Chereads / Ketika Cinta Dikhianati / Chapter 6 - Mang Cahya Punya Menantu

Chapter 6 - Mang Cahya Punya Menantu

Mang Cahya rupanya ingin cepat punya menantu. Tak tinggal diam dengan mencari informasi sesosok pria. Pergi ke mana pun selalu menyempatkan bertanya tentang ini.

Tetapi telah satu bulanan, tak juga didapat informasi.

Saat Mang Cahya pergi ke satu pos hutan, bertemu dengan seorang petugas kehutanan, mengobrol. Didapat informasi, ada perjaka baru yang bekerja.

Kata petugas kehutanan yang ini, selepas Zuhur, petugas baru tersebut lebih sering berada di sarang burung walet sebagai tempat beristirahat sementara. Sarang burung walet ini sebetulnya berupa lubang yang dalam di satu cadas, lebih berupa gua, hanya berbentuk horisontal, dari atas ke bawah. Sedangkan gua berbentuk vertikal. Namun orang-orang sekitar lebih suka menyebut gua daripada lubang. Mungkin agar lebih berasumsi seram. Atau mungkin 'menghormati' penghuninya.

Di pinggir gua itu—sebut saja gua—ada juga petugas penjaganya, bersama keluarganya, tinggal beraktivitas sehari-hari. Makan, minum, mandi. Ya, di belakang rumahnya yang berdinding gedek—lebih tepatnya sebagai rumah jaga—ada mata air kecil. Kecuali mandi, maka istri petugas yang ini pergi sendiri ke Sungai Citarum yang dekat, hanya menyeberang jalan proyek, lalu rerimbunan semak belukar, dan tiba pula di Citarum. Namun di aliran Sungai Citarum mesti berhati-hati karena sesekali aliran air akan deras.

Rupanya, petugas jaga walet masih saudara jauh Mang Cahya, jadi tak ragu lagi.

Lalu tak lama, dengan sengaja Icah dibawa Ibunya ke rumah petugas itu. Icah sebelumnya berdandan, malah membawa bekal pakaian.

Saat tiba, petugas yang baru itu sedang tiduran di musala kecil, yang dibangun swadaya penjaga walet.

Lalu dua pasang mata beradu. Keduanya saling menatap lama. Namun pertemuan itu hanya sekejap. Petugas itu harus kembali mengawasi hutan-hutan di petak lain—yang tidak akan ikut ditenggelamkan menjadi bagian Waduk Saguling.

Saat itu sedang musim kupon Porkas. Bila malam Selasa atau Jumat, ada saja orang yang numpang menginap di penjaga walet ini. Berharap mendapat mimpi sebagai petunjuk, kode. Beberapanya mendapat kode jitu, tembus.

Ada juga yang sengaja membawa kelapa hijau asli. Kelapa hijau asli itu kulit buah bagian dalamnya berwarna kemerahan, bukan putih.

Kelapa muda hijau asli itu dikupas beberapa kali bagian atasnya, lalu disimpan semalaman di mulut gua walet. Saat pagi hari dicari. Terteralah seperti tulisan-tulisan yang mirip huruf-huruf tertentu. Entahlah, apakah yang gaib yang menuliskannya, yang jelas, bekas kupasan di kelapa memang menimbulkan garis-garis, atau corak-corak tertentu. Anehnya, ada beberapa yang jitu.

Di kemudiannya, petugas kehutanan yang baru itu makin rajin bertandang ke gua walet. Ya karena mulai timbul rasa suka pada Icah.

Mang Cahya di rumah, bicara pada istrinya. "Kita pergi ke dukun ya. Agar petugas yang baru itu menjadi tunduk, mau diajak menikah dengan Icah."

Keduanya lalu pergi ke seseorang yang dimaksud, yang memang tak jauh.

Hanya dua minggu berselang, Icah pun pulang dari gua walet. Tapi esoknya, bersama Ibunya kembali datang. Ditanya, apakah petugas yang baru akan serius pada Icah atau tidak. Ah, petugas baru tak berkutik. Hanya bisa menjawab akan serius. Saat ditanya bahwa seminggu lagi harus melaksanakan pernikahan, petugas yang baru itu, kembali tak berkutik.

Dia lalu pulang ke kota asalnya. Memohon restu. Tetapi, tak ada restu dari semua anggota keluarga.

Dalam perjalanan kembali ke tempat kerja, kebimbangan melingkupi. Ya dia ingin pula membatalkan pernikahan, lebih tepatnya memutuskan. Memang dia juga suka, tapi tak ada restu orang tua, membuatnya merasa berat, ada rasa takut bila di kemudian hari.

Icah pun sudah tak lagi di gua walet. Sudah di rumahnya sendiri. Sepulang petugas kehutanan itu bekerja, kerap kali berkunjung ke rumah Icah.

Lalu pada satu hari, pagi-pagi, saat petugas itu ingin membatalkan hubungannya, tak diduga, Mang Cahya dan keluarganya sedang mempersiapkan sajian untuk pernikahan esok. Petugas ini tak bisa apa-apa, hanya selain bahwa besok harus menikah.

Hanya berbekal uang yang ada di dompet sebagai mas kawin, dan seorang diri, berlangsung pula pernikahan itu. Tanpa ada perayaan. Keduanya lalu pindah, tinggal di kota kecamatan.

Tahun-tahun pertama pernikahan, keduanya hidup bahagia, bahkan sampai memiliki satu anak.

**

Usaha pisang Mang Cahya semakin maju. Gudang berikut tanah yang selama ini disewa, dapat dibeli pula dengan cara cicil, meskipun sebetulnya tentulah merugikan penjual. Gudang penyimpanan pisang diperlebar pula, sehingga dapat semakin banyak menyimpan pisang-pisangnya. Petani-petani setempat juga lebih memilih ke Mang Cahya menjualkan pisang-pisangnya—karena letak yang strategis.

Pada satu malam yang sepi, di gudangnya saat Mang Cahya sendirian, terpatrik di hatinya, entah dari mana datangnya, bahwa dia ingin mencoba membeli pisang-pisang dengan sistem ijon.

Namun, terrngiang suara istrinya yang bukan sekali dua kali mengingatkan. "Jangan Kang, itu pamali."

Tidak diduga, Mang Cahya tak peduli.

Lalu, beberapa bulan lagi menjelang Idul Fitri, penduduk sekitar akan mempersiapkan sedari dini keperluan untuk menyambutnya. Mang Cahya tahu, seringkali banyak orang yang kelabakan.

Pagi-pagi sekali, setelah pamit pada istrinya, Mang Cahya keliling kampung, mencari perdu-perdu pisang yang sedang meninggi, dengan tangkai buahnya yang menjuntai. Sebagai orang kampung yang sejak lahir tinggal di sini, tentulah tahu dan dapat memperkirakan, bila melihat setandan pisang di pohon, kira-kiranya berapa bulan lagi, atau berapa minggu lagi akan tua, yang bisa diperam.

Usaha ini berbuah hasil dengan cara jemput bola. Mang Cahya tak lelah bertanya pada pemilik perdu pisang, apakah akan dijual sekarang atau nanti. Rupanya banyak petani pisang yang menjual murah. Mang Cahya untung besar.

**

Sebagian sifat lelaki, jika sedang banyak uang, merasa kuasa. Termasuk kuasa untuk menggoda wanita. Tetapi tidak dengan Mang Cahya.

Salah satu pelanggan Mang Cahya, yang biasa menjual pisang mentah, seorang janda muda, yang ditinggalkan suaminya meninggal karena kecelakaan kerja di pulau lain, selalu menggoda Mang Cahya.

Tak sekali dua kali, Mang Cahya dan janda ini tepergok istri Mang Cahya sedang ngobrol mesra di gudang penyimpanan. Istri Mang Cahya menyangka, bahwa suaminya mulai berpaling.

Sorenya, piring-piring seng di dapur beterbangan. Berbunyi nyaring. Jeritan-jeritan puncak rasa cemburu dari seorang istri ternyata mengerikan. Air mata berurai tak terlerai.

"Kita takkan berpisah. Dulu ketika kita masih susah, akan selalu aku ingat. Kita akan selalu bersama."

**

Namun setahun kemudian, badai mulai menerjang rumah tangga Mang Cahya. Rupanya Mang Obed, sebenarnya sedari dulu sudah suka pada istri Mang Cahya. Istri Mang Cahya pun dengan diam-diam merespon baik.

Mang Oben tak bisa menahan cemburu. Berita-berita miring dari tetangga santer terdengar. Biar pun tak melihat sendiri apa yang telah dilakukan istrinya, tapi dia merasa bahwa cinta sudah dikhianati. Bukan bernama cinta lagi bila sudah tercoreng. Mang Cahya mantap memilih berpisah. Istri Mang Cahya tinggal bersama Pak RT.

Namun, di dada Mang Cahya tertimbun dendam menggunung—bagaimana tidak? Begitu rapi Pak RT dan istrinya bermain di belakang.

**