Chereads / Ketika Cinta Dikhianati / Chapter 4 - Icah, Anak Mang Cahya, Datang

Chapter 4 - Icah, Anak Mang Cahya, Datang

Seminggu kemudian, pagi jelang siang, Mang Cahya dan istrinya harap-harap cemas menunggu kedatangan Icah, anak mereka. Sebelumnya saat tiga hari lalu, ada surat datang. Katanya Icah akan pulang.

Mang cahya dan istrinya lebih banyak terdiam di depan rumah. Ada rasa takut bila yang terjadi adalah tak jadi pulang atau terlambat, semisal ada halangan di jalan, atau malah terbawa ke kota lain karena di bus ketiduran. Atau yang paling keduanya tidak inginkan, Icah dihipnotis orang, hingga dibawa pergi entah ke mana, semau orang itu.

Doa Mang Cahya dan istrinya terkabul. Saat matahari sepenggalah, Icah datang akhirnya, naik ojek kampung. Kepulangannya disambut dengan haru. Ketiganya bergantian berpelukan.

Icah membawa dua tas besar, berisi aneka macam oleh-oleh. Kedua tas ini dibawakan Mang Cahya, dengan wajah berseri-seri, senang gembira. Rasa rindu dua tahun tidak bertemu dengan anaknya, terlampiaskan.

Saat satu tas dibuka, rupanya lebih banyak berupa pakaian bekas pemberian dari majikan Icah saat bekerja. Pakaian laki-laki dan perempuan. Saat Mang Cahya memerhatikan satu kemeja dan satu celana katun bekas, keluar satu pujian. "Ini kainnya juga jahitannya bagus sekali. Jauh dengan kain celana katunku yang biasa dipakai yang dibeli di pasar, dijahit di taylor terdekat."

Istri Mang Cahya nimbrung. "Namanya juga ibu kota. Ya pastilah, pakaian serba bagus, makanan serba enak, dan juga pasti uang banyak yang beredar."

"Uang juga pasti banyak ya? Iya ya, orang-orang pintar kan berkumpul di Jakarta dari seluruh Indonesia. Mereka bekerja di pemerintahan. Pemegang kebijakan."

"Emang ada yang kenal gitu?"

"Ya kenal tidak, hanya tahu, saat ini kan Bapak Presiden kita Pak Harto. Ini kan tahun 1985."

"Ah, hanya itu yang Akang tahu. Kalau menteri pertanian siapa?"

"Pak Tojib Hadiwidjaja."

"Perasaan sih bukan. Itu kan Pak Menteri yang sudah lama."

Mang Cahya nyengir. "Memang aku tidak tahu. Tahunya hanya nama presiden dan nama Bapak Wakil Presiden Pak Umar Wirahadikusumah yang orang Sumedang itu."

Icah kini nimbrung, katanya nama menteri pertanian sekarang adalah Pak Achmad Affandi. Dia tahu suka karena suka mencuri dengar bila majikannya sedang mengobrol—yang seorang pegawai salah satu departemen di pemerintahan pusat.

Tetangga Mang Cahya mulai bergiliran berdatangan, ingin tahu apa saja oleh-oleh yang dibawa yang baru pulang dari Jakarta itu. Memang di kampung ini sudah kebiasaan, bila ada salah seorang penduduknya yang baru pulang bekerja, selalu berkumpul. Icah hanya tersenyum malu karena tak banyak membawa oleh-oleh.

"Kan aku bukan pulang dari luar negeri yang menjadi TKW. Kalau mereka, barulah oleh-olehnya banyak. Uangnya juga banyak. Seperti Ma Eha itu kan, mantan TKW, sekarang sawahnya luas."

Di kampung ini, memang bila ada rumah yang mentereng, kebanyakan sebagai hasil dari jerih payah di negeri orang—yang tentunya bertaruh dengan nasib. Bila baik, mendapatkan tuan yang baik. Bila nasib tidak baik, mendapatkan majikan yang bahkan kejam.

Salah seorang tetangga, teman kecil bermain Icah ini, tiba-tiba nimbrung bercerita, dulu sepulang sekolah dasar bersama Icah, sering tak langsung pulang ke rumah. Malah sengaja melewati kebun. Keduanya mengambil jambu batu atau mangga punya orang, yang memang tidak begitu tinggi. Icah kebagian memanjat, temannya ini kebagian berjaga-jaga—jangan sampai ada orang yang memergoki. Keduanya kerap kali berhasil. Jambu-jambunya atau manga-mangga dimasukkan ke dalam tas. Besoknya di sekolah, dimakan.

"Akhirnya kita bertemu kembali. Syukurlah," kata temannya.

Lalu berangsur, tetangga yang lain berdatangan, ingin melihat Icah yang kini tampak lebih montok dan juga berwajah ceria. Bahkan kulitnya menjadi bersih. Tak seperti saat berangkat, berkulit kecoklatan karena sering ikut turun ke sawah, terkena terik matahari, dan terkena air sawah yang kekuningan.

Saat siang, suasana kembali sepi. Icah meminta izin pada orang tua ingin tidur. Icah ingin melepas penat. **

Kokok ayam tetangga, membangunkan Icah—dan pertama bangun. Mendadak, terbersitlah bayang-bayang saat tinggal di ibukota bersama majikan yang membekas di hatinya. Majikannya hidup senang. Tak seperti di sini, bersama orang tuanya, yang untuk memasak pun mata sering menjadi perih terkena asap kayu bakar di tungku. Bahkan pakaian menjadi bau apak bekas asap.

Sekian lama tinggal di rumah orang, dalam sehari itu sangat terasa perpindahan jam demi jamnya. Sepertinya tak ada istirahat. Saat siang tak bisa tidur. Bahkan malam pun harus siap sedia, bila majikan memerlukan tenaga. Sedangkan di rumah sendiri, bisa mengatur waktu sendiri. Meskipun ada kalanya waktu malah terbuang percuma.

Icah masih mengantuk, tidur lagi.

Ibunya kemudian bangun, saat melihat Icah, segera dibangunkannya.

"Bangun, tak baik sudah subuh masih saja tidur. Ingat kan dulu yang pernah ibu katakan?"

"Ya, kalau subuh belum bangun, akan susah rezeki. Harus dibiasakan bangun agar bisa salat Subuh kemudian berdoa. Itu kewajiban orang tua untuk mengingatkan pada anaknya."

Dengan malas, pada akhirnya Icah bangkit. Meraih handuk bersih, yang dibawa dari Jakarta, pergi ke kamar mandi, di pinggir rumah, yang bagian atasnya tetap terbuka. Pintunya pintu angkat, terbuat dari gedek bilahan bambu. Bak air sedang kosong. Icah harus menimba air di sumur dahulu, sekalian bak kecil ini dipenuhinya dahulu. Bila hujan, air di bak bercampur dengan air hujan.

Selesai mandi, hanya dengan berhanduk, kembali masuk ke kamar.

Setelah sarapan pagi—yang kali ini dengan goreng ayam untuk menyambut kedatangan Icah, Icah bercerita tentang kelakuan-kelakuan pembantu-pembantu rumah tangga yang lain. Ada pembantu rumah tangga yang dari kampung jauh, malah menjadi angkuh, merasa sok kuasa. Yang miris, pernah ada kejadian seorang pembantu merebut suami dari istri majikannya—padahal pembantu itu pilihan istri majikannya sendiri. Sungguh tak takut karma.

Mang Cahya ikut nimbrung. "Ya itu salahya sendiri. Harusnya cari pembantu itu perempuan paruh baya, yang sekiranya tidak dapat mengggoda majikan yang pria. Mana ada kan, kucing menolak goreng ayam?"

Istri Mang Cahya ikut juga nimbrung. "Eh, itu Akang lagi makan goreng ayam? Jangan-jangan, kau juga bandot? Yang suka daun muda?"

"Iya aku memang bandot. Penyuka daun muda. Bahkan setiap hari kan aku memakannya. Daun singkong, daun pepaya, banyak kan sekitar. Kita tinggal memetik. Tak seperti orang kota, bila ingin daun muda, harus membeli."

Icah menjadi jengah karena orang tuanya kini membahas daun muda. Sedangkan dia sendiri kini telah menjadi daun muda—sedang tumbuh sebagai seorang gadis.

Rupanya Icah mengerti, akan ke arah mana pembicaraan kedua orang tuanya. Icah bergegas ke kamarnya—yang tanpa pintu, hanya bergorden yang sudah lusuh itu. Gorden yang semulanya berwarna orange, telah berubah warna, juga bernoda hitam-hitam. Noda hitam-hitam ini akibat gorden ini suka digunakan sebagai lap sehabis makan—saat Mang Cahya malas mencari lap, sedang berada di mana.

**

Saat menjelang siang, Mang Cahya memergoki Icah sedang termenung di kamar, di depan jendela, tatapannya tertuju ke hamparan kebun singkong. Di kejauhan, tampak petak-petak sawah yang masih hijau, tempat kedua orang tuanya ikut menanam padi, dengan upah standar, yang biasa berlaku di kampung ini dan kampung-kampung sekitar. Di satu pematang, Icah melihat seorang gadis yang pergi bersekolah, berbaju putih biru.

"Apa yang kau lamunkan Icah?" Mang Cahya mendadak bertanya.

Pertanyaan ini nyaris membuat tangan Icah terlepas di dagunya. Icah memandang bapaknya, tak seucap kata dari mulutnya. Tak lama kemudian, Ibunya masuk ke kamar.

"Kau punya pacar selama di Jakarta itu? Atau bahkan kau hamil?"

"Icah baik-baik saja." Mata Icah bersorot tajam, meski tertuju ke lantai, yang berupa pluran semen. "Amit-amit, kalau hamil sebelum menikah. Didikan Ibu dan Bapak, waktu Icah kecil begitu terpatri di hati. Icah baik-baik saja Pak, Bu."

"Lalu, apa yang kau inginkan?"

"Tidak Pak, Bu. Aku sekarang hanya ingin istirahat. Masih capai sepulang bekerja dari Jakarta."

Orang tua Icah lalu membiarkan Icah menyendiri, dengan lamunannya.

Saat itu Icah kecewa. Marahnya pada Ibu-Bapaknya hanya bisa ditahan dalam hati. Keinginannya untuk meneruskan sekolah ke SMP, tak disetujui Ibu-Bapaknya—dengan alasan yang sudah basi: tak ada biaya, takut bila di tengah jalan terputus—benar-benar membuat hati Icah masgul, membekas di sanubari sampai kini.

Saat itu Icah diberi pilihan: menikah muda atau pergi bekerja. Icah memilih yang kedua, meskipun sebenarnya tetap ingin terus bersekolah. Saat itu rupanya tetangganya, seorang Ibu yang juga masih muda, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, sedang mencari pembantu. Hingga akhirnya mau tak mau, Icah pergi berangkat pada usia di semuda itu, dengan diantar orang tuanya hanya sampai di jalan raya. Hingga Icah bersama ibu muda itu tiba pula di rumah majikan.

Icah tak menyalahkan orang tuanya yang tak bisa melanjutkan sekolah. Bapak dan Ibunya saja sampai sekolah di kelas 3 SD.

Kini di rumah, Icah harus terbiasa lagi pada situasi serba susah. Uang hasil bekerjanya tak seberapa.

**