Chereads / Hey! My Baby Sitter / Chapter 7 - Tujuh

Chapter 7 - Tujuh

Perjalanan yang memakan waktu sedikit lama itu, akhirnya berakhir di kediaman Leander yang luas. Kai sudah bangun 20 menit yang lalu saat mereka terjebak oleh macet akibat 2 bus dan 1 mobil tiba-tiba mogok di jalan. Untung saja, anak laki-laki itu tidak rewel ataupun menangis ketika bangun.

Grey membukakan pintu untuk mereka. Kai seketika keluar dari mobil dan berlarian masuk ke dalam rumah.

"Tuan muda, jangan lari-lari!" suara teriakan Vienna tidak di indahkan oleh Kai. Anak laki-laki itu, nampaknya berlarian menuju dapur untuk menemui bibi Kely.

"Dia tetap anak-anak," suara Grey berusaha menangkan Vienna yang merasa khawatir jika Kai jatuh akibat berlarian.

"Aku tahu paman, terima kasih."

"Apa kamu akan pulang lebih awal hari ini?" tanya Grey seraya memberikan tas bekal yang diberikan Luke tadi dan boneka milik Kai.

"Entahlah, aku hanya menunggu ijin dari Kai. Jika Kai mengijinkanku pulang lebih awal, aku akan pulang. Jika tidak, aku hanya bisa menunggunya tidur lebih dahulu seperti biasanya."

"Baiklah, masuklah. Sebentar lagi Kai pasti akan mencarimu," Vienna mengangguk dan membawa semua barang yang sempat di bawanya tadi.

Vienna berjalan menuju dapur dan melihat bibi Kely dan Emy sedang memasak bersama. "Bibi, apa bibi melihat Kai?"

Bibi Kely menoleh bersama dengan Emy yang menoleh seraya mengaduk adonan. "Tidak. Mungkin Tuan muda masuk ke dalam kamarnya."

Buru-buru Vienna berlarian menuju kamar Kai. Vienna segera mengetuk pintu kamar Kai, tetapi tidak ada balasan apa pun dari dalam.

"Tuan muda, ini saya." Panggil Vienna seraya berharap ada balasan dari Kai.

Lagi-lagi tidak ada balasan dari dalam. Akhirnya, Vienna memilih untuk mengetuk sekali lagi dan membukanya perlahan. Ia masuk ke dalam dan menemukan kamar tidur Kai yang berantakan dengan seorang yang bersembunyi di dalam selimut.

"Tuan muda," panggil Vienna lembut. Kai masih tidak ingin menjawab panggilan dari Vienna. Namun, samar-samar Vienna mendengar isak tangis Kai.

Vienna memilih duduk di sisi tempat tidur Kai, mengusap selimut yang menutupi tubuh Kai. Vienna mungkin sedikit mengerti kenapa Kai bersikap demikian. "Kai sayang, kenapa menangis? Bisakah kamu membuka selimutnya?"

Kali ini Kai mau mendengarkan Vienna. Kai membuka selimut yang membungkus dirinya. Wajah Kai yang sudah banjir dengan air mata dan air ingus di hidungnya. Vienna mengambil handuk kecil yang selalu di bawanya dan di simpan di kantung seragamnya. Ia mengusap pelan air mata dan air ingus di wajah Kai.

"Sayang, kenapa menangis, hm?" tanya Vienna pelan dan selembut mungkin agar Kai tidak merasa takut atau merasa kesal.

"Kita...kita tidak jadi pergi ke toko buku... pada...padahal... aku ingin membeli buku... buku planet itu..." ucapnya di sela isak tangisnya.

"Maafkan kakak ya, lain kali kita pergi ke toko buku."

Kai menggelengkan kepalanya dengan kuat-kuat dan kembali menangis. Vienna terpaksa harus menggendong Kai, ini cara yang ampuh untuk menenangkannya.

Perlahan, Vienna menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri dengan perlahan, menepuk punggung Kai serta mengusapnya agar Kai menjadi tenang. "Maafkan kakak ya. Jangan menangis, kakak juga ikut menangis jika Kai menangis."

Kai malah semakin menangis, Vienna sedikit kesulitan jika Kai tiba-tiba menangis dan merajuk jika apa yang sudah di janjikan, tiba-tiba batal. Sesaat ia bisa menerima, namun Kai masih berumur 5 tahun. Sudah sewajarnya anak seusianya merajuk jika sesuatu hal yang tidak di gapainya.

"Bibi Kely dan bibi Emy seperti membuat camilan? Kita turun, lihat mereka memasak," Kai menggelengkan kepalanya menolak ajakan Vienna.

Sebenarnya bisa saja mereka pergi ke toko buku sekarang. Tetapi tidak memungkinkan untuk Kai. Anak seusianya mudah lelah walau mereka sangat aktif, mudah sakit jika mereka terlalu banyak gerak. Terlebih, Luke sudah mengatakan jika mereka akan pergi ke Switzerland.

"Bagaimana jika kakak ikut kamu ke Switzerland? Kamu suka?" tanya Vienna yang sontak saja membuat tangisan Kai mereda.

Kai mengangguk kepalanya dengan air mata dan air ingusnya yang menetes di pakaian Vienna. Gadis itu hanya tertawa kecil, melihat tingkah menggemaskan Kai saat ini. Mungkin, pilihan terbaiknya untuk tetap mengikuti Kai selama Kai masih membutuhkannya.

"Aku juga menyukai itu," sontak saja membuat Vienna menoleh.

Kedua matanya menatap terkejut seorang yang bersandar di sisi pintu seraya membawa sekantong kotak dengan logo toko roti kesukaan Kai.

Kai ikut menoleh, melihat Luke yang sudah datang dengan membawa kue kesukaannya. "Kue?"

"Hei sayang, kenapa menangis, hm? Papa membawakan kue kesukaanmu?" Luke mengusap rambut Kai dan mengecupnya kening Kai pelan.

"Kai pengen ke toko buku. Beli buku planet-planet?" ucapnya yang masih di sisa isak tangisnya.

"Benarkah? Papa minta maaf, tidak mengantarmu ke toko buku. Tetapi, bagaimana besok malam kita langsung berangkat ke Switzerland?"

"Besok?" pertanyaan itu seketika keluar dari mulut Vienna.

"Benar. Kita bisa berangkat besok malam, pekerjaanku selesai besok siang. Kamu tidak perlu pulang malam ini."

"Tapi, bagaimana pakaian saya?"

"Aku sudah meminta Owen dan Emy untuk melakukan hal itu. Kamu besok bisa membereskan pakaian Kai seperlunya saja. Ada banyak pakaian milik Kai di rumahku di  sana. Kamu juga bisa membawa pakaian seperlunya saja, jika kamu membutuhkan pakaian lagi, kita bisa beli di sana."

"Saya akan membawa barang saya sendiri saja. Anda tidak perlu mengeluarkan uang untuk membelikan saya pakaian."

"Baiklah, jika itu maumu. Tapi aku pun tetap akan memaksanya."

Vienna ingin kembali berkomentar, tetapi Luke lebih dahulu mengambil alih Kai dan mengajak putranya ke ruang makan. Vienna hanya bisa menghela napas dan memilih merapikan tempat tidur Kai yang berantakan.

Selama Kai bersama Luke, Vienna memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia memilih untuk mandi dan membantu menyiapkan makan malam untuk Kai dan Luke. Setelahnya, ia akan ke kamar Kai untuk mengajak Kai mandi bersama tuan Bebek.

Hingga tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Waktu yang sempurna untuk Kai tidur. Tetapi, Kai menolak untuk tidur dan memilih turun dari tempat tidurnya. Anak laki-laki itu berjalan sedikit berlarian menuju kamar Luke.

Vienna masih mengikuti Kai hingga masuk ke dalam kamar Luke yang tidak pernah ia masuki sebelumnya.

"Tuan muda, ayo tidur di kamar Anda sendiri. Saya akan membacakan dongeng untuk Anda."

"Tidak mau! Aku mau tidur sama Papa dan kakak di kamar Papa."

"Tuan muda-"

"Kenapa berteriak Kai?" tubuh Vienna seketika menegang, ketika ia merasakan ada seseorang yang sudah berdiri tepat di belakangnya.

Aroma segar daun mint yang sangat maskulin itu tercium di indra penciumannya. Tanpa menoleh, sudah tahu siapa seorang yang ada di belakangnya sekarang.

"Kai ingin tidur bareng Papa dan Kakak di kamar Papa."

"Kenapa tidak tidur di kamar Kai sendiri?"

"Tidak mau. Kai maunya tidur bareng Papa dan Kakak hari ini," Luke sebenarnya tidak apa-apa, membiarkan Kai tidur bersamanya. Tetapi, kali ini ada Vienna. Ia mungkin harus merantai dirinya sendiri agar tidak menjadi binatang buas.

"Baiklah, kamu bisa tidur di kamar Papa bersama Vienna. Tetapi, Papa harus bekerja sebentar tidak apa-apa kan?" Kai mengangguk senang dan menempatkan dirinya di tempat tidur Luke yang luas itu, mungkin bisa menampung 4 orang dewasa.

"Kamu tidurlah juga. Kai tidak bisa tidur jika tidak ada yang memeluknya."

"Anda juga harus istirahat," ucap Vienna yang tanpa sadar membalikkan tubuhnya.

Kini ia berhadapan langsung dengan Luke yang shirtles dan hanya menggunakan celana training hitam. Luke seolah sedang menggoda Vienna dengan menampilkan otot tubuh dan bentuk tubuhnya yang sempurna. Rambutnya masih basah dan air di rambutnya itu menetes di tubuhnya.

Vienna lagi-lagi berbalik dengan wajahnya yang memerah. Luke tahu Vienna sedang malu sekarang dan itu membuatnya gemas. Tanpa sadar, Luke mengusap rambut Vienna dan pergi meninggalkannya begitu saja.

Aku bisa gila!, batin mereka bersama.