***
"Maaf menyela sebelumnya. Tadi bapak bilang kalau nak Yusuf ini anak ketiga kalian??"
"Iya bu. Ada apa memangnya??"
Umi terlihat penasaran dengan maksud dari pertanyaan tersebut.
"Tapi untuk acara lamaran ini, mungkin harus di tunda terlebih dahulu. Atau lebih tepatnya di batalkan saja".
Sontak semua orang kaget. Termasuk Abi dan Anin yang tidak menyangka bahwa Bunda akan mengatakan hal tersebut secara terang-terangan.
Apa jangan-jangan karena mitos aneh tersebut????
Batin Anin sekaligus menahan malu. Karena yang di tolak sekarang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Yusuf. Orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam kantornya saat ini. Bahkan mungkin dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi lagi yang belum sempat Anin bayangkan. Dan mungkin besok, bisa menjadi hari terakhirnya dia bekerja. Siap-siap jadi 'PHK DADAKAN'.
Ya Allah.. jangan sampe Bunda beneran ngomong hal gituan..
"Anak anda adalah anak nomor tiga, sedangkan Anin sendiri, anak kami adalah anak pertama dalam keluarga ini. Saya tidak ingin menyerahkan anak saya. Memang ini terdengar sangat konyol, tapi untuk masalah yang satu ini, saya masih mempercayai mitos tersebut".
PLAKK...
Dan ternyata memang benar. Bunda masih mempercayai mitos tersebut, membuat tubuh Anin lemas sudah mendengar hal tersebut. Abi langsung memberikan tatapan tajam kepada Bunda. Dan yang lainnya hanya mengernyitkan kening mereka tanda tidak mengerti. Mungkin sekarang, keluarga dari Yusuf akan berpikir bahwa keluarganya, lebih tepatnya Bundanya masih kolot. Otomatis membuat Anin bersiap untuk kehilangan calon suami yang sangat dia harapkan. Anin harapkan(??).
***
Di dalam mobil, Rizal sudah ngedumel tidak percaya dengan apa yang tadi dia dengar. Di zaman yang sudah canggih dan kalau di lihat dari luarnya, keluarga tersebut seperti keluarga umum lainnya. Tapi ternyata, keluarganya Anin, lebih tepatnya Bundanya Anin itu masih mempercayai takhayul yang ngga jelas seperti yang di jelaskan tadi.
"Bapaknya tadi bilang kalau keluarganya ngga terlalu membawa adat Jawa, eh malah Ibunya yang kolotnya setengah mati kaya gitu.."
Untung saat ini ada Abi dan Umi, otomatis segala umpatnya tidak semuanya keluar.
Abi dan Umi hanya bisa diam saja menanggapi hal yang baru saja. Hal tersebut adalah suatu kenyataan bahwa anak laki-laki, satu-satunya dari keluarga Anata Dhyaksa telah di tolak secara mentah-mentah tanpa basa-basi ataupun mempertimbangkan tentang fakta yang menyatakan Yusuf itu adalah atasan dari putrinya yang bisa dengan seenak jidat mengeluarkan Anin dari perusahaannya. Dan mungkin lebih parahnya Anin, akan kena blacklist dari perusahaan karena begitu banyaknya koneksi dari keluarga Dhyaksa. Tapi hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Keluarga Dhyaksa masih cukup waras untuk dengan gampangnya memutus rezeki seseorang. Terlebih seseorang tersebut adalah Anin yang kemampuannya tidak perlu di ragukan lagi.
Sedangkan orang yang baru saja di tolak lamarannya, juga sama seperti Abi dan Uminya. Diam tanpa kata. Kaya salah judul lagu band ballad nya Indonesia. Tapi diamnya Yusuf menjadi tanda tanya besar untuk Uminya. Sekarang ekspresi yang terlukis di wajah Yusuf menjadi hal yang tidak bisa dibaca oleh siapapun. Dia hanya bertopang dagu sambil sesekali menyandarkan kepalanya ke jok mobil.
"Yusuf, kamu tadi bicara apa aja sama adiknya Anin??"
Akhirnya Umi memberanikan diri untuk membuka pembicaraan dengan Yusuf. Rizal tidak mungkin mengajak Yusuf berbicara, dia ingin Yusuf mengungkapkan apa yang dia rasakan dengan sendirinya. Sekalipun dia juga kepo dengan apa yang ada di pikiran Yusuf saat ini.
"Ngga ada apa-apa kog, Umi".
Jawab Yusuf singkat dengan mengatakan 'Ngga ada apa-apa', itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Umi bahwa sebenarnya ada hal penting yang sekarang ada di pikiran Yusuf, namun Yusuf sendiri belum ingin mengungkapkannya kepada orang lain. Termasuk kepada Uminya sendiri.
"Dek.. Lo masih tetep lanjut sama niat Lo buat jadiin Anin sebagai istri Lo??
Tanya Rizal yang akhirnya ngga kuat sama rasa keponya. Bahkan keadaan Yusuf sekarang jauh lebih buruk daripada saat Yusuf harus putus dengan tunangannya.
"Maksud Lo apaan, Mas??"
Yusuf menekan suaranya. Dia mencoba menahan emosinya yang saat ini sudah campur aduk kaya es campur.
"Ngga perlu jelasin maksud gue apaan, kan??"
Rizal segera berkilah demi menyelamatkan kedamaian di dalam mobil. Lagian sekarang, posisinya ada di bagian mengemudi. Jadi secara otomatis dia harus berkonsentrasi dengan situasi yang damai. Meskipun sekarang situasi di dalam mobil serasa panas seperti AC di mobil sedang rusak.
"Gue ngga pernah main-main sama keputusan gue".
Jawaban tersebut sudah cukup menjadi jawaban untuk semua orang yang ada di dalam mobil tersebut bahwa Yusuf masih memperjuangkan niatnya untuk menikahi Anin. Abi sedari tadi tidak memberikan komentarnya sama sekali. Kalau seperti ini, dia semakin yakin bahwa Yusuf itu memang fotokopi dari dirinya, Abinya. Keras kepala, ngga mudah di tebak dan ngga pernah main-main sama apa yang menyangkut dengan hidupnya. Melihat perangai dari Yusuf seperti sekarang, akan jauh lebih baik untuk membiarkan Yusuf memikirkan sendiri apa yang harus dia lakukan. Lagipula pernikahan ini yang akan menjalaninya adalah Yusuf dan calon istrinya. Sebagai orangtua, Abi hanya bisa berharap yang terbaik untuk putranya.
***
*Flashback ON
"Mas Yusuf??"
Entah Arwi mau memanggil atau mau bertanya. Dan sang pemilik nama menoleh ke arah suara yang memanggil namanya tersebut. Di tatapnya laki-laki yang kemungkinannya sudah menjadi 0,0000000...1% itu menjadi adik iparnya tersebut.
"Bisa bicara sebentar??"
Yusuf kemudian menatap Rizal dan Rizal mengetahui sinyal yang dikirimkan oleh Yusuf. Dia serta Abi dan Umi bergegas menuju mobil mereka. Dan Yusuf sudah ada di hadapan Arwi.
"Gue ngga akan basa-basi".
Kata Arwi menoleh kedalam rumah. Dia bisa melihat bahwa sekarang yang ada di ruang tamu tinggal mbak Ningsih yang membereskan minum dan makanan yang ditinggal pemiliknya begitu saja.
"Gue bisa pastiin kalau mbak Anin itu adalah seseorang yang patut buat di perjuangin. Khususnya Lo Mas. Tapi jangan salah paham lho, mbak Anin itu bukannya ngga laku lho. Tapi dia triplek aja jadi kaku gitu. Makanya dia belum mikirin nikah".
Yusuf menaikkan satu alisnya yang membuat kadar ketampanan Yusuf semakin bertambah meskipun saat ini di wajahnya sudah menandakan bahwa dirinya dalam keadaan tidak baik. Rasanya Arwi pun juga ingin mengumpat dalam hati, mengapa kegantengan calon kakak iparnya ini bisa mengalahkan pesonanya yang kata fans ceweknya sih bikin orang diabetes. Tapi calon kakak iparnya ini bikin orang langsung lumer lho saking hot-nya.
Balik ke permasalahan.
"Suatu hari nanti, Lo juga bakal paham sama apa yang barusan gue bicarain".
Jawab Arwi semakin ambigu yang jelas-jelas membuat Yusuf hanya mengerti akan satu hal. Bahwa dirinya harus memperjuangkan Anin dan menguatkan niatnya, karena ini semua mungkin baru awalnya saja dan Allah sudah menyiapkan takdir yang lebih indah nantinya.
"Mulai saat ini gue percayain mbak Anin sama Lo mas..."
Imbuh Arwi sambil menepuk bahu Yusuf. Dan perlu di inget, Arwi itu sekalipun awal pertemuannya dengan Yusuf dia memakai bahasa yang tingkat kehalusannya tinggi untuk selevel dia yang cerewet, tapi kalau dia sudah kenal dengan orang itu, maka bahasanya langsung ke mode normalnya. Lo-GUE. Alesannya simple, karena Arwi ngga pengen ada jarak dan pengen lebih deket. Just that.
Jujur untuk hari ini, Yusuf sedikit bersyukur karena setidaknya dia sudah mendapatkan kepercayaan dari Arwi sepenuhnya. Ayah mertuanya pun tadi di akhir pertemuan keluarga yang berantakan tersebut juga telah memberikan restunya dengan cuma-cuma untuk Yusuf. Anin yang tadi sempat membelanya tetapi harus terhenti karena bentakan kecil dari Bundanya, membuat Anin sukses untuk diam. Jujur apa yang di sempat dilakukan Anin membuatnya senang, setidaknya ada harapan untuknya memperjuangkan niatnya untuk menikahi Anin. Dan sekarang, tinggal calon Ibu mertuanya yang harus dia taklukan.
"Makasih ya, Lo udah support gue..."
"Maafin sikap Bunda tadi ya.. Bunda cuma overprotektif aja sama mbak Anin. Biasalah anak cewek..."
Arwi mencoba untuk menenangkan Yusuf sekarang. Karena dia juga seorang cowok, dia tahu bagaimana rasanya di tolak. Dan ini bukan sekedar penolakan cinta, melainkan penolakan lamaran. Meskipun Arwi memang rada sableng, tapi Arwi masih cukup waras dan tidak pernah berpikir bahwa pernikahan adalah suatu hal yang main-main. Itu salah satu hal yang diam-diam sudah menjadi prinsip dalam hidupnya.
Dan akhirnya Yusuf segera pergi meninggalkan Arwi. Arwi pun mengantar Yusuf sampai di depan pagar rumahnya dan melihat mobil yang di bawa oleh keluarga Yusuf sudah belok kiri keluar dari gang perumahan mereka.
Moga feeling gue ngga salah...
Mungkin saatnya mbak Anin untuk di perjuangin bukannya berjuang sendirian...
*Flashback OFF
***
Hari ini, mungkin sudah 3 hari ini Anin kekantor dengan tampang acak-acakan. Bukan style-nya Anin yang berangkat kerja masih kelihatan kucel sekalipun Anin juga tidak terlalu memikirkan apa yang dia kenakan, tapi setidaknya dia akan selalu membawa mood terbaiknya saat bekerja.
Franda yang selalu menganggap Anin sebagai moodmaker juga merasa aneh dengan Anin. Segalak apapun Anin, dia bukan tipe orang gampang badmood. Mood lagi bagus aja, buat semua orang bakal mundur satu langkah kalau Anin sudah memprotes kalau ada berkas yang tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau badmood kaya gini. Langsung terbang mungkin kali ye.
Dan saat ini hanya Franda yang mampu mendekati Anin.
"Anin... jalan yuk mumpung masih sore gini".
Ya, jam kantor mereka sudah berlalu satu jam yang lalu. Tapi Franda baru saja menyelesaikan pekerjaan yang di berikan oleh Anin. Tapi yang diajak ngomong masih aja mainin bolpoin yang ada di atas meja.
"Udah minta izin sama Riki??"
Akhirnya Anin mengalihkan perhatiannya kepada Franda yang dia tahu bahwa ajakannya hanya ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran Anin sekarang.
"Udah.. Lagian mas Riki juga lagi ke luar kota ngurusin proyeknya".
Jawab Franda jujur. Dia adalah tipikal istri yang sangat patuh dengan suaminya, meskipun terkadang dia ngeyel juga kalau mereka lagi berbeda pendapat. Makanya sebelum Anin mengiyakan ajakan Franda, dia menanyakan izin dari Riki untuk Franda. Maklumlah, Riki mendapatkan Franda itu ngga gampang dan kebetulan Anin adalah pihak ketiga yang membantu pasangan suami-istri tersebut sampai menikah.
Sampailah mereka di tempat duduk favorit mereka saat mereka menikmati Cappucinno dan Americano yang ada di depan mereka di tambah dengan donat yang di berikan secara cuma-cuma saat mereka membeli minumannya. Yang pasti pemilik dari Americano tanpa gula itu adalah orang yang lagi menikmati galau-nya beberapa hari ini.
"Udah beli donatnya sekalian??"
Tanya Franda meletakkan HP-nya membalas chat dari suaminya. Dia hanya mengingatkan sahabatnya untuk membeli donat kesukaannya sebelum moodnya hari ini bertambah jelek karena hanya dia lupa membeli donat.
Anin hanya menunjukkan plastic yang sudah berisi satu box donat dengan berbagai macam rasa. Mereka menikmati dalam diam. Di tambah suasana di luar yang menampakkan rintik-rintik hujan yang sukses membuat udara di Kota Solo menjadi dingin.
"Lo kenapa akhir-akhir ini?? Kucel banget kaya baju ngga kena setrika??"
Kata-kata tersebut mencelos saja dari bibir Franda, karena dia sudah menahan ke-kepo-annya sejak Anin berubah sikap seperti sekarang. Lebih dingin dari Anin yang memang syaraf kepeduliannya sudah putus. Tapi yang dia tanyai hanya mengaduk minuman yang ada di hadapannya dengan sedotan sambil dia minum.
"Gue seriusan Anin. Lo bukan tipe orang yang mikir sampai segininya".
Setelah beberapa menit tidak ada jawaban. Akhirnya Anin menghela nafas dan membuangnya dengan perlahan. Dia tahu bahwa sia-sia juga dia menyembunyikan apa yang ada dalam pikirannya sekarang dari Franda. Secara mereka sudah kenal sejak SMA dan terus berhubungan sampai sekarang.
"Ada suatu hal yang terjadi..."
Jawab Anin perlahan. Franda mencoba sabar dengan apa yang akan di ucapkan Anin selanjutnya. Kalau Anin bersikap seperti ini bisa dipastikan kalau dia sendiri belum menemukan solusi yang tepat untuk permasalahan yang di hadapinya.
"Bunda nolak lamarannya Mas Yusuf..."
Seketika itu juga Franda langsung memajukkan posisi duduknya. Dia mencoba mencubiti tangannya sampai merah, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Namun pada kenyataannya, apa yang baru saja di ucapkan Anin memang kenyataan.
"Tunggu... kog bisa mas Yusuf nglamar kamu?? Trus Bunda kamu nolak?? Atas dasar apa coba??"
Untuk saat ini tingkat ke-kepo-an dari Franda memang sudah sampai atmosfer terluar dari Bumi.
"Trus kapan juga kalian resmiin hubungan kalian?? Kalian kayanya adem-adem aja..."
Imbuh Franda yang sudah di tebak oleh Anin jika ekspresi dari Franda akan seperti ini jadinya.
"Gue kog durhaka banget sih jadi sahabat Lo. Gue serasa ngga tahu apa-apa soal Lo..."
"Gue juga yang salah karena dari awal ngga kasih tau Lo soal ini, karena gue juga bingung sama yang terjadi dengan gue akhir-akhir ini".
"Trus Tante Sara??"
"Padahal Bunda sendiri juga tau kalau udah lama gue nunggu hal ini. Tapi ngga tau nya langsung rusak gitu aja setelah tau kalau Mas Yusuf itu anak ketiga sedangkan gue anak pertama".
"Jadi Tante masih percaya sama kaya gituan??"
"Sumpah, gue kira sekalipun kalian hidup di Jawa, tapi gue selalu liat kalau keluarga Lo ngga kaya keluarga yang bawa-bawa adat Jawa dalam kehidupan kalian. Kalian itu keluarga modern. Apalagi kalian juga pernah hidup di Jakarta".
"Gue kerja sampai hari ini aja gue bersyukur banget".
Oiya, Franda sampai lupa, siapa yang di tolak lamarannya sama Bundanya Anin. Boss-nya sendiri.
"Gue juga ngga tahu, kenapa malah rumit kaya gini. Semenjak itu, Bunda jadi over sama gue. Masa iya, gue di suruh keluar cari kerja lain".
"Trus Lo sendiri maunya gimana??"
Kali ini Franda tidak ingin menyangkut pautkan pekerjaan dan Bundanya Anin. Dia hanya ingin tahu apa yang ada di pikiran Anin sekarang tentang permasalahan ini. Setahu Franda, Anin itu anaknya lurus-lurus aja, realistic, santai sama hidupnya apalagi soal cinta-cintaan. Kalau ngga dapet A, ya dia bisa dapet yang B. Sekalipun saat nglepasin yang A itu, Anin butuh waktu buat ngrelainnya dan kembali di kehidupan nyatanya. Buktinya di saat Franda nikah dan Anin udah di buru-buru untuk nikah, nyatanya Anin masih stay nunggu satu orang dan lebih mikir soal karirnya daripada kehidupan pribadinya.
"Lo tau sendiri kan posisi gue saat ini, Fran??"
Ya.. Franda sudah tahu bahwa ini adalah saat yang Anin harapkan sejak dulu. Di lamar oleh seseorang yang susah banget buat ngusir dia dari hatinya Anin. YUSUF.
"Ya kelihatannya gimana?? Dia mau perjuangin Lo atau ngga?? Udah cukup lama acara drama Lo yang still waiting for only one".
"Gue ngga mau Lo capek pada akhirnya karena apa yang Lo tunggu itu malah semakin jauh buat Lo tunggu".
Anin hanya menghela nafas mendengar jawaban dari Franda.
"Lo beneran yakin sama pak- eh maksudnya Mas Yusuf??"
Franda sudah terbiasa memanggil Yusuf dengan sebutan 'Pak'. Tapi ternyata pertanyaannya hanya menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah ada jawabannya.
"Cuma Lo yang tau apa yang Lo mau. Cinta itu ada bukan hanya karena Lo ngrasain tapi karena Lo butuh. Butuh orang tersebut buat nglengkapin rasa cinta itu dan sekarang orang yang Lo butuhin buat nglengkapin cinta Lo itu patut Lo tunggu lagi ngga??"
Franda sudah terlalu lelah dengan cerita FTV dari Anin yang selama ini selalu menunggu Yusuf dan menutup hatinya rapat-rapat untuk siapapun. Tapi yang di tunggu-tunggu juga sebenarnya tidak jelas untuk yang menunggu.
"Oiya, satu lagi gue lupa. Bukannya Lo pernah cerita kalau Mas Yusuf itu punya tunangan bahkan kayanya udah nikah. Jadi karena itu, Lo berhenti jadi stalkernya Mas Yusuf??"
Franda hampir melupakan fakta yang belum sempat dia update.
"Mas Yusuf ngga punya tunangan dan dia belum nikah dengan siapapun".
Jawab Anin seadanya. Karena memang itu yang di ketahui olehnya.
Franda hanya mengangguk. Dia tidak ingin menanyakan soal itu lagi, karena hal itu adalah hal yang menyakitkan untuk Anin saat dia menunggu Yusuf. Tapi yang di tunggu malah sudah ada yang memiliki.
"Menurut Lo, gue harus gimana??"
Anin akhirnya membuka suara setelah sekian menit mereka saling berdiam diri.
"Gue percaya sama Lo, Nin. Lo lebih tau apa yang terbaik buat Lo bahkan buat gue".
Jawab Franda dengan senyumnya yang menambah volume pipi bakpaonya. Hal itu sedikit membangkitkan keisengan Anin untuk mencubit Franda dan sukses membuat sang pemilik manatapnya dengan tatapan siap memangsanya kapan saja. Hal itu membuat Anin sukses tertawa sejak beberapa hari ini dia hanya bisa berbicara sekenanya saja saat di butuhkan.
Franda sedikit lega. Setidaknya, sekalipun dia tidak bisa memberikan solusi untuk Anin, tapi setidaknya Anin mau berbagi rasa yang memang seharusnya dia share agar bebannya sedikit berkurang.
***
Hari ini entah mengapa, Yusuf sudah sampai di pasar. Padahal jam menunjukkan pukul 8.00, waktu untuknya masuk kerja. Dia memang direktur di perusahaannya, tapi aturan tetap berlaku untuk siapapun tanpa terkecuali. Namun, Yusuf memilih untuk menjalankan misinya hari ini. Misi yang mungkin hanya ada 1% keberhasilannya, sedangkan sisanya dia hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Allah.
Sambil membawa catatan dari kakak keduanya, Mey, dia harus rela untuk berbelanja terlebih dahulu. Mei memang terlalu jahil kepada adik laki-lakinya hingga sampai hati menyuruhnya belanja untuk makanan dirumah.
"Ikan.. Wortel.. Brokoli..."
Gumam Yusuf masih bergumam dengan daftar belanja yang ada di tangannya. Segera dia berbelanja. Tidak lupa dengan aksi tawar-menawar. Perlu di ketahui, Yusuf memiliki pengalaman seperti ini saat dia memutuskan untuk membuka restoran, meskipun hanya berjalan setengah tahun, karena dia di sibukkan dengan skripsi yang menguras pikiran dan tenaganya.
Dengan cerdik dia memang sedikit lupa dengan lokasi dari tempat penjualannya. Sekarang tinggal buah pisang.
"Eh.. ini mau pisang apaan ya??"
Yusuf bingung dengan daftar belanjaan yang menyebutkan buah pisang. Pisang hanya untuk dimakan biasa atau di buat menjadi makanan lainnya.
"Bodo amat dah kalau kaya gini... salahnya Mbak Mei sendiri yang gaje".
Keluh Yusuf sambil menenteng belanjaan yang telah ia dapatkan.
Saat Yusuf mencari lokasi dimana penjual pisang, dia bertemu dengan seseorang yang ingin dia temui sekaligus dia takuti. Bundanya Anin.
*Flashback ON
From : Arwi K. Kamil
Mas, skrg Bunda lg k psr. Sendirian.
Yusuf yang pagi-pagi tengah menyimpulkan dasinya itu, sedikit terkejut mendapatkan chat dari Arwi. Dia memang menyuruh Arwi mengabarkan apapun tentang Bundanya ditambah jika calon adik iparnya itu memiliki rencana yang baik untuknya. Namun ada apa dengan Bundanya yang ke pasar.
To : Arwi K. Kamil
Knp kamu ngga nganterin??
Ngga kasihan sma Bunda sendiri??
Di seberang sana, orang yang saat ini menjadi agen rahasianya Yusuf, sedikit geregetan. Mengapa feedback dari Yusuf malah seperti yang dia baca saat ini. Dengan sedikit jengkel dia mengetikkan pesan dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya.
To : Yusuf Dhyaksa
Ayah, males nganterin Bunda klu Bunda blm ksh restu..
Gue ogah, cz gue ada kuliah jam 10
Trus mb.ningsih lg cuti 3 hari
Coba susulin Bunda kek, ksh imej yg kece gitu.
To : Arwi K.Kamil
Ok, Ty..
Jawab Yusuf singkat setelah membaca penjelasan dari Arwi. Dia tidak menyangka bahwa Arwi dengan mudahnya di ajak kerjasama seperti sekarang. Dia pun langsung menelpon Hendi untuk me-reschedule kegiatannya hari ini. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah di berikan Arwi secara cuma-cuma kepadanya. Dia pun memutuskan untuk memasukkan dasinya ke tasnya, agar penampilannya tidak terlalu mencolok saat di pasar nanti. Dia turun dari tangga menuju meja makan. Sudah ada Didit, Mei dan 2 keponakannya, Rafa dan Bayu. Mei yang melihat ada yang berbeda dengan Yusuf langsung menanyainya dengan tampang menyelidik. Sejak dia mendengar bahwa lamaran adiknya itu di tolak, dia melihat bahwa Yusuf menjadi lebih banyak diam. Tapi untuk hari ini, Yusuf memasang wajah kebalikkannya. Wajah Over Happy. Ditambah dia bukan dalam mode untuk bekerja.
"Mau kemana, dek?"
Tanya Mei yang melihat Yusuf sudah meraih roti gandum di hadapannya.
"Kerja lah mbak. Masa iya aku piknik??"
Jawab Yusuf asal sambil mengoleskan nutella di rotinya.
"Dengan dandanan kaya gitu??"
Dia melihat Yusuf memang masih memakai style kerjanya. Tapi sekarang dasi yang bisanya sudah nangkring di lehernya, tidak dia lihat. Ditambah jas yang hanya dia tenteng saja.
"Ada misi rahasia??"
Didit yang sedari tadi mendengarkan percakapan istrinya dan adik iparnya, hanya mengerutkan dahinya. Jujur, ada rasa sedikit khawatir terhadap Yusuf. Meskipun Yusuf bukanlah tipikal orang yang akan berbuat aneh-aneh seperti yang ada dipikirannya sekarang.
"Maksudnya??"
"Gue memang mau ke kantor, Mas. Tapi sebelumnya, aku mau ke pasar dulu..."
Yusuf memang menggunakan bahasa yang berbeda antara kakaknya dan iparnya. Kalau kakaknya dia masih menggunakan bahasa AKU-KAMU, karena sudah kebiasaan dalam keluarganya. Sedangkan untuk iparnya, terlebih kepada Luqman yang seumuran dengan dirinya, dia menggunakan Lo-GUE. Biar lebih santai.
"Hahh, kepasar?? Ngapain kamu kepasar dulu??"
Mei tidak percaya bahwa tujuan adiknya itu kepasar. Dia mengira bahwa Yusuf akan pergi kesuatu tempat yang bisa menenangkan pikirannya sekarang, seperti kebiasaannya saat dirinya menghadapi masalah dalam hidupnya.
"Di bilang ada misi rahasia kog. Emang kamu pikir aku mau ganti kerjaan jadi penjual sayur??"
"Kamu beneran mau kepasar??"
Kali ini Yusuf hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan dari kakaknya yang mungkin bisa berlanjut sampai besoknya.
"Kalau gitu mbak nitip belanja ya?? Sebenernya mbak juga mau belanja sendiri, tapi kebetulan kamu mau kepasar, ya mending mbak nitip aja. Kan lumayan mbak dirumah bisa bersih-bersih rumah".
"Yaelah mbak. Modus banget sih jadi orang. Paling yang bersih-bersih juga mbok Inem. Pake sok-sok an mau bersih-bersih rumah".
"Pokoknya beliin aja, ngga usah bawel. Atau kalau ngga mau ya udah, terserah kamu aja kalau kamu emang pengen bolak-balik Jogja-Solo".
Ancam Mei yang langsung men-skakmat Yusuf. Alasan Yusuf untuk tinggal dirumahnya, karena dia malas harus bolak-balik antara rumahnya yang ada di Jogja dengan pekerjaannya yang ada di Solo.
"Iya, iya.. BAWEL.."
Yusuf langsung pergi setelah menyelesaikan sarapannya. Tidak lupa dia mencium 2 keponakannya yang dari tadi menjadi pendengar setia ibu dan paklek-nya. Dan menyalim kedua orangtua dari keponakannya tersebut.
"Paklek berangkat dulu ya guys... Assalamualaikum.."
*Flashback OFF
"Assalamualaikum, Bunda..."
Yusuf menghampiri Bunda dan langsung menyalim tangannya. Tidak lupa dia mencium punggung tangan orang yang menjadi target dari misi rahasia. Misi mendapat restu Bunda. Yusuf pun juga tidak sungkan memanggil Bundanya Anin dengan sebutan Bunda seperti Anin memanggil Ibunya, untuk menambah kesan bahwa dirinya memang berniat menjadi menantunya. Pasang muka tembok, mungkin pilihan untuk Yusuf saat ini. Yang di sapa pun sedikit terkejut dengan kehadiran dari sosok yang dia tolak beberapa waktu lalu. Tidak menyangka bahwa mereka bertemu ditempat yang seperti ini. Di PASAR.
"Waalaikumsalam..."
Bunda masih mencoba untuk menjawab salam sekalipun itu dari seseorang yang mungkin langsung mengubah suasana hatinya. Yang pertama sebal karena tidak ada yang menemaninya ke pasar. Kedua, kesal dengan harga dari daftar belanjaannya yang kebanyakan pada naik. Dan sekarang sebal plus kesal bercampur jadi satu karena bertemu dengan Yusuf. Wajah anak lelaki yang ingin menikahi gadisnya itu memang bikin adem untuk sekarang ini, terbukti karena sedari tadi semua ibu-ibu yang ada di pasar pasti akan mengamati Yusuf, namun tidak untuk Bunda. Hatinya malah bertambah dongkol.
"Bunda disini mau belanja ya??"
Pertanyaan absurd dari Yusuf keluar begitu saja.
Iyalah kepasar mau belanja, masa iya Bunda mau ke kondangan..
Rasanya Yusuf ingin menggeplak pipinya sendiri untuk menyadarkan dirinya. Kalau kaya ginin terus kapan misinya berhasil.
"Kamu sendiri belanja apa??"
Tanya Bunda berusaha bersikap baik. Setidaknya, anaknya masih di beri kesempatan untuk bekerja tanpa mempermasalahkan apa yang telah terjadi.
"Ini, mbak Mei suruh nyari Ikan sama temen-temennya. Ngga tau mau di apain".
Kali ini Yusuf dengan jelas. Ya memang jelas bahwa dia belanja karena dia di suruh oleh kakaknya.
"Udah selesai belanjanya?? Saya mau beli cabe dulu. Permisi"
Sepertinya mode judes dari Bundanya Anin sudah kembali. Sekarang Yusuf juga sadar, darimana Anin mendapatkan sifat judesnya. Jadi mulai sekarang, Yusuf sudah harus mempersiapkan diri menahan kejudesan dari calon istrinya. Nyatanya dia langsung meninggalkan Yusuf begitu saja. Tapi Yusuf tidak menyerah. Bunda pun langsung menghampiri penjual cabe yang sudah menjadi langganannya. Seperti yang biasa di lakukan ibu-ibu kalau di pasar. Aksi tawar-menawar yang bisa membuat keramaian konsernya Afgan pindah ke pasar. Bahkan melebihinya. Yusuf pun tidak mau kalah juga. Dengan modal tampang, dia menawar cabe yang memang ada dalam daftar belanjaannya itu dengan semangat 45. Jika seorang perempuan muda saja bisa terpesona dengan auranya, apalagi dengan Ibu-Ibu. Langsung meleleh deh lihat cowok ganteng mau kepasar. Calon menantu idaman.
Bunda yang melihat aksi tawar-menawar yang di lakukan Yusuf, dia sedikit teringat dengan Arwi kalau dia kepasar menemaninya. Berbeda dengan Anin yang males dengan aksi tunjuk otot ngga mau kalah sama penjual soal harga, Arwi malah dengan pintarnya menawar barang-barang yang akan di beli Bundanya.
"Bunda kepasar sendirian??"
Yusuf berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Bunda. Entah mengapa dirinya merasa senang melakukan hal ini. Melakukan sesuatu untuk Anin yang pasti. Tidak ada jawaban dan Yusuf hanya menganggap diamnya Bunda sebagai jawaban bahwa dirinya memang kepasar sendirian. Tidak perlu di pertegas lagi dengan ucapan.
Sesaat sebelum Bunda akan menyebrang ke sisi jalan lainnya, Yusuf melihat ada motor yang ugal-ugalan hampir menabrak Bunda. Dengan seketika itu juga, Yusuf menarik lengan Bunda untuk menyelamatkannya. Untung tidak seperti di sinetron yang menyelamatkan justru yang tertabrak, dalam kehidupan nyatanya, semuanya selamat.
"Bunda ngga apa-apa kan??"
Tanya Yusuf melihat keadaan Bunda yang sebenarnya baik-baik saja. Meskipun sedikit pucat tercetak jelas di wajah Bunda, mungkin karena efek kaget dengan apa yang baru saja terjadi.
"Mendingan Bunda ikut Yusuf aja sekarang..."
Yusuf pun langsung mengambil alih belanjaan dari tangan Bunda. Dia langsung menaruh semua belanjaan di jok belakang. Untung hari ini dia lebih memilih menggunakan Nissan Juke-nya. Jadi mobil yang dia bawa bisa menampung banyak barang seperti sekarang. Bunda pun hanya menurut saja. Bunda masih sedikit syok, bila Yusuf tidak ada atau terlambat satu detik saja. Bunda tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya.
Yusuf memberikan air mineral yang sempat dia beli sebelum keluar dari pasar, karena dirinya merasa panas. Bunda hanya meneguk sedikit, karena rasa dari air mineral tersebut terasa pahit di lidahnya.
"Bunda beneran baik-baik aja kan?? Atau kita perlu ke rumah sakit??"
Lama Bunda tidak menjawab pertanyaan Yusuf. Sekarang Yusuf memang beneran panic, sekalipun dengan kondisi fisik yang tampak baik-baik saja, tapi siapa yang tahu dengan luka dalam. Ok, fine, kali ini Yusuf sudah berlebihan.
"Bunda baik-baik aja kog. Kamu ngga usah khawatir".
Terdengar suara lembut dan hangat yang sebelumnya pernah Yusuf dengar sebelum Bunda mengeluarkan nada sarkatisme-nya menolak lamaran Yusuf.
"Alhamdulillah kalau gitu. Tapi kita kerumah sakit dulu ya sebelum Bunda pulang. Takut kalau ada apa-apa??"
"Ngga usah, Bunda baik-baik aja kog".
Yusuf memang sedikit bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia memang sudah berencana mengajak Bunda untuk pulang bersamanya, namun keadaannya sekarang jelas berbeda dengan apa yang ada dalam khayalannya.
"Apa alasan kamu melamar Anin??"
Akhirnya Bunda menghentikan keheningan yang terjadi di dalam mobil. Dan justru menanyakan hal yang membuat Yusuf kaget sekaligus senang.
"Ngga ada alasan lain saat saya melamar Anin. Saya melamarnya karena saya ingin menjadikannya sebagai makmum dalam sholat saya. Saya ingin dia menjadi Ibu dari anak-anak saya. Saya ingin dia menjadi pelengkap dari hidup yang saya jalani. Memang ini terdengar sudah umum, tapi itulah yang muncul dalam pikiran saya".
Jawab Yusuf dengan jujur. Dia juga tidak tahu mengapa dia bisa mengucapkan hal-hal yang seperti itu. Bahkan dirinya sendiri belum pernah mengatakannya kepada Anin.
"Lalu apa yang akan kamu janjikan kepada Anin saat dia menjadi istrimu??"
Bunda mengatakan hal tersebut dengan menatap jalanan di depan. Dia tidak mau melihat ekspresi dari Yusuf yang bisa dia pastikan, jika saat ini Yusuf sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya.
"Saya tidak bisa menjanjikan apapun untuk Anin. Bahkan kebahagiaan sepanjang waktu untuk Anin tidak bisa saya janjikan. Tapi satu hal yang bisa saya katakan untuk saat ini. Saya akan belajar untuk memahami Anin, Bunda tahu sendiri bahwa mungkin saya adalah orang yang baru dalam kehidupan Anin dan tiba-tiiba memintanya untuk menjadi istri saya. Tapi percayalah, kalau saya tidak akan melepaskan Anin apapun yang terjadi. Karena saat saya menikahi Anin, saat itu jugalah Anin menjadi salah satu alasan saya hidup sampai saat itu".
Entah apa yang sekarang ada di pikiran mereka berdua. Jawaban yang tidak pernah Yusuf persiapkan sebelumnya ketika dia di hadapkan pertanyaannya yang seperti itu, membuatnya hanya mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya. Dia tidak ingin mengucapkan hal-hal yang tidak bisa dia lakukan. Yusuf menyadari bahwa dirinya memang belum mencintai Anin, namun entah mengapa ada suatu hal yang membuat Yusuf ingin memiliki Anin. Hanya untuk dirinya. Memang terasa egois, tapi dia berusaha untuk memberikan hatinya untuk Anin jika Anin menjadi istrinya. Membayangkan Anin menjadi istrinya saat ini, terasa menyenangkan untuk Yusuf. Disisi lain, Yusuf juga merasa menjadi orang jahat, karena memaksakan keinginannya kepada Anin yang dia sendiri juga tidak tahu apakan Anin sudah memiliki orang yang sudah dia cintai. Mungkin Anin tidak bisa menolak lamarannya karena dia sudah terlanjur di kenalkan ke keluarganya sebagai calon istrinya. Tapi mengapa saat itu, Anin juga ikut membantunya saat Bundanya menjelaskan penolakkan lamarannya.
Sedangkan Bunda yang sedari tadi memilih irit untuk berbicara juga diam-diam memperhatikan sikap dari Yusuf. Ada nada keseriusan dari Yusuf saat dia menjawab pertanyaannya yang dia lontarkan untuk Yusuf. Laki-laki yang melamar anak perempuannya. Laki-laki dari keluarga baik-baik, lebih tepatnya keluarga terhormat dan memiliki kehidupan yang di dambakan setiap perempuan yang menjadi istrinya kelak. Namun dia tolak mentah-mentah dengan alasan yang cukup konyol, tapi sukses mempengaruhi keputusannya untuk menolak lamarannya. Di tambah sekarang suaminya yang masih marah kepadanya, Anin yang sejak kejadian tersebut belum menghubunginya bahkan Arwi bersikap jutek kepadanya sekalipun terkadang masih memberikan perhatiannya. Tapi tetap saja terasa hambar jika kehangatan yang biasanya selalu ada di tengah keluarga kecilnya hilang begitu saja menjadi dingin seperti sekarang.
***