Desember adalah hari ketika Aisyah tidak bisa menghubungi kekasihnya dan mereka putus komunikasi sejak hari itu. Berita itu seketika meluluhlantakkan hatinya dan membuatnya hancur berkeping-keping bagaikan kaca yang jatuh dari ketinggian. "Apa yang terjadi?" hanya kalimat itu yang keluar berulang-ulang dari bibir merahnya. Tangisnya pecah dan tubuhnya melemah seketika. Kemudian ia jatuh pingsan. Helena meraih dan menopang tubuhnya. Ketiga kawan sekamarnya itu cemas dan panik. Mereka lalu membawa tubuh Aisyah keatas kasurnya dan membaringkannya.
Suhu tubuhnya naik dan gadis itu mengalami demam. Keringat dingin terus membasahi tubuhnya. Ketiga kawannya segera menghubungi pengurus asrama dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Aisyah. Sebagai teman sekamarnya, Claire selalu siap siaga menjaganya selama dua puluh empat jam. Ia bahkan ijin untuk tidak masuk kuliah pada hari itu. Beberapa jam kemudian, Aisyah bangun dari tidurnya namun ia merasa sangat lemah dan tidak bertenaga. Suhu tubuhnya masih tinggi dan ia masih setengah sadar. Mimpinya jadi tidak karuan dan ia sering mengigau didalam tidurnya efek dari demam tingginya.
Obat pemberian dokter tidak kunjung membuat demamnya turun. Claire berusaha lebih dengan meletakkan handuk kecil yang telah dicelupkan ke air es diatas dahi pucat Aisyah. Inilah yang dinamakan sebagai penyakit rindu. Penyakit yang disebabkan oleh kerinduan yang teramat sangat. Penyakit seperti ini tidak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Kesembuhan itu hanyalah berasal dari sang pasien itu sendiri. Namun Aisyah sudah tidak memiliki semangat lagi. Sudah dua hari ia hanya berbaring lemah di atas kasurnya. Ia hanya makan dan sholat saja. Ia bahkan tidak kuat untuk beranjak turun dari kasur itu.
"Aisyah, waktunya sholat", bisik Claire membangunkan gadis itu. Setidaknya dengan begitu semangat hidupnya akan kembali secara perlahan-lahan. Gadis ini sangat mencintai tuhan dan nabinya. Mendengar bisikan Claire, Aisyah bangun dari tidurnya dan sekuat tenaga bangun untuk duduk. Claire membantunya dan juga mengambilkan air di wadah beserta dengan handuk untuknya melaksanakan wudhu.
Gadis itu melaksanakan sholat dengan posisi duduk diatas kasur menghadap kiblat. Kepalanya terasa sangat berat dan serasa tubuhnya akan ambruk. Namun ia menguatkan diri dan menyampingkan rasa sakitnya itu. Ia harus menunjukkan yang terbaik dihadapan tuhannya yang maha segala-galanya, raja dari segala raja. Di dalam sholatnya ia tak henti-henti mendoakan kekasihnya yang jauh diujung sana.
Entah apa yang terjadi padanya namun sembilan puluh persen ia percaya bahwa lelaki itu dalam bahaya. Berita itu selalu terngiang-ngiang dibenaknya. Ia berusaha keras untuk khusyuk dengan sholatnya. Tak jarang teman-temannya ikut menangis bersamanya dan berusaha untuk membuatnya tegar dan sabar. Mereka membujuk Aisyah untuk berpikiran positif walaupun mereka sendiri juga lebih condong mempercayai apa yang telah ditulis oleh berita itu. Pemuda yang bernama Shoaib itu kemungkinan berada disana ketika tragedi tersebut terjadi.
Kemungkinan besar ia telah meninggal. Jikalau tidak, pastilah ia akan menghubungi Aisyah dengan cara apapun itu. Ia bisa menggunakan handphone adiknya ataupun orang tuanya dan bahkan teman-temannya. Namun ia tidak melakukan semua itu. Itu menimbulkan tanda tanya yang sangat besar. Kemana lagi Aisyah harus mencari tahu tentang keadaan pemuda itu. Kedua mata birunya sering terlihat sembab. Penghuni asrama di lantai atas dan bawah juga sering menjenguknya dan memberi camilan, lauk-pauk, minuman, meminjamkan selimut lebih, dan masih banyak lainnya. Seusai sholat, Aisyah melepaskan mukenanya dan Claire membantunya melipat mukena itu lalu menyimpannya di lemari Aisyah.
Ia melirik jam dinding dan berkata dengan suara lemah, "Helena dan Caroline sedang di kampus ya?" Lawan bicaranya mengangguk lalu berkata, "Tadi Caroline sempat memasak untukmu sebelum berangkat kuliah. Helena juga selama dua hari ini, dia selalu mencatat materi perkuliahan khusus hanya untukmu. Jarang sekali tulisannya bisa serapi dan sebagus ini. Pasti ini karena demi Aisyah. Ia tidak ingin matamu sakit ketika membacanya." Ia membuka buku catatan milik Helena dan menunjukkannya kepada Aisyah. Aisyah tersenyum lemah mendengar lelucon Claire.
"Kalian tidak memberitahu orang tuaku kan tentang keadaanku? Aku tidak ingin mereka khawatir dan mencemaskanku", kata gadis itu. "Tenang saja, Aisyah. Semua baik-baik saja. Orang tuamu tidak tahu apapun. Setiap kami mengangkat telfon dari ibumu, kami selalu mengatakan hal-hal yang baik. Oh iya nanti aku ada kerja kelompok jam dua siang. Kalau Helena dan Caroline belum pulang, aku akan meminta bantuan Paula untuk menjagamu sementara waktu sampai salah satu dari kami pulang. Kebetulan dia hari ini tidak ada kelas dan hari ini juga adalah tugas piketnya membersihkan lantai atas asrama. Akan kusuruh dia untuk mampir kesini." "Terimakasih, Claire." Aisyah merasa terharu melihat kepedulian teman-temannya. Kedua matanya berkaca-kaca. Sambil melahap makanan masakan Caroline, ia masih dapat merasakan lidahnya yang pahit. Ia tiba-tiba menginginkan sesuatu. "Apakah ada Tostitos?"
Tostitos adalah snack yang terbuat dari jagung dan berbentuk kripik. Snack ini juga sering disebut sebagai tortilla chips, snack terfavorit semua orang amerika. "Ada, tunggu sebentar ya aku ambilkan." Claire segera keluar dari kamarnya dan menutup pintu itu. Ia kemudian turun lalu berlari keluar menuju swalayan terdekat. Sebenarnya tidak ada persediaan snack Tostitos di kamarnya. Helena sudah menghabiskannya dua hari yang lalu. Namun demi memenuhi permintaan Aisyah, ia rela keluar untuk membelinya dan tidak menginginkan Aisyah mengetahuinya. Maka ia melakukannya secara diam-diam.
Di dalam kamar, ketika Claire menutup pintu kamarnya, ia kembali melanjutkan aktifitas makannya. Sepersekian detik kemudian, handphone nya berdering. Aisyah merasa sangat lemah untuk meraihnya yang tergeletak diatas laci. Sangat jauh untuknya saat ini. Ia membiarkannya hingga suara dering itu mati sendiri. Beberapa detik kemudian, handphone itu berdering untuk yang kedua kalinya. Ia membiarkannya hingga mati sendiri. Itu berlangsung hingga dering keempat. Pasti itu hanyalah teman-teman kelasnya yang menanyakan kabarnya, pikirnya. Mereka sering menelpon dan teman-teman sekamar Aisyah yang memberitau perkembangan kesehatan Aisyah kepada mereka.
Mendengar dering keempat, ia mendesah kesal lalu sekuat tenaga bangkit dari kasurnya. Langkahnya gontai dan kepalanya seperti dihantam oleh palu godam, terasa sangat berat. Dengan gerakan tangan yang lemah ia meraih handphone itu dan melihat layarnya. Matanya yang sayu itu seketika membelalak lebar ketika melihat nama itu kembali muncul dilayar handphone nya. Sang pemilik nama yang selalu dirindukan seperti pungguk merindukan bulan. Senyumnya seketika mengembang dan suhu tubuhnya perlahan menurun.
Dengan gerakan jemari yang cepat, ia mengangkat telfon itu. Terdengar salam dari seberang sana. Tuan Turki itu kembali padanya. Suara yang sangat dirindukan akhirnya terdengar kembali. Ia berkata bahwa keadaannya sehat wal'afiat. Kebahagiaan Aisyah kembali memenuhi dadanya yang haus akan dia. Shoaib meminta maaf dan menanyakan kabar kekasihnya selama ini. Seperti biasa, Aisyah bercerita panjang lebar padanya tentang seberapa rindunya dia, tentang demamnya, tentang teman-temannya yang sangat perhatian, dan lain sebagainya. Shoaib meresponnya dengan hangat seperti biasanya. Rasa rindu yang ditanggung oleh Aisyah lebih besar dibandingkan dengan perasaan patah hatinya. Ia tidak menanyakan alasan mengapa pemuda itu menghilang hingga akhirnya Shoaib bercerita dengan sendirinya.
"Aisyah." Diakhir kalimat gadis itu, Shoaib menyelanya sebelum Aisyah bercerita membahas topik selanjutnya. Ada hal yang sangat penting ingin dia sampaikan dan ia ingin kekasihnya itu mengetahuinya. Ketika mendengar nada suara Shoaib yang berbeda, ia mengerti bahwa ini saatnya untuk serius. Ia tahu bahwa pemuda itu ingin mengatakan sesuatu yang penting. Ia dapat menebak Shoaib akan membawa pembicaraan itu kearah mana namun ia tidak terlalu yakin akan hal itu.
Aisyah diam tidak berkata apa-apa, menunggu pemuda itu menjelaskan. Gadis itu tengah mempersiapkan hatinya untuk mendengarkannya. Apakah Shoaib telah mencintai wanita lain? Ataukah dia akan dijodohkan disana? Atau mungkin yang lainnya? Didengar dari seberang sini, pemuda itu menghela nafasnya panjang. Seolah-olah ia berat untuk mengatakannya. "Aisyah, ibuku meninggal."
Aisyah tak dapat berkata apa-apa setelahnya. Suaranya tercekat dan butiran airmata satu per satu jatuh membasahi pipinya. "Aisyah kenapa?" kata Shoaib mendengar nafasnya yang tak beraturan. "Innalillahi wa innalillahi rojiun." Mereka bergeming sejenak. Shoaib menanti Aisyah menyelesaikan tangisnya. Pemuda itu ingin sekali datang dan memeluknya. Ia ingin memberinya tempat di bahunya untuk tempatnya menangis. Aisyah juga ingin memeluk pemuda itu atas kehilangan ibu tersayangnya.
Namun apa daya, jarak yang membentang luas itu memisahkan mereka sangat jauh. Hanya udara yang dapat mewakilinya. "Aku akan selalu bersamamu." Mereka berdua mengucapkan itu secara bersamaan. Menyadarinya, Aisyah bisa sedikit tersenyum. Sejak hari itu, mereka selalu berkomunikasi. Shoaib telah online dan kembali padanya.
Pada sore harinya di suatu pedesaan di Turki, laki-laki paruh baya datang kerumah adiknya. Kedua bapak-bapak itu berbincang-bincang hangat dan adiknya menjamu kakaknya seperti biasanya. Kemudian ayah Shoaib mulai menggiring pembicaraan itu ke topik yang lebih serius. Saat itu mereka hanya berbicara empat mata di ruang tamu. "Aku ingin melamarkan putrimu, Ayesha, untuk Shoaib."
Lamaran itu sangat diharap-harapkan oleh adiknya sejak sekian lama. Namun ia tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk maju dan melamarkan Shoaib untuk putrinya karena Shoaib adalah seorang calon dokter. Ia mengira bahwa Ayesha tidak cocok bersanding dengannya dan mungkin Shoaib juga mengharapkan gadis lain diluar sana, bukanlah Ayesha. Lamaran ayah Shoaib dengan senang hati langsung diterimanya. Ia juga tahu bahwa putrinya telah lama memendam cinta pada pemuda itu. Bahkan Ayehsa sejak di bangku SMP, dia sudah menyukai Shoaib. Ia dapat membaca semua itu dari gerak-geriknya walaupun ia berusaha untuk menyembunyikannya.
"Aisyah, sejujurnya aku sering memimpikanmu." Ungkapnya suatu hari. Aisyah tersenyum mendengarnya. "Aku juga, tuan. Aku juga memimpikanmu." Shoaib bergumam lalu berkata dengan nada suara yang ragu-ragu, "Tetapi yang aku mimpikan berbeda." "Maksudnya?" kedua alis Aisyah menyatu bertanya-tanya. Pemuda Turki itu ragu untuk meneruskan. Ia bergeming sejenak.
Aisyah mengulangi pertanyaannya lagi. Kemudian kekasihnya berusaha merangkai kata-kata agar gadis itu mengerti dan tidak marah padanya karena ia sangat mengenali pribadi Aisyah. "Aku selalu memimpikan bahwa..... kita melakukannya. Melakukan hubungan itu, hubungan suami istri." Mendengarnya, wajah Aisyah seketika merah padam. Antara marah, malu dan merasa berdosa. Secara tidak langsung ia ternyata telah menjadi fitnah terbesar untuk pemuda itu walaupun jarak mereka yang jauh dan tidak memungkinkan sekali untuk saling bersentuhan secara fisik. Namun, setan selalu menemukan jalannya untuk menjebak anak-anak Adam.
Pada awalnya, ia kira bahwa itu akan baik-baik saja dengan menjalin hubungan jarak jauh dengan pemuda itu. Namun ia tidak menyangka bahwa akan sejauh ini dan kekasihnya sampai memimpikan hal-hal yang semacam itu. Pengakuannya itu membuatnya sangat terkejut, sedih, dan malu kepada Allah. Ia merasa menjadi wanita yang sangat hina sekarang.
"Aisyah? Apakah kau masih mendengarku? Aku tidak akan meminta apa-apa padamu, aku hanya mengatakannya supaya kau tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku selama ini. Tenang saja, jangan khawatir. aku tidak akan menyuruhmu untuk menunjukkan tubuhmu", kata Shoaib dengan lembut. Ia dapat merasakan bahwa gadis itu terkejut atas pengakuannya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menetralisir suasana.
"Bagaimana aku bisa tenang kalau anda selalu memimpikanku dengan kondisi seperti itu? Bagaimana ini bisa terjadi?" nada suaranya terdengar sedih. Laki-laki yang selama ini dia kira bisa menahan nafsunya, ternyata tidak. Diam-diam dia membayangkan bagaimana lekuk tubuhnya dan akhirnya ia memimpikan sosok Aisyah disetiap malamnya, menemani tidurnya dibawah selimut. Shoaib meminta maaf padanya berkali-kali namun Aisyah tidak merespon apa-apa.
Disisi lain, Shoaib juga belum mampu untuk ke Amerika dan melamarnya walaupun ia sangat menginginkannya. Ia memerlukan sangat banyak sekali uang untuk mewujudkan mimpi mereka berdua. Untuk saat ini pernikahan mereka adalah hal yang mustahil dan tidak mungkin. Namun perlahan hawa nafsu mereka dengan pasti saling mengejar dibelakang dan berpacu dengan waktu. Gerbang setan sekarang terbuka secara lebar ditengah-tengah mereka. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjebak keduanya ke jilatan api neraka.
Aisyah memutuskan untuk tidak menghubungi pemuda itu dahulu. Ia mengatakan itu kepada Shoaib dengan bahasa yang lembut, berusaha untuk tidak menyakiti hatinya. Walaupun berat hati, pemuda itu mengiyakan keputusannya. Ia juga berjanji untuk tidak membayangkan Aisyah lagi. Beberapa hari mereka putus komunikasi. Namun, nafsu mereka semakin besar dan tidak tertahankan. Bayang-bayang Aisyah tidak bisa dihapus dan Aisyah juga merindu yang teramat sangat kepada pemuda Turki itu.
Di tengah-tengah perasaan yang membludak itu, ayahnya memanggilnya untuk berbicara serius empat mata. Ia memanggilnya untuk duduk diruang tamu. Shoaib duduk dengan tatapan mata yang bertanya-tanya. Kemudian ayahnya mengutarakan keputusannya itu kepada putranya. Ia akan menikahkannya dengan Ayesha, sepupunya. Keputusan itu sudah bulat dan bagaikan petir yang menyambar. Itu membuat kepalanya sakit. Ia sangat terkejut dan masih tidak percaya atas keinginan ayahnya itu.
"Kenapa ayah melakukannya? Ayah tahu kan kalau aku sudah mempunyai Aisyah?" kata Shoaib dengan tatapan pilu. "Percuma saja kau mempertahankan hubunganmu itu. Kita tidak punya banyak uang untuk membawanya kemari. Lebih baik kau menikah dengan Ayesha saja. Lebih cepat, lebih baik. Dia tidak kalah cantik dan baik. Dia juga berprestasi dan yang lebih penting dia lebih memahami tentang budaya kita." Putranya menunduk sedih. Ia bergeming untuk sesaat merangkai kata-kata untuk menolak keputusan ayahnya itu dengan sopan. "Tetapi aku tidak ada perasaan kepada Ayesha, ayah. Aku sama sekali tidak mencintainya."
Ayahnya tidak memperdulikan perkataan Shoaib dan berkata dengan angkuhnya, "Pernikahan tidak diharuskan adanya cinta, nanti cinta akan datang dengan sendirinya. Lagipula kau tahu apa tentang cinta. Ayah lebih berpengalaman darimu. Dulu ayah juga tidak mencintai ibumu ketika awal menikah, tetapi lihatlah, cinta datang dengan sendirinya dan semua baik-baik saja. Percayalah pada ayah dan menikahlah dengan Ayesha. Dia baik untuk masa depanmu daripada gadis Amerika itu."
Pemuda itu tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia kemudian berdiri meninggalkan ayahnya dan mengunci diri di kamar. Ia tidak akan pernah menyetujui perjodohan itu. Diam-diam ia kembali ke asrama menaiki bis malam. Ia akan tinggal disana sampai semester genap dimulai seminggu lagi. Semoga ayahnya mengerti mengapa ia pergi secepat itu dan semoga ia membatalkan perjodohan itu.
Asramanya masih terlihat sepi. Teman-temannya belum ada yang kembali kesana. Ia kemudian mengambil sapu dan membersihkan kamarnya dan lorong depan pintunya. Setelah membersihkan kamarnya, Shoaib kemudian pergi ke toko untuk membeli bahan-bahan makanan untuk seminggu kedepan. Ia membawa dua tas plastik besar di tangan kanan dan kirinya. Ia melipat lengan bajunya hingga kesiku. Terlihat urat-urat di tangannya akibat menahan beban itu.
Sesampainya di asrama, ia kemudian memasukannya ke dalam kulkas yang berada di dekat dapur. Kamarnya yang berukuran luas itu berisikan lima kasur untuk lima orang. Kamar itu sangat luas dibandingkan dengan kamar Aisyah di asramanya. Kelima kasur itu tidak memiliki kayu penyanggah sehingga mereka tidur dibawah dengan hanya dibatasi oleh karpet yang menghambat hawa dingin dari lantai agar tidak naik ke kasur. Mahasiswa-mahasiswa itu biasa makan dan melakukan aktifitas lainnya diatas karpet yang tebal itu. Kamar itu juga dilengkapi oleh dua lemari kayu yang besar, satu penghangat ruangan, dan rak-rak sepatu. Disana tidak ada meja belajar. Ia kemudian duduk di karpet dan membaca ulang buku perkuliahannya.
Ditengah-tengah konsentrasinya, seketika tidak sengaja ia melirik kearah handphonenya. Sejak hari itu handphonenya tidak pernah menampilkan nama kekasihnya. Gadis itu benar-benar telah membulatkan tekadnya untuk memberi waktu jeda demi hubungan ini. Menikam rindu dan hati masing-masing. Perlahan mereka berusaha menutup pintu-pintu setan dan mencari restu Allah. Maka dari itu ia sama sekali tidak ada niatan untuk memberitahu gadis itu tentang perjodohan yang direncanakan oleh ayahnya. Ia khawatir kalau gadis itu akan semakin menjauh darinya. Ia memutuskan untuk berjuang sendiri disini, memikirkan cara untuk membuat ayahnya membatalkan perjodohan itu. "Ya Allah yang maha baik, aku hanya menginginkan Aisyah seorang. Tolonglah kami, Ya Allah. Mudahkanlah jalanku untuk menghalalkannya. Pinjamilah hamba uang yang cukup untuk menjemputnya. Semua hal tidak ada yang tidak mungkin bagi-Mu, Ya Allah. Bantulah kami", batinnya.
Jauh di benua Amerika, di waktu yang sama Aisyah sedang menunaikan sholatnya. Ia terlihat khusyuk dan sesekali meneteskan air mata. Hatinya sungguh sakit menahan rindu yang menggelora. Relung dadanya yang sempit itu serasa sesak. Namun ia harus melakukannya untuk sebuah kebaikan. Ia tidak bisa meninggalkan pemuda itu, namun ia juga tidak bisa untuk bersamanya untuk saat ini. Ia mengadu dan memelas kepada tuhannya. Ia meminta belas kasihan dan pertolongan-Nya betapa ia sangat menginginkan Shoaib.
Kemudian, perlahan urat saraf dan otot-ototnya dirasakan melemah dan tak berdaya. Ia telah dimabukkan oleh cinta. Ia tidak menginginkan siapapun selain dia. Kamarnya terasa sangat sunyi sekali seakan-akan udarapun mendengarkan setiap doanya dan mengamininya agar Allah mengabulkan untuknya. Tak luput, semesta dan seisinya juga mengamini doa kedua insan itu. Semua mendukungnya agar Allah mengabulkannya.
"Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Ketiga kawannya sebelum turun ke kafetaria juga sempat menghibur dirinya. Namun usaha mereka sia-sia dan Aisyah tetap terbalut oleh perasaan sedihnya. Kisah cintanya begitu rumit. Seusai berdoa, Aisyah mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Seketika itu ia merasa hawa dingin yang konstan menerpa tubuhnya secara perlahan. Nafasnya serasa tercekat seperti halnya seseorang yang menaiki wahana roller coaster yang terjun dari atas menuruni rel. Sepersekian detik kulitnya mati rasa dan kepalanya pusing. Tubuhnya sangat ringan sekali dirasakannya seperti hendak akan pingsan.
Aisyah lalu membuka matanya dan melepaskan telapak tangannya yang menutupi wajahnya itu. Aisyah melongo melihat apa yang saat ini terjadi. Entah ia berada dimana sekarang. Tempat itu sangat asing baginya. Ia tetap dalam posisi yang sama, duduk diatas sajadahnya. Lantai ruangan yang luas ini tertutupi oleh karpet yang tebal dan hangat. Ada lima kasur berjajar tanpa adanya kayu penyanggah dan membuat kasur itu bersentuhan langsung dengan karpet. Dilihatnya juga dua lemari kayu yang besar, satu penghangat ruangan yang diletakkan di pojok, dan rak-rak sepatu.
"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: 'kun (jadilah)', maka jadilah ia." (Q.S. An-Nahl : 40)
Aisyah mengalami peristiwa teleportasi. Allah mengabulkan doa-doa kedua insan itu dan mewujudkannya menjadi kenyataan. Sekarang mereka berdua harus menghadapinya bersama-sama, apapun ujiannya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi sang pencipta bahkan jika itu bertentangan dengan akal manusia, seperti halnya peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad. Semua orang mengatainya gila dan pendusta. Padahal memang itulah yang terjadi. Peristiwa Isra Mikraj adalah nyata. Itu bukan hanya dongeng belaka. Rasul kami tidak pernah berbohong.
Hal yang tidak realistis pun, jika Allah menghendaki maka itu akan menjadi kenyataan. Semuanya memungkinkan jika kita yakin kepada-Nya. Jika sudah yakin dan kita memiliki suatu keinginan, maka Allah akan menunjukkan keajaiban-Nya. Seperti tongkat Nabi Musa yang dapat membelah lautan, seperti Nabi Muhammad yang membelah bulan purnama menggunakan telunjuknya, seperti Nabi Yunus yang keluar dari perut ikan paus. Semuanya mudah bagi Allah bagai simsalabim dalam hitungan detik. Kun fayakun.