Chereads / Hey! My Baby Sitter / Chapter 5 - Lima

Chapter 5 - Lima

Vienna membereskan tempat bekal yang baru saja di gunakan. Ia memberikan sebotol air mineral bergambar pororo kepada Kai. Anak lali-laki itu meneguk perlahan hingga habis. Lalu, ia mengambil sebotol air mineral milik Luke yang dibawa dari rumah. Pria itu juga meminum hingga tandas tidak tersisa.

Kai tiba-tiba menguap, sepertinya sudah waktunya Kai tidur siang. "Biarkan saya saja Tuan. Anda bisa menikmati waktu Anda."

Kai merentangkan tangannya meminta gendong Vienna. Vienna segera menggendong Kai dan membawa Kai ke kamar milik Luke yang ada di ruang kerja Luke yang luas dan besar. Vienna tahu letak kamar Luke, karena dahulu saat Kai masih berusia 4 tahun pernah tidur seharian di kamar Luke di kantor, karena merengek tidak mau pulang.

Luke hanya diam saja, ia mengambil tas bekal dan sisa tempat kue yang digunakan Kai. Ia keluar dari ruang bermain Kai, pergi ke sofa untuk meletakkan tas bekal miliknya dan sisa alat makan lainnya milik Kai. Luke kembali ke kursi kerjanya dan mengecek kembali pekerjaannya. Begitu banyak pekerjaan dan kegiatan hari ini hingga beberapa hari ke depan. Untung saja, hari ini ia bisa bertemu dengan Kai dan bermain bersama dengan putra tunggalnya itu.

Lamanya berada di tempatnya, Luke tidak kunjung mengerjakan pekerjaannya. Ia hanya membolak-balikkan kertas yang di pegangnya tanpa mampu untuk berpikir. Sia-sia saja sekarang, pikirannya tidak fokus untuk bekerja. Sedari tadi, pikirannya terus membayangkan wajah Vienna yang tersenyum lembut kepadanya atau melihat betapa lembutnya Vienna kepada Kai, ataupun melihat seorang Vienna yang begitu cantik sedang menggendong Kai dalam pelukannya. Aura keibuan seorang Vienna membuat Luke sulit untuk mengalihkannya.

Bahkan, Luke tidak pernah menduga dengan sikap Vienna baru saja menyuapi dirinya dengan tenang. Ia saja menikmati kegiatan Vienna yang menyuapinya. Lebih tepatnya, ia menyukai sikap Vienna. Vienna memang sudah bekerja sebagai pengasuh Kai sejak Kai berumur 2 tahun. Sudah 3 tahun lamanya Vienna bekerja bersamanya dan sudah 3 tahun Luke mencari jawaban mengenai dirinya.

Bagi Luke, Vienna bukanlah gadis biasa berusia 25 tahun sekarang, bukanlah seorang pengasuh yang baik untuk Kai, dan bukanlah seorang pekerja yang diangkatnya 3 tahun yang lalu. Namun, ada perasaan lain yang hinggap dalam dirinya sejak 3 tahun lalu.

Luke menyandarkan tubuhnya di kursi, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut dengan semua perasaannya tentang Vienna. Luke tidak bisa mengatakan hal ini adalah sebuah perasaan jatuh cinta. Ia saja masih mencintai istrinya, mungkin. Namun, saat berada di  dekat Vienna, ia ingin lebih dekat dengan gadis itu. Tetapi, ia tidak bisa melakukannya. Selama 3 tahun, ia hanya bisa menghindar dengan bersikap dingin dan berbicara seperlunya saja.

Pikiran dan perasaan yang terus berkecamuk membuat Luke kesal. Ia mengusap wajahnya kasar. Ia bingung harus melakukan apa sekarang. Luke beranjak dari duduknya, berjalan menghampiri Kai yang berada di kamarnya.

Luke membuka pintu kamar dengan perlahan, ia hanya takut jika Kai sudah tertidur dan ia malah mengganggu Kai. Tetapi apa yang dilihatnya membuat Luke seketika termangu di ambang pintu. Kedua matanya menatap pemandangan yang membuat hatinya menghangat. Vienna masih mengusap punggung Kai yang sudah tertidur dalam gendongannya. Kai tertidur dengan pulasnya bahkan terlihat nyaman menyembunyikan wajahnya di leher Vienna. Senandung lembut dari Vienna bagaikan lagu penghantar tidur terbaik untuk Kai. Ini pertama kalinya untuk Luke, melihat sosok keibuan Vienna. Sebenarnya, ia sering melihat Vienna menggendong Kai yang sedang tidur. Namun entah mengapa, saat ini ia merasakan hal yang berbeda pada Vienna.

Apa mungkin, perasaanku ini karena aku membutuhkan figur seorang ibu untuk Kai? Atau memang aku membutuhkannya dalam hidupku yang hampa ini?, batin Luke berkecamuk.

Luke berjalan perlahan menghampiri Vienna yang masih bersenandung tanpa memperhatikan kehadiran Luke. Seketika, tangan kekar Luke melingkarkan  di perut Vienna dari belakang. Gadis itu sempat terkejut dan menoleh, mendapati Luke yang sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak biasa.

"Tu...tuan?"

"Jangan berbicara keras-keras, itu membuat Kai bangun nantinya," Luke berbicara dengan berbisik begitu rendah tepat telinganya.

Vienna hanya bisa diam dengan kaku. Ia juga merasakan kepala Luke ikut bersembunyi di lehernya, sama seperti Kai. Pelukan Luke juga semakin mengerat di pinggang dan perutnya.

"Tuan..." panggil Vienna dengan berbisik.

"Sebentar saja. Biarkan seperti ini," pinta Luke dengan suaranya yang lelah.

Vienna hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tidak bisa berkutik apa pun sekarang. Vienna melihat pantulan dirinya di kaca jendela di kamar milik Luke. Ia melihat Kai yang tertidur pulas dalam gendongannya dan Luke yang memeluknya dengan erat. Kedua laki-laki itu, terlihat berusaha mencari kenyamanan dengan memeluk Vienna.

Degup jantung Vienna tiba-tiba berdetak tidak nyaman. Rasanya, ia ingin menghilang saja dari muka bumi dan tidak ingin bertemu dengan Luke. Entah mengapa pria itu yang secara tiba-tiba memiliki sikap demikian hari ini. Vienna benar-benar tidak nyaman dengan sikap Luke. Seberapa keras ia menolak, Luke semakin menariknya. Vienna pun berusaha menyadarkan dirinya sendiri, jika ia tidak mungkin merasakan 'itu'. Ia sekarang hanya merasakan tidak nyaman saja saat berdekatan dengan Luke yang merupakan majikannya.

Luke hanya seorang yang bijak dan memberikannya pekerjaan 3 tahun lalu untuk mengasuh Kai yang saat itu berusia 2 tahun. Tidak lebih dari itu. Ia hanya takut dengan sesuatu yang asing menghampirinya.

Sekitar pukul 2 siang, Kai masih terlelap di tempat tidur Luke. Semua sudah kembali ke semula. Luke kembali bekerja setelah memeluk Vienna dengan menggendong Kai. Kini hanya Kai dan Vienna saja yang berada di kamar. Acara mereka yang seharusnya cuman mengantar bekal makan siang Luke setelah itu ke toko buku, kini rencana mereka diganti karena Luke.

Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamar yang membuat Vienna menoleh. Ia melihat Owen yang membuka pintu dan berdiri di ambang pintu. "Nona, Anda di minta menemui Tuan Luke. Saya akan menjaga Tuan muda."

"Baiklah," Vienna beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar.

Ia berjalan menghampiri Luke yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Dengan hati-hati, Vienna menghampiri Luke. "Tuan, Anda memanggil saya?"

Mendengar suara Vienna yang pelan itu, Luke menghentikan sejenak kegiatannya. Ia menoleh menatap Vienna yang juga menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Kai sudah di pindahkan ke tempat tidur?"

"Sudah, Tuan."

"Baguslah. Duduklah di sofa, ada yang perlu aku bicarakan denganmu," pinta Luke dan kembali mengabaikan Vienna sejenak.

Vienna hanya mengangguk dengan kebingungan. Ia berjalan menuju sofa panjang itu, duduk di sana dengan tenang menunggu Luke selesai dengan pekerjaannya. Beberapa saat, Luke beranjak dari duduknya, ia berjalan menghampiri Vienna dan duduk kembali di sofa tunggal dekat dengannya.

"Kamu punya paspor?" tanyanya.

Vienna menatap heran, "Saya memiliki paspor, mungkin sudah kadaluwarsa karena saya tidak pernah pergi ke luar negeri."

"Lusa kita pergi ke Switzerland, ke tempat keluarga saya. Mereka ingin bertemu dengan Kai, tetapi Kai tidak bisa jauh denganmu jadi aku pun juga harus mengajakmu."

"Sa...saya juga ikut? Sa.. saya bisa menyiapkan segala keperluan Kai seperti biasanya, jadi Anda tidak perlu mengajak saya ke Switzerland."

"Tidak bisa, Kai pasti tetap mencarimu."

"Tapi Tuan-"

"Nona Vienna," pembicaraan mereka terputus saat Owen mendatangi mereka bersama Kai yang sudah bangun dalam gendongan Owen. "Tuan muda baru saja bangun dan mencari nona Vienna."

Kai yang melihat Vienna seketika memberontak kepada Owen untuk segera menghampiri Vienna. Bahkan anak laki-laki itu hampir saja menangis jika Vienna tidak buru-buru menghampiri Kai dan meraihnya dari gendongan Owen.

"Lihat, Kai memang tidak bisa menjauh denganmu. Lebih baik kamu ikut pergi ke Switzerland," Vienna hanya bisa diam dan berusaha menenangkan Kai dalam gendongannya.

"Switzerland?" ucap Kai di selak isak tangisnya yang mulai mereda. "Kakek dan nenek? Kai mau ikut... Kai ikut, kakak juga harus ikut."

Vienna sempat terkejut mendengar permintaan Kai. Gadis itu sempat menoleh ke arah Luke, tetapi pria itu malah menatapnya dengan datar dan membuatnya mau tidak mau harus berpikir mengenai keputusannya dengan akibatnya nanti. Memang tidak ada salahnya ikut Luke dan Kai pergi ke Switzerland. Terlebih memang Kai memang membutuhkannya, itu pun juga bagian dari perkerjaannya.