Chereads / Ketika Cinta Dikhianati / Chapter 5 - Bandar Pisang dan Piara Domba

Chapter 5 - Bandar Pisang dan Piara Domba

Mang Cahya dengan modal uang hasil kerja Icah itu ingin menjadi bandar pisang mentah.

"Tapi, apakah kau sudah yakin, bahwa kau akan berhasil menjadi bandar pisang? Bagaimana dengan angkutannya?" Istri Mang Cahya bertanya.

"Angkutannya gampang. Kita kan bisa dengan Mang Obed Pak RT pemilik pick up, seperti saat dulu kita pergi ke Pangalengan?"

Maka, Mang Cahya menyewa satu bangunan kecil di depan jalan yang terlewati kendaraan roda empat, yang disulap menjadi gudang dadakan tempat penyimpanan pisang mentah.

Pada kali pertama menerima pisang, adalah pisang ambon. Lalu ditimbang di timbangan gantung. Sepakat harga, barang berpindah, uang didapat Mang Cahya. Pada kali lain, didapat pula pisang muli yang kecil, yang biasa ada saat pernikahan. Pada kali-kali yang lainnya, ada pula yang menjual pisang nangka, pisang raja cere, pisang kepok—sebagai pakan burung.

Ada pisang-pisang yang jarang didapat karena berharga mahal, yaitu pisang kapas dan pisang tanduk, sebagai bahan pembuat keripik dan pisang goreng berkualitas. Selain itu, juga diterimanya pisang-pisang lain. Namun tentulah, ada beberapa jenis pisang yang tidak laku dijual, Mang Cahya pun tidak menerimanya. Mang Cahya tak tertipu, ketika pernah ada seorang petani yang hendak menjual pisang—meskipun bentuknya sangat menarik, berukuran sedang, berwarna hijau cemerlang—tetapi di dalam buahnya hanya biji-biji, pisang kole

Mang Cahya tetap tak mau tertipu. Kerap kali menolak yang menjual pisang yang setandanan itu yang ternyata masih muda—belum tua. Yang akan membuatnya rugi. Yang masih muda itu saat diperam tak akan matang-matang. Tak akan bisa dikonsumsi.

Pisang yang tua itu di ujung tangkai tandannya yang masih di pohon berwarna hijau tua kecoklatan. Atau pula yang nyaris semua berwarna coklat. Pisang-pisang yang berbaris dalam sisiran itu berbentuk membulat di ujungnya. Di ujung-ujung pisang, bunga-bunganya yang hitam sudah berjatuhan pula.

Seminggu sekali, pisang-pisangnya dikirim ke kota Bandung. Pasar Ciroyom, Pasar Caringin atau Pasar Cicaheum. Atau ke kota lain.

Lalu seiring waktu yang berjalan, seiring pula dengan ada peningkatan keuangan. Mang Cahya kini bisa makan dengan variasi lauk—pauk. Tidak tempe, tahu saja. Tetapi dalam satu mingguan itu, pada beberapa harinya bisa makan daging ayam. Meskipun untuk belanja ayam, harus pergi dulu lumayan jauh ke pasar dengan naik ojek yang tinggi pula ongkosnya. **

Proyek pembangunan Waduk Saguling terus berlangsung, seolah tak pernah berhenti, sejalan dengan kehidupan Mang Cahya yang bertambah baik. Mang Cahya dan istrinya juga terus mengurus kambing-kambing dengan serius.

Icah yang merasa tidak enak hati, akhirnya ikut membantu mengurus kambing.

Pada awal kali pertama, Icah mencari rumput. Icah yang sudah biasa bekerja di kota dengan tangan bersih, kini harus memulai lagi berkotor-kotor membawa karung, sabit, berjalan ke tepi hutan, bahkan ada rasa takut juga dengan gatal dari ulat.

Ya, hari itu, dengan menggerutu, Icah pulang dari mencari rumput. Saat mengeluarkan hasil kerjanya, ternyata rumputnya bercampur, antara rumput pakan kambing, dengan rumput yang tak dapat dimakan kambing. Mang Cahya berkata. "Ini rumput yang paling dibenci kambing."

"Rumput apa?" Icah bertanya.

"Rumput babadotan. Ya kalau untuk jenis domba adu, domba garut, memang rumput ini dimakan juga. Untuk kali ini tidak apa-apa. Rumput ini hanya setinggi dua jengkalan, berbunga putih bercampur biru, beraroma bau. Rumput babadotan bisa digunakan obat luka agar cepat kering dengan terlebih dahulu dikunyah, lalu ditempelkan."

"O iya Pak, ada istilah embe badot, apakah merujuk pada pria tua yang masih suka pada gadis remaja?"

"Ya bisa jadi."

Ibu dari Icah mendadak tertawa mendengar istilah embe badot.

"Ya nanti lain kali, carilah rumput yang merambat, seperti areuy, yang merambat di pohon," ujar ibu dari Icah.

**

Waktu terus berjalan. Icah menjadi terbiasa mencari rumput. Saat serba bersih ketika di kota, meskipun hanya sebagai pembantu rumah tangga, kini telah terlupakan. Kambing-kambingnya telah beranak dua, sudah cukup dewasa, bisa dijual. Beberapa bulan lagi adalah Idul Adha, bulan yang baik untuk menikah.

Mang Cahya dan istrinya sudah cemas dengan umur Isah yang menginjak 20. Sebagai anak satu-satunya, keduanya tak ingin salah memilih. Ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Ya, orang tua yang baik pasti seperti ini.

Pemuda-pemuda tetangga, jarang yang tinggal di kampung ini. Lebih banyak yang merantau, kecuali nanti saat Idul Fitri atau Idul Adha, mereka pulang. Kampung pun menjadi semarak untuk beberapa hari.

Mang Cahya dan istrinya berencana hendak menjodohkan Icah. Tetapi dengan siapa? Pernah satu kali Icah ditanya, apakah selama di Jakarta ada yang naksir tidak? Icah menjawab bahwa memang pernah ada lelaki yang mau padanya. Tetapi Icah tak mau, lelaki yang menginginkan dirinya itu sudah punya istri, juga berprofesi sopir—yang sering meninggalkan keluarga di rumah.

"Pak, Bu, bagiku, menjadi istri kedua itu hal yang mengerikan."

"Mengerikan bagaimana?" Mang Cahya bertanya.

Icah hanya diam.

"Ya sudah, jangan. Kau juga kan tak mau padanya."

**