***
Sinar matahari pagi sudah menembus ke kamar Anin melalui celah jendela. Tapi hal ini, masih mengurungkan niatnya untuk bekerja di hari pertama setelah libur lebaran.
KRIIINNNGGGGGG....
Suara telepon masuk berbunyi dengan renyah dari smartphone milik Anin. Dia memang sengaja membiarkannya karena merasa masih terlalu pagi untuk menjawab telepon, yang pastinya dari Franda. Teman kerjanya. Tapi ini sudah untuk keberapa kalinya, entah berapa kali ini karena dia tidak menghitung membuat Anin mau tidak mau harus menjawab telepon dari Franda dan bersiap terkena semprot.
"Assalamualaikum..."
Anin masih dengan suara serak mengucapkan salam seperti biasanya.
"Waalaikumsalam..."
Jawab Franda yang ternyata masih sabar, namun satu detik kemudian...
"Lo belum bangun?? Emang Lo ngga kerja?? Hari ini, kita ada penyambutan direktur baru lho. Lo ngga mau dateng???"
Aliran pertanyaan keluar begitu saja dari cewek yang sekarang sudah ada di kantor.
Anin masih mencerna setiap pertanyaan dari Franda. Terlalu banyak pertanyaan di awal bangun tidurnya membuat dirinya lebih lama dalam proses loadingnya.
Belum bangun??
Gue udah bangun...
Ngga kerja???
Gue kerja, tapi gue pengen nelat dikit...
Penyambutan direktur baru??
1 detik kemudian...
Belum ada jawaban.
3 detik kemudian...
Emang ada direktur baru??
5 detik kemudian...
"Sialan Lo, Franda... kenapa baru nelpon gue?? Ya udah gue siap-siap".
Anin pun langsung turun dari spring bed-nya menuju kamar mandi yang kebetulan tidak jauh dari kamarnya tanpa menunggu tanggapan dari Franda. Dia menyesali keputusannya setelah sholat subuh, bukannya mempersiapkan diri untuk bekerja tapi dia justru memilih untuk tidur kembali.
Sedangkan orang yang menelponnya, bisa di pastikan dia lagi ngedumel sekarang. Karena dia sudah menelpon Anin berulang kali, tapi sekalinya di angkat malah jawabannya kaya gitu.
SABARRRR....
***
30 menit kemudian, Anin sudah ada di dalam mobil Outlander Sport-nya menuju kantor. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan penampilannya sekarang. Kemeja warna peach favoritnya, celana jeans ditambah dengan jilbab segiempat yang berwarna peach namun sedikit lebih tua dan tidak lupa ketinggalan sepatu sneakersnya. Penampilan casual ala Anin tapi masih tetap enak untuk dilihat saat berada di kantor. Baginya itulah cara berpakaian rapi dengan sedikit make-up agar dirinya terlihat lebih fresh yang cocol untuk orang bekerja. Sambil memakan roti tawar yang sengaja dia ambil dari kulkasnya, dia berusaha membelah kemacetan kota Solo, meskipun tidak separah saat dirinya ada di Jakarta 2 tahun lalu.
Anin yang sudah expert dengan mobilnya, langsung tancap gas dan tanpa perlu buang-buang waktu, 30 menit jarak tempuh dari rumah sampai di kantornya adalah waktu normal yang biasanya saat berangkat ke kantor. Anin dengan setengah berlari langsung mengambil tas ransel dan beberapa dokumen masuk ke dalam kantornya. Lobby kantornya sudah penuh karangan bunga ucapan selamat yang pasti itu untuk direktur barunya. Anin tidak menghiraukannya. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana bisa hari pertama boss-nya itu mulai aktif bekerja, dia melihat seorang General Manager seperti dia telat masuk kerja. Memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik. Siap-siap turun pangkat nih. Rasanya pengen tabok aja ini jidat.
Anin sudah memasuki area kantor. Tampak sudah sepi, karena acara tersebut diadakan sekitar jam 8. Sedangkan jam tangan yang ada di tangan kanannya sekarang menunjukkan pukul 8.45.
"Mbak Anin, kenapa?? Acaranya penyambutan direktur baru masih berlangsung lho mbak".
Tanya Surya. Satpam kantornya yang sangat ramah kepadanya setiap kali mereka bertemu.
"Baru di mulai??"
Anin membelalakkan matanya seakan tidak percaya dengan yang di katakan Pak Surya tadi.
"Ngga juga sih mbak, tapi pak Boss-nya tadi juga baru aja berangkat. Mungkin mbak Anin masih bisa nyusulin tu. Kan acaranya di pindah ke ruanganya Pak Yusuf langsung".
"Makasih ya pak..."
Tanpa berbasa-basi, Anin langsung memencet tombol lift menuju lantai 15. Lantai teratas dari kantornya yang sudah pasti menjadi ruang kerja dari seorang direktur. Hanya berselisih satu lantai dari ruang kerjanya.
Ting....
Suara bunyi pintu lift. Bertanda dirinya sudah sampai. Anin langsung lari semampunya, karena roti tawar yang dia makan tadi mungkin sudah mulai hilang energinya. Dengan nafas yang masih terengah-engah dia mengedarkan pandangannya. Yang dia lihat sekarang adalah Franda yang melambaikan tangannya untuk berada disampingnya. Dengan nafas yang masih memburu, Anin langsung berjalan cepat menuju ke tempat Franda berdiri.
"Lo itu keterlaluan banget ya..."
Franda menabok tangan sebelah kiri Anin, karena dia geregetan dengan temannya yang satu ini.
Anin yang masih capek karena dari tadi dia bangun tidur sampai sekarang dia berdiri, dirinya hanya selalu berlari. Dia ngga lari cuma pas di mobilnya aja. Itu pun kakinya masih main pedal gas plus rem mobilnya. Dia pun mengelus-ngelus tangannya sambil mengaduh kesakitan. Ini beneran sakit lho, soalnya Franda emang beneran mukul tangannya Anin.
"Sorry, gue masih menghayati masa liburan gue..."
Anin asal jawab saja kepada Franda, namun sekarang didepannya sudah ada seseorang yang dimana Anin hari ini mengucapkan doa, bersungguh-sungguh kalau hari ini jangan sampai bertemu dengan direktur barunya itu. Karena yang ada di dalam pikirannya tentang boss barunya itu adalah dia pria, udah tua, bawel, galak, yang pasti dia siap mecat siapa aja yang ngga disipiln (termasuk yang saat ini dia lakukan). Membayangkannya saja, pikirannya langsung kacau seperti itu. SEREM.
"Dek Anin..."
Dek Anin???
Kog manggilnya 'DEK'???
Emang dia kenal sama gue???
Eh, kog suaranya kaya...
Anin yang berbicara dalam hatinya hanya bisa membulatkan kedua matanya setelah melihat seseorang yang memanggilnya 'Dek Anin' tadi.
"Mas Yusuf..."
Anin memang benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya itu. Orang yang sudah lama tidak dia jumpai setelah orang itu lulus dari kuliahnya yang satu jurusan dengannya, sekarang ada di hadapannya. Jadi boss-nya.
"Eh, maksudnya Pak Yusuf..."
Anin segera meralat apa yang telah di ucapkan setelah melihat semua mata tertuju padanya. Kaya Miss Indonesia aja. Eh tapi kan emang bener, kalau pernah ada salah satu pemenang Miss Indonesia itu namanya Anindya kan?? Tapi yang pasti bukan ANINDIYA ANASTASYA KAMIL... hehehe balik ke topik.
"Ternyata kamu kerja disini juga ya??"
Yusuf sebenarnya juga kaget, tapi dengan respon yang cepat dia segera menyembunyikan rasa kagetnya tersebut.
"Iya, mas.. eh maksudnya Pak... saya General Manajer disini".
Mendengar hal itu, Yusuf hanya ber-OHHH ria, karena dirinya sendiri juga tidak tahu harus memberikan respon bagaimana. Dia tidak begitu kaget dengan posisi yang di raih oleh Anin, karena setahu dia, Anin itu tergolong mahasiswa papan atas. Maksudnya soal nilai.
Akhirnya acara penyambutan boss baru di perusahaan tersebut selesai dengan tepuk tangan dari karyawan yang ada. Karena kebanyakan masih ambil cuti kerja. Maklum, masih pengen bobok-bobok dulu di rumah habis mudik sebelum bobok sama tugas kantor.
Yusuf sudah masuk dalam ruangannya. Dan yang lainnya sudah di siap di tempat kerja masing-masing yang sudah di sambut dengan pekerjaaan yang menumpuk. Itu juga berlaku untuk Anin, karena dia sekarang harus mengecek laporan keuangan sebelum berpindah tangan ke Yusuf.
"Ya Allah, ini laporan macem apaan sih??"
Anin menggerutu dengan laporan yang di bacanya melalui layar computer yang ada di hadapannya.
"Ada apa sih, Nin?? Laporannya ada yang salah??"
Jawab Franda menghampiri atasannya tersebut. Diluar mereka boleh saling ngedumel bahkan bisa sampai marahan. Tapi untuk pekerjaan mereka harus professional. Sekarang Anin adalah atasannya sebagai General manager dan dirinya hanya seorang sekretaris dari General Manager.
Franda meneliti kembali laporan tersebut yang di kirim oleh anak dari junior. Emang banyak yang harus diperbaiki, Franda harus mengakui hal itu. Dan untuk kesekian kalinya, dia harus mengakui kemampuan Anin. Workaholic sejati.
"Udah, nanti gue revisi aja laporannya daripada Lo keluarin sambalado dari mulut Lo itu".
Sindir Franda yang segera mendapat tatapan tajam dari Anin.
"Lo ngga punya kerjaan lain??".
"Laporan yang gue minta kemarin udah selesai??".
Selidik Anin dengan mata judesnya. Kumat deh. Franda menoyor kepala Anin. Dia ngga suka Anin menatapnya seperti itu. Kasian itu mata indahnya yang Anin punya cuma di gunain buat jutekkin orang.
"Lo itu pengen gajinya di potongnya??"
Anin tidak mau kalah. Secara disini siapa yang lebih berkuasa.
"Udah gue kirim email. Baru aja".
"Nanti malem laporannya yang itu baru gue kirim. Sekarang gue mau pulang".
Ternyata Franda nyamperin Anin cuma pengen izin pulang aja. Sebenarnya ada yang ingin dia tanyakan kepada Anin, tapi mungkin bukan sekarang, karena Anin lagi sibuk dan kalau udah kaya gitu, konsentrasinya ngga bisa di pecah, meskipun sebenarnya Anin akan meluangkan waktunya untuk mendengar apa yang akan di katakan Franda dengan senang hati.
Anin segera melihat jam tangan yang ada di tangan kanannya. Udah hampir maghrib ternyata. Ngga kerasa juga.
Yaudahlah sekalian maghrib disini sekalian...
***
Mendengar suara adzan maghrib membuat Anin menghentikan segala aktivitasnya. Dia memang bukanlah seorang yang sempurna untuk agamanya. Tapi, dia berusaha sebaik mungkin untuk melakukan apapun kegiatannya sesuai dengan tuntunan dari agamanya, meskipun belum semuanya. Itulah yang ada di pikirannya dan sudah menjadi prinsip yang mendarah daging dalam dirinya.
Segera dia turun ke lantai bawah dan pergi ke masjid yang ada di kantornya tersebut. Air wudhhu benar-benar berhasil menghapus rasa penatnya. Alhamdulillah, sekarang dia sedikit lebih fresh. Dia mengenakan mukena yang ada di masjid tersebut, karena dia lupa membawa mukena yang sengaja dia bawa pulang untuk di cuci. Sholat berjamaah dengan suara imam yang terdengar tidak asing untuknya. Selesai sholat, sudah menjadi kebiasaannya untuk melafalkan kalimat tasbih, tahmid dan takbir di tutup dengan tahlil. Entah mengapa setiap kali, Anin dirinya melafalkan kalimat tersebut pikiran dan hatinya jadi adem.
Setelah di pikir-pikir lagi. Ternyata di barisan perempuan yang sholat hanyalah dirinya seorang. Dia mencari-cari wajah seorang perempuan, siapa tahu dia saja yang tidak menyadarinya. Tapi ternyata memang beneran tidak ada. Anin segera mengikat tali sepatunya tersebut. Dan menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikannya dalam diam. YUSUF.
Apa jangan-jangan tadi mas Yusuf ya yang jadi imam??
Sebelum Anin berjalan menuju lift ke ruangannya, Yusuf sudah memanggilnya yang seketika membuat langkah kakinya berhenti.
"Dek Anin..."
Yusuf masih memanggilnya 'Dek Anin'. Rasanya jantung Anin ingin pindah dari tempatnya. Dia segera memegang dadanya untuk menahan rasa gugupnya yang sudah ada di satu lift dengan Yusuf. Setelah hampir 6 tahun tidak bertemu, mereka dipertemukan kembali dengan cara yang tidak pernah di bayangkan oleh Anin. Dirinya juga bingung, apakah dia harus bersyukur atau sedih bertemu kembali dengan Yusuf.
"Dek?? Kamu ngga papa-kan??"
Yusuf melihat raut wajah Anin yang sedikit pucat. Ternyata dia tidak banyak berubah.
"Iya pak... ngga papa kog".
Anin menjawab seadanya sambil sedikit merapikan lengan kemejanya yang belum sempat dia kancingkan kembali.
"Ohhhh..."
Kembali. Yusuf hanya ber-OHHH ria. Dia sendiri juga bingung kenapa dia juga bisa bersikap aneh seperti ini.
"Kamu belum pulang jam segini??"
Yusuf kembali penasaran. Karena hari pertama kerja setelah lebaran, biasanya para karyawan ingin pulang lebih cepat. Tapi ternyata, dia masih menemui Anin.
"Tadi masih ada kerjaan, pak..."
Anin juga kembali menjawab seadanya. Otaknya seperti kekurangan oksigen karena aliran darahnya yang tidak normal sejak dia berdiri di samping Yusuf.
"Jangan panggil pak deh kalau kaya gini. Kaya baru kenal aja... lagian waktu kerjanya udah off juga kali.."
"Panggil aja kaya biasanya. Kaya pas di kampus".
Imbuh Yusuf.
"Ya ini kan udah ngga di kampus lagi. Tapi ini di kantor. Di tempat kerja. Pasti ada hierarkinya".
"Sssstttt, ngomong teorinya besok-besok aja pas lagi kerja. Sekarang kan udah ngga jam kerja lagi".
Yusuf segera menyangkal apa yang di katakan Anin sambil mengacungkan jari telunjuknya di depan bibir tipisnya.
Anin malah penasaran dengan sikap Yusuf. Padahal semasa di kampus, mas Yusuf itu terkenal dengan sikap cool, smart dan jangan lupa sikap Islamiyah-nya yang bikin cewek kaya dirinya sendiri minder kalau papasan sama Yusuf.
"Kamu itu ngga pernah berubah ya?? Dari zaman kuliah sampe sekarang masih aja serius. Untung kamunya ngga cepet tua".
Yusuf terkekeh dengan apa yang baru saja dia katakan. Tapi Anin tidak menyangka kalau Yusuf itu bisa bercanda sekalipun rada garing kaya kacang kalau goreng minyaknya belum panas tapi nekat dimasukkin aja tu kacang.
"Mas Yusuf sendiri juga belum pulang?? Ngga ada yang nungguin??".
Akhirnya Anin memanggil Yusuf kaya biasanya. Tapi maksud dari yang nungguin itu apaan ya.
"Maksudnya ada yang nungguin?? Umi??"
Yusuf mencoba mengklarifikasi pertanyaan ambigu dari Anin.
"Istri..."
Celetuk Anin yang kali ini membuat Yusuf tertawa lepas. Baru kali ini dia melihat Yusuf bisa tertawa lepas seperti yang dia lihat sekarang. Orang ini kepalanya habis kebentur apaan ya, sifatnya jadi 180 derajat berubah kaya gini.
"Ya Allah... kenapa kamu menikahkan diriku saat aku masih single kaya gini, dek??"
Yusuf masih menahan tawanya. Apakah dia memang sudah terlalu tua untuk seorang pria dengan status 'SINGLE'.
Anin tidak menjawabnya. Karena dirinya sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia terlalu terkejut dengan fakta terbaru soal Yusuf bahwa dirinya belum menikah. Trus status pertunangannya yang dulu gimana. Anin hampir lupa kalau status itu juga sudah informasi lama yang dia ketahui. Semenjak, dirinya tahu bahwa Yusuf sudah bertunangan dan menikah setelah lulus kuliah. Membuat dirinya berhenti menjadi stalker-nya Yusuf.
"Kamu sendiri udah nikah emangnya??"
Degggg...
Anin tidak percaya dengan apa yang baru saja di tanyakan oleh boss-nya itu. Untuk apa dia menanyakan hal itu kalau cuma ingin berbasa-basi dengannya. Mau nyindir???
Yusuf penasaran dengan statusnya Anin sekarang. Kalau boleh nebak sih, pasti dia udah nikah. Cantik, pinter, sukses. Siapa juga yang ngga pengen punya istri kaya Anin???
Tingggg...
Pintu lift terbuka dan sudah sampai dilantai 14, lantai dimana ruangan Anin berada. Dia segera keluar sebelum dia menjawab pertanyaan dari Yusuf. Dia berpikir bahwa sekarang, tempat kerjanya bukan menjadi tempat yang aman lagi dari pertanyaan yang nyangkut sama hal yang paling ingin dia hindari. NIKAH.
Yusuf hanya melambaikan tangannya kepada Anin yang sedikit membungkukkan kepalanya sebagai salam perpisahan. Dia hanya penasaran sama juniornya semasa kuliah itu. Ngga nyangka kalau bakal ketemu lagi.
***
Anin segera mengecek ponselnya dan mendapati begitu banyak pesan yang masuk. Dari email, bbm, line, whatsapp sampai sms biasa.
Email yang pasti isinya cuma pemberitahuan laporan yang di janjiin Franda tadi sore.
BBM dari Franda yang bilang kalau laporannya udah dia kirim.
Line,
isinya dari LINE TODAY. Tapi ada juga dari Arwi. Pasti anak ini mau nagih jatah fitrahnya yang emang sengaja ditunda. Karena Anin tau kalau adiknya yang bawel itu pasti ngga mau kalau dia kasih mentah. Katanya sih, pasti dikit kalau dikasih mentahnya aja. Mendingan minta barang aja. Ngga peduli berapapun harganya. DASAR ADEK MATRE. Dan tahun ini dia minta IPhone keluaran terbaru. Benturin jidat ke tembok dahh kalau kaya gini..
Whatsapp,
dari mbak Yuni. Ahhh, males baca. Pasti isinya juga gitu.
SMS??
Pastinya dari Bundanya yang khawatir kenapa jam segini belum ada kabar. Kalau anak perempuan kesayangan karena cuma satu-satunya dan masih di anggep kaya anak SMA ini ngga kasih kabar dia itu udah pulang atau belum. Kalau ngga udah makan atau belum.
Ahhhh... nanti aja lah...
Keburu malem. Gue juga mau pulang. Tapi nanti gue makan apa ya??
Kayanya nasi padang enak nih...
Anin segera menggendong tas ranselnya dan keluar dari kantor. Mobilnya yang lumayan besar ini langsung membelah jalanan Solo yang ngga sepadet Jakarta. Jadi dia ngga perlu emosi setiap berangkat atau pulang kerja.
***
Nasi padang di tambah ayam balado. Sudah dia lahap sendirian.
Dia memilih untuk tidak mandi dulu, karena cacing dalam perutnya sudah mencium bau sedap dari kuah khas nasi padang.
Yahhh, Anin memang semenjak mempunyai rumah sendiri memutuskan untuk hidup mandiri lagi seperti saat dirinya masih kuliah. Meskipun sesekali, Bunda kemari menengoknya saat weekend bersama dengan mbak ningsih untuk membantu membereskan rumah.
Selesai dari dengan acara makannya, Anin segera mandi. Dan segera mengambil air wudhu untuk sholat Isya'. Setelah itu dilanjutkan ritual biasanya pake body butter dan pake kaos kaki. Rasanya ini mata sebenarnya udah ngantuknya pake banget. Tapi kog ngga mau pejam juga ya. Kenapa sekarang yang ada dipikirannya malah Yusuf. Jujur, dia masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa Yusuf belum menikah. Berarti janur kuning belum melengkung. Tapi dia kan udah tunangan. Bahkan udah lama banget. Kalau diinget-inget lagi tahunnya, seharusnya udah 10 tahun lebih mereka tunangan.
Kenapa belum menikah juga coba??
Nungguin apa?? Mas Yusuf sekarang udah lulus kuliah??
Telat kali, Nin. Dia aja malah udah lulus S2 Informatika di Jerman.
Trus sukses. Sukses banget malah. Udah jadi direktur gitu kog. Kurang sukses apalagi??
Trus alasannya apa??
Anin mencoba memikirkan semua kemungkinan yang sudah terjadi dan terlewatkan dari acara stalkingnya. Anin hanya bolak-balik sambil mendekap boneka teddy bear yang ukurannya segedhe tinggi badanya dan dia panggil 'Ottosan(Ayah)'. Boneka pemberian teman-teman kuliahnya. Lama-lama capek juga mikirin orang lain yang kali ini membuat matanya benar-benar terpejam.
***