Baru dilihat sekilas saja sudah ketahuan, Time dan Tay merupakan pasangan mahal dari dunia yang sama. Porche sempat merasa aneh saat bertatapan dengan mereka, tetapi dia malah terkejut. Sebab tidak hanya ramah, Time dan Tay bahkan langsung memeluknya bergantian seperti saudara.
"Hm, aku Porche."
"Kalau begitu, kemarilah."
Beda dengan Time yang diam sambil tersenyum, Tay membisikinya dengan nada yang gemas. "Good job, Boy. Kau membawa hidup saudaraku kembali."
Kening Porche pun dipenuhi tanda tanya.
Tay pun menepuk punggungnya sebelum melepas pelukan mereka. "Aku tidak pernah melihat Kinn secerah ini sejak kematian Tawan," katanya pelan. "Jadi, terima kasih."
"Ah, ya." Porche tidak tahu harus menyahut seperti apa lagi.
"Sekarang cepat ke sana dan sapa teman kami yang lain," kata Tay. "Aku dan Time akan pikirkan konsep pemotretan pre-wed kalian dulu."
Porche pun mengikuti arahan Tay. Dia tak merasa itu aneh, malahan sebaliknya. Seolah-olah orang di sekitar Kinn sungguhan menyayangi kekasihnya, begitu pun dirinya.
"Di mata mereka, apa aku seperti seperti pengganti Tawan?" pikir Porche.
Hmm, pasti Kinn memang berbeda pada hari-hari gelapnya. Tapi lihat sang kekasoh sekarang? Senyum yang menurut Porche nyaris tidak mungkin dimiliki Kinn pada hari itu, kini justru ditunjukkan kepada mereka semua.
"Orang-orang ini adalah circle-ku," kata Kinn diantara kesibukannya menyapa di gedung itu. "Selain yang sudah kau temui sebelumnya, tentu saja. Menurutku semuanya cukup baik, walau tetap harus waspada jika berkaitan dengan bisnis."
"Oh ...."
Kinn tersenyum padanya sekilas. "Semua orang bisa berubah cepat di depan uang, paham?" katanya. Lalu merengkuh pinggang Porche di depan mereka tanpa ragu. "Karena itu kau harus tetap jadi nomor satu agar mengikat mereka."
Untuk sesaat, jujur Porche agak merinding. Karena circle Kinn, jelas beda dengan circle-nya di bar. Namun, meski ingat Jom, Tem, dan teman-temannya ... Porche tidak mau mengatakan apa-apa.
Bagaimana jika Kinn hanya akan mengiranya sedang merajuk? Sejak lahir, Kinn kemungkinan bahkan tidak tahu nikmatnya bermain di atas atap, pohon, atau menerbangkan layangan. Dia terlahir sebagai pewaris raja, dan Porche kadang mengira hubungan mereka masih tidak nyata saja.
"Baiklah, kemari, Porche," kata Tay setelah acara "entah apa itu" selesai. Dia dibawa Kinn untuk mengikuti lelaki itu, kemudian mereka pergi ke beberapa tempat menggunakan mobil. "Sekarang kalian ganti baju dulu sebelum photoshoot-nya dimulai. Aku akan mengambil kameranya dulu."
Tidak heran jika Kinn memilihnya dalam hal ini. Tay benar-benar sangat detail. Dia memiliki selesai fashion dan fotografi yang menarik, sehingga Porche yang jarang peduli tentang keindahan diri menuai banyak pujian setelah foto-foto itu diambil.
Kata Time yang memilah-milah hasil foto mereka, "Oh, wow. Aku tidak tahu calon istrimu itu seseksi ini, Kinn," katanya dengan kekehan kecil. "Boleh aku memamerkannya ke yang lain kapan-kapan? Ha ha ha."
Kinn hanya tersenyum saat memandangi layar display di studio temannya itu. "Aku memang jarang salah pilih," batinnya bangga.
Walau setelah pulang dan Porche melihat-lihat album tersebut, kerutan malah muncul di kening sang kekasih. "Kinn, apa kau berpikir ini benar-benar perlu?" tanyanya. "Maksudku, hmm ... aku tak pernah membayangkan pernikahan yang terlampau mewah. Apalagi ada pre-wed, terus apa lagi rencanamu? Jangan bilang desain undangan, gedung, dan jas kita juga aneh-aneh."
"Really? Padahal kau pantas dapatkan apapun sekarang," kata Kinn. Dia duduk di sofa sebelah Porche sambil menikmati kopi hangatnya. "Lagipula, ini pernikahan pertamaku. Dan kuharap juga yang terakhir. Memang aneh kalau seseorang merancang hal besar di hari pernikahannya?"
Porche tak sanggup berkata-kata. Dia hanya kembali memandangi foto-foto mereka di sana, dan merasa Porche di dalam potret bukanlah dirinya.
Hei, semudah itukah sihir uang bekerja? Porche tidak tahu banyak karena dia sebatas bartender dan petarung di bawah tanah.
"Kenapa, hei?" tanya Kinn yang mendadak janggal dengan ekspresi Porche. Dia meletakkan kopi ke atas meja, lalu mendekat untuk mengecup bibir Porche dari samping.
Porche diam saja sebelum menutup albumnya. "Tidak ada, hanya saja ... apa kau mau gantian?" tanyanya. "Besok, temuilah orang-orang di circle-ku, Kinn. Che Yok, bosku di bar. Jom, Tem, Ai ... kau pun harus melihat teman-temanku."
Kinn diam sebentar, kemudian menyeringai tipis. "Tentu saja," katanya. "Setelah pekerjaanku selesai, kita berangkat ke bar sebelum matahari terbenam."
Beda dengan saat di kediaman keluarga Theerapanyakul, Porche sangat rileks saat kembali ke tempatnya berasal. Dia sangat antusias mencicipi wine yang ada di sana, sekalipun tidak semewah atau semahal yang Kinn koleksi di rak-raknya. Dia tertawa begitu bebas, menyapa Che Yok dengan senyum yang manis, dan lega hati meski digodai wanita itu soal hubungan mereka.
"Woaah, ini agak tidak kusangka," kata Yok. "Sungguhan ini Tuan Kinn? Aku kira dia akan meratakan bar-ku."
Kinn terkekeh kecil dan meminum bir dari gelasnya. "Aku hanya menuruti apa yang diminta Calon Nyonya Theerapanyakul."
"Uuuuh~" Che Yok pun tersenyum lebih salah tingkah daripada Porche sendiri. "Baiklah, senang melihat kalian sangat akur! Baik-baik, ya. Jangan ada yang bertengkar, atau ibu akan mengawasi kalian."
Porche pun berterima kasih setelah pelayan Yok meninggalkan lebih banyak botol penuh di meja mereka.
"Oh, iya. Che, dimana teman-temanku? Aku belum melihat mereka sejak tadi?"
"Ah, iya. Hari ini agak ribut," kata Yok. "Ada tamu spesial di lantai atas. Jadi, mereka melayani secara khusus. Yang tugas di sini adalah para bartender baru. Bagaimana jika kupanggilkan?"
"Kalau sibuk semua, setidaknya Jom, Tem, dan Ai saja cukup, Che."
"Baiklah," kata Yok sebelum pergi. Wanita itu masih sempat-sempatnya melirik Kinn karena gemas dengan betapa memikat lelaki itu.
Lima menit kemudian, Tem dan Ai pun muncul dengan senyum di wajah mereka. "Hello, bro! Apa kabarmu setelah menghilang beberapa Minggu ini?"
Porche pun memeluk mereka bergantian. "Aku baik, sangat baik," katanya. Lalu menoleh ke arah Kinn. Meski dia sempat ragu, tetapi Tem dan Ai sepertinya peka.
"Oh, kau sedang bersama seseorang?" tanya Tem.
Porche mengangguk pelan. "Yep, dia Kinn," katanya. "Pacarku."
Saat Tem terkejut, Ai pun segera menyodorkan tangannya ke Kinn terlebih dahulu. "Halo ...." sapanya. "Aku teman Porche, Phi."
Kinn justru tampak rileks-rileks saja. Dia menyelesaikan tegukannya sebelum menyambut tangan Ai. "Hm, aku Kinn."
Ah, mereka pasti beluk terbiasa melihatnya berhubungan dengan lelaki. Namun, daripada terjebak dalam suasana canggung, Porche pun segera menanyakan keberadaan Jom.
"Oh, iya. Aku belum melihat Jom daritadi?" tanya Porche. "Kemana dia?"
"Oh ... dia ...." Tem baru saja akan berbalik, tetapi mendadak wajah Jom sudah muncul di belakangnya. "Hai, Jom? Kau datang juga rupanya."
Anehnya, Jom tidak mengenakan baju bartender hari itu. Lebih mengejutkan lagi, saat wajahnya sudah berbalik ke depan, Porche melihat bekas luka cukup besar di tulang hidung bagian kirinya. Dan itu melebar hingga ke pipi.
"Hai, Porche," sapa Jom dengan senyuman yang masam. "Kupikir, kau sudah lupa dengan temanmu yang satu ini."
Refleks, Porche pun bangun dari sofa. "Tunggu, Jom. Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan wajahmu?"
Jom hanya menatapnya datar. Hal yang tidak pernah Porche liat, tetapi lelaki itu langsung menghajar wajah Porche balik sekuat yang dia bisa.
BRAKHH!!
"JOM!"
"PORCHE!"
Suara teriakan Tem, Ai, dan Kinn pun bersahutan di ruangan itu. Mereka terlambat bereaksi, sebab Porche sudah tergebrak jatuh, bahkan kepalanya membentur meja penuh botol di belakangnya.
"Kau mau tahu apa yang terjadi dengan wajahku?" tanya Jom dengan wajah marah. Dia tampak begitu terluka, kecewa, tetapi juga sakit setelah melihat wajah Porche berlumuran darah mimisan. "Bukankah kau sendiri yang melakukannya malam itu?"
Bersambung ...
Jangan lupa, judul WP ini adalah "Sins Of Bartender" yang artinya "Dosa-dosa dari Bartender." Sebenarnya fokus masalah memang berasal dari dunia Porche. Bukan Kinn. Beda jauh dengan versi film Kinnporche The Series.