan mereka berlompatan di perlintasan jalan sebelum pergi dengan kibasan ekor yang seolah mengejek Porche. "Hei, kau menyedihkan sekali, Bung. Tidak tahu apapun soal masalah suamimu, dan tidak banyak dilibatkan olehnya. Kau dianggap lemah, huh?'

"Sial ...." maki Porche tak habis-habis. Dia meremas keningnya yang berkeringat, kesal sendiri, lalu terdiam saat mendengarkan tangis bayi tak jauh dari tempat itu.

"Oeeee!! Oeeeeeeeee!! Oeeeeeeeeeeee!!"

Suaranya begitu nyaring dan jauh. Kadang menggaung, kadang teredam, kadang juga terisak-isak.

Tanpa pikir panjang, Porche pun segera turun dan melompati jalur tebing berbahaya hanya demi menuju ke sumber suara.

Dia yakin itu suara bayi asli! Beda lagi kalau tangisan wanita, mungkin dia sudah pergi dari sana karena menyangka setan lah yang sedang menghantuinya.

"Oeeeeee!! Oeeeeee!! Oeeeeeeee!!"

Porche pun mengeratkan jaketnya tanpa sadar. Sebab semakin lama, langkah kakinya kini masuk ke jalur hutan. Memang benar tidak dalam, tetapi cukup mengerikkan bila kau sendirian di sana dengan pokok-pokok hutan yang tinggi.

Sinar bulan purnama sedang sangat penuh waktu itu. Cahayanya menerobos daun-daun berbokong lebar, membuat Porche makin merinding dengan kesenyapan malam itu hingga dia menemukan sesuatu ....

.... hal yang sungguhan membuat perutnya keram karena wujud yang ditemui selain bayi benar-benar wanita. Atau lebih tepatnya seorang pelayan yang dia kenali bernama Ran, masih menggunakan baju santai ala ibu-ibu di rumah, dan mayatnya tergantung di salah satu pohon dengan pokok paling kukuh diantara yang lain.

"ARRRRRRRRRRGGGGGHHH!"

BRUGH!

Porche pun sempat tersandung kakinya sendiri dan jatuh. Dia menatap mayat itu dengan jantung berdebar gila, nyaris pergi dengan menendangi serakan daun, tetapi batal karena melihat bayinya.

PLARRR!!

Porche pun menampar pipinya sendiri agar tersadar. "TENANG, PORCHE! ITU BENAR-BENAR ORANG MATI!" teriaknya panik.

"Yang benar saja ...."

Glek!

Diam-diam, Porche menahan rasa merinding di sekujur tubuhnya karena mayat itu masih benar-benar segar. Dengan wajah pucat yang terpejam, rambut panjang sengkarut acak-acakan bekas dijambak, dan gunting menancap di bagian payudaranya.

Darah juga menetes-netes dari lubang di sana.

Jatuh.

Tepat ke sebuah buntalan bayi yang ditaruh di dalam box kecil hingga menciprati bedong dan wajah cantiknya.

Oh, jangan lupa. Ada sebuah kertas yang ditinggalkan di sisi bayi tersebut. Tulisannya menggunakan darah dan bunyinya adalah seperti ini:

***

Hai, Tampan. Sudah temukan harta karunmu? Pintar. Tapi, u-um ... ini hanyalah awal. Kau harus ikut permainanku selanjutnya agar lebih seru, setuju?

*

**

"Gila, sinting ....." kata Porche setelah mengambil bayi itu ke pelukannya. "Siapa pun yang melakukan ini sudah tidak waras!" katanya, lalu segera pergi dari sana. Namun, rasa langkahnya berat sekali. Apalagi bayi itu menjerit nyaring. Makin lama, suaranya makin membuat hutan itu pecah. Porche juga sudah menahan diri untuk tak menoleh ke belakang, tetapi dia tak bisa.

Bagaimana bila mayat itu mengejar?!

Bagaimana bila mayat itu menjadi hantu?!

Bagaimana bila mayat itu mendadak ada di depan mukanya?!

JDUGH!

"ARRRRRHHHGGHH!!"

Sekali lagi, Porche pun terguling di antara semak belukar hingga tidak tahu wilayah curamnya. Dia nyaris saja terbentur batu yang besar, tetapi tidak jadi karena ada sebuah kelokan.

Mungkin, karena di pelukannya merupakan nyawa bayi yang bersih, Porche pun selamat meski badannya babab belur di sana-sini.

"Hahhh ... hahh ... hahh ... hahh ...."

"Oeeeeeee!! Oeeeeeeeee!! Oeeeeee!!"

Deg ... deg ... deg ... deg ....

Diantara suara napas, tangis bayi, dan debar jantungnya sendiri, Porche lantas menatap langit-langit hutan yang dipenuhi bintang. Dia lelah, dia pusing. Dia tidak bisa peduli dengan tangisan bayi lagi kecuali terus memeluk saja.

"Kinn ... Kinn ...." sebutnya di dalam hati, tapi tidak ada siapa pun yang datang. Porche pun memejamkan kedua matanya tanpa sadar, lalu bangun saat pagi sudah tiba.

.... dan pesing.

Porche mengernyitkan hidung dan keningnya sekaligus saat menoleh ke samping. Sebab bayi perempuan itu sudah tidur selelap dirinya, tetapi penuh aroma yang memusingkan.

"Astaga ... shit!"

Seketika, Porche lupa dengan kengerian semalam karena makhluk mungil di sisinya lebih ngeri daripada apapun.

"Ya ampun kau ini bukan malaikat! Tapi monster! Monster kecil yang menjajahku!" omel Porche dalam hati.

Meski malas-malasan, ini tetap jadi yang pertama dalam seumur hidup Porche memandikan seorang bayi. Porchay saja tidak pernah dia beginikan. Sebab masih ada paman dan bibinya yang dulu membantu mengurus, hingga adiknya itu besar dan mandiri.

Untung ada sungai tidak jauh dari sana, dan bayi itu lepas dari pelukannya semalam. Coba kalau masih di atas dadanya? Bisa kena ompol semua sekarang!! HAH!

"Menangis!! Nangis saja kau aku tidak peduli!" bentak Porche kesal. Meskipun begitu, dia tetap telaten membasuh badan bayi itu dengan air, tetapi segera membalut badan rapuh itu dengan kaus dan jaketnya sendiri.

OKE! AKU TELANJANG DADA! TAK MASALAH! Jangan sampai si bayi saja mati karena hawa di hutan! Jangan! Salah-salah Porche malah jadi pembunuh bayi daripada penyelamatnya.

"Fiuh ...." kata Porche. Dia mengusap kening yang berkeringat setelah meminumkan beberapa tetes air sumber ke mulut bayi itu, lalu menidurkannya ke rerumputan. Lama, memang. Bayi itu sempat menangis hingga membuat urat-urat lehernya muncul, tetapi dengan tepukan bokong sejam lebih, akhirnya bisa tidur juga kembali.

Dan untung, suhu tubuhnya juga mulai hangat karena mentari mulai naik tinggi. Giliran Porche lah yang bingung. Dia lapar, lelah, pegal, dan ingin segera keluar tapi merasa dirinya sendiri kotor sekali. Maka meski agak memalukan, Porche pun berendam sebentar di sungai itu sebelum kembali bercelana lengkap.

"Ayah, Ibu ... kau pasti takkan percaya apa yang kulakukan hari ini," kata Porche sembari menatap langit biru. Dia bertelakan pinggang, bernapas lega, tetapi juga miris dengan bekas luka-luka di tubuh sendiri.

Hei, apa Kinn marah lagi kalau melihatnya begini? Apalagi keningnya ada yang tergores hingga memanjang ke pelipis. Dan kalau dia buruk rupa, mungkin lelaki itu tidak akan lagi menyukainya.

"Ha ha ... ha ha ...." tawa Porche sambil memandang bayi yang tertidur pulas itu. "Aku bahkan tidak mengenalmu, kau bukan darah dagingku, dan lokasimu juga sempat tidak jelas. Tapi, kenapa aku datang kemari hanya demi kau?"

Bibir kemerahan bayi itu terbuka, tetapi berkuluman ketika Porche mendekatinya. Lelaki itu pun duduk di sebelah si bayi, lalu menekan-nekan pipi hangatnya yang gembul.

Aneh sekali, memang. Padahal malam yang mereka lewati bersama cukup berat, tetapi bayi ini tahan banting. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda sakit sedikit pun, bahkan hanya sekedar masuk angin.

"Jadi, kau ini benar-benar diberkati, huh?" gumam Porche. "Tidak sepertiku yang ditinju sekali di dada, langsung punya luka dalam."

"Mmmrrhhhmmhh ...." geram si bayi tiba-tiba.

"Oiiiii! Oiiiii! Jangan bangun, oke? Sssshhh ... ssshhh ...." kata Porche panik. Dia pun langsung menepuki bokong bayi itu lagi hingga geramannya berhenti. "Ckckck. Aku bisa repot kalau kau membuka mata. Cih ...." katanya.

Tak mau lebih random di tempat itu, Porche pun segera pergi. Sebab lama-lama ada rusa lain yang terlihat di sekitar sana. Salah-salah bukan hanya mayat, nanti ada singa atau bintang liar lain yang datang.

"Oke, Nak bocil. Kita pergi," kata Porche. Dia menggendong buntalan jaket itu di dadanya yang telanjang, tetapi kaku sekali seperti menenteng barang. "Jadi diam, tetap tutup mata dan mulutmu seperti itu. Asal tidak tutup usia saja. Paham kau?"

Ajaibnya, seperti paham ucapan Porche, bayi itu pun menyurukkan wajah ke dada bidangnya. Dia seperti mencari susu, tetapi juga diam saat tidak mendapatkannya.

"Oh, ya Tuhan, tolong ....." gumam Porche tak habis pikir. Dia pun membekap bibir sendiri, karena ini pertama kalinya telinganya memerah akibat keimutan seorang bayi. Hei, bahkan luka-luka di tubuhnya kini tidak lagi terasa. SIALAN!

"Tuan Porche?!"

DEG!

Porche pun mendongakkkan kepala saat mendengar suara Big tidak jauh dari sana. Demi apapun! Dia baru saja akan pulang sendiri dengan menggunakan mobil Kew! Astaga!

"Hah? Big?"

Dari bayi ke Porche, Big tampak tidak menyangka dengan pemandangan di depan matanya. Namun, setelah otaknya kembali bisa memproses, dia pun berteriak ke belakang dimana para bodyguard bawahannya tersebar.

"SEMUANYA!! BERHENTI MELAKUKAN PENCARIAN! TUAN PORCHE ADA DI SINI!" teriak Big.

"IYAKAH?! MANA?!" sahut yang lain.

"Tunggu ... tunggu ... tunggu ... jangan buat pengumuman!" bentak Porche. Tapi tangis bayi di pelukannya lebih cepat daripada bayangan hingga Big dan para bodyguard segera menyesali tindakan gaduhnya.

"OEEEEEEEE!! OEEEEEEEEEE!! OEEEEEEEE!!"

Sekali lagi, lengkingan suara bayi itu pun memecah hutan dengan perkasanya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Gaduh, hidup, penuh hasrat, dan kegilaan. Suasana di hutan itu benar-benar terpampang nyata di layar laptop Laura saat menyantap puding di kamarnya.

Wanita itu menonton siaran CCTV-nya seperti menikmati film. Bibir merahnya tersenyum, kekehannya terdengar, dan dia sempat meraba wajah tampan Porche di layar sebelum pergi.

"Hhh ... hhh ... kali ini aku tidak salah pilih," gumam Laura pelan. Seringainya muncul, dan juga tertawa seperti tengah kasmaran. "Dia memang calon ayah yang baik suatu hari nanti."

Detik berikutnya, rabaan jemarinya pun berganti. Jadi jilatan di layar, kecupan bibir yang tidak wajar, dan dia menutup benda itu sebelum Mossimo masuk ke dalam kamarnya.

"Hi, Babe ...." sapa Mossimo, yang baru pulang dari dinas ilegalnya di Iran.

"Hiii ...." sapa Laura balik. Wanita itu pun turun dari kursinya, lalu menghampiri Mossimo meski hanya menggunakan dalaman dan kemeja putih. Dia memeluk sang suami yang terlihat lelah, kemudian menarik dasinya ke ranjang. "Bagaimana kabarmu, Sayang? Lelah?"

"Hmm ...."

Laura tertawa saat Mosssimo mendorongnya ke ranjang, lalu mencumbui buah dadanya. "Ahahaha ...."

"Ya, tapi aku ingin memakanmu pagi ini."

"Oh, ya? Sure," kata Laura dengan kerlingan mata menggoda. "Kemarilah. C'mon, Babe."