Tak terhitung berapa lama waktu yang telah mereka habiskan dalam pergulatan lidah keduanya. Rino pun tidak bisa menjelaskan mengapa ia menerima ciuman Arwin tanpa melawannya seperti dulu.
"Eeemh... Emmmh..."
Janganlah bertanya kepada Arwin, Karena dia sendiri bingung dengan apa yang dilakukannya sekarang.
Lidah mereka berputar mencari satu sama lain, Saliva terus mengalir dari sisi bibir keduanya, tak terhitung berapa kali sudah Rino atau Arwin menelan dan mencampur ludah mereka sendiri.
Yang pasti dua darah muda itu sedang dibuai oleh keserakahan mereka dalam mencari sesuatu yang tak dapat keduanya temukan dengan berpikir dan mencari tahunya lewat perbuatan mereka saat ini.
"Haaa... Unghhh"
Kadang Arwin menyampingkan kepalanya, Lurus, Bahkan sampai mendorongnya agar rasa yang dikecapnya bisa lebih dalam lagi. Dia tidak dapat menahan gejolak hasratnya untuk segera usai dari ini.
Jika Rino berinisiatif melepas, Maka Arwin akan melakukan hal sebaliknya. Tidak ingin mendengar kembali keluhan pilu dari remaja berlesung pemilik bibir busur tersebut.
Namun begitu Arwin hendak membaringkan Rino terdengar ketukan pintu dari luar, "Rin, Ajak nak Arwin makan malam, Kasihan dia pasti lapar" Ujar Rani. Gerakan mereka langsung kaku, Perlahan Arwin mengembalikan posisi mereka menjadi semula yaitu duduk.
Plop
Bibir keduanya terpisah sendiri menghasilkan bunyi yang membuat telinga geli waktu mendengarnya. Menatap sekilas pintu, Mereka saling bertatapan.
Dan akhirnya dengan kikuk Arwin membuka suara, "Itu... Ma-mama Lo manggil... Ka-katanya disuruh makan"
Rino mengangguk kaku, "I-iya" Jawabnya tak kalah kikuk.
Tak bosan-bosannya Rani memalingkan wajahnya guna menatap anak dan calon menantunya bergantian. Pasalnya sejak mereka duduk, Tak sekalipun dari keduanya berinisiatif untuk bercerita.
Jelas dia tidak tahu apa yang kedua anak itu lakukan di kamar yang tertutup rapat. Mungkin jika ia memiliki indera keenam bisa jadi malah dia sendiri yang malu sebab memergoki perbuatan Rino dan Arwin di kamar tadi.
Malu, Sebenarnya dua remaja itu sedang menahan malu. Bukan pada orang lain melainkan diri mereka sendiri.
Hingga pertanyaan Randa membuat perhatian mereka beralih, "Mas Win, Tuh mobil kok dibiarin dipinggir jalan, Awas ntar dicolong" Ujarnya menakut-nakuti pemuda itu.
Arwin, "Tinggal beli aja apa susahnya" Jawabnya enteng. Randa berdecak kecil, Kakak adik sama saja pikirnya, Ia kembali melanjutkan makannya.
Detik berikutnya Arwin mengatupkan bibirnya, lekas menyadari bahwasanya ucapannya penuh kesombongan.
Paham akan perasaan tidak enak hati remaja itu, Rani mengulas senyum maklumnya, "Jangan merasa tidak enak, Kami wajar saja kalau kamu bicara seperti itu" Calon menantunya tersenyum kecil disertai anggukan kepala padanya.
Andai saja Mamanya baik seperti calon mertuanya, Telinganya tidak akan pecah mendengar omelan di rumah setiap harinya. Wanita ini bahkan tidak marah karena walaupun dia telah ketahuan memperkosa anaknya sendiri.
Dani tiba-tiba berujar polos, "Bang Lino, Bibilnya Abang kok bengkak?"
Akibat kepolosan bocah itu, Dua orang selain Arwin kini memandangnya penuh tanya, "Iya juga, Baru nyadar gue, Bibir Lo napa bang?" Tambah Randa.
Rino tertawa hambar sementara melirik Arwin di sampingnya. Dia kesal bukan main mendapati remaja itu malah mengalihkan pandangannya, "I-ini, Digigit nyamuk" Jawabnya asal.
Dua adiknya manggut-manggut paham, Beda halnya Rani. Wanita itu terkikik kecil yang hanya disadari Arwin. Sekarang dia tahu penyebab keduanya diam tidak ubahnya sebuah batu. Mengigit bibir, Arwin meneruskan makannya.
Rani, "Oh iya, Pinggang kamu tidak apa-apa kan?" Tanyanya pada Arwin.
Arwin, "Udah mendingan dikit kok Tante, Rino yang pijetin"
Rani, "Syukurlah bila begitu, Tante kaget tadi pas tau kamu jatuh ke lantai" Arwin tersenyum kikuk mengingat kejadian memalukan tadi.
"Assalamualaikum!!" Sapa suara dari depan membuat 4 orang di meja makan saling bertatapan sesaat.
Randa, "Bentar Randa bukain pintu" Randa beranjak dari kursinya, Berjalan sedikit cepat ke pintu depan.
Randa, "Siapa... Loh Dina? Ngapain ke rumah gue malem-malem?" Kata remaja itu pada Dina.
Dina, "Nih, Buku tugas Lo ketinggalan di meja, Kebiasaan! Dah gue mau pamit, Salam sama Tante, Bang Rino sama Dani!" Gadis itu menampar buku ke dada Randa sebelum pergi sambil melambai-lambaikan tangannya.
Randa mencibir, "Kirain apa!"
Baru saja Randa hendak berbalik masuk sebuah suara kembali menginterupsi telinganya.
"Assalamualaikum!"
Randa, "Ngapain lagi sih Lo Di....na" Ia terpaku melihat seorang pemuda mirip Lintang tetapi lebih ke versi dewasanya. Sedetik kemudian dia mengerenyit, Siapa ini? Apakah mungkin salah satu dari keluarga Wiranto?
"Halo dek, Saya mau tanya ini benar-benar rumahnya Rino Arana?"
Berkedip-kedip, Randa mengangguk, "I-iya Om" Gagapnya, Barangkali jika Lintang yang berada dihadapannya saat ini, Randa sudah tahu harus bersikap apa.
Usai mendengar kata-kata Randa, Pria itu mengulas senyum, "Saya Kakaknya calon suami Rino, Kamu yang namanya Rino?" Randa terperanjat, Pantas saja wajah pria ini mirip dengan si Lintang.
Sontak Randa menggeleng, "Bukan Om, saya Randa, Adiknya" Ulasnya.
Seruan Rani terdengar dari belakang, "Randa, Kenapa tamunya tidak di suruh masuk? Malah tinggal di pintu" Sambil terus melangkah, begitu dekat Ia melihat seorang pria yang mirip Lintang sedang bercakap-cakap dengan putranya. Alis Rani berkerut, Siapa?
Randa menyengir kuda, "Hehehe... Lupa Bun, Om ayo masuk" Ajaknya mempersilahkan.
Bersamaan itu Rino dan Arwin keluar dari dapur. Menyadari kehadiran kakaknya, Arwin langsung berseru, "Mas Ardi ngapain di sini?"
Pria yang kini duduk di kursi ruang tamu itu tak lain merupakan Ardi. Ia mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman, "Jalan-jalan ke rumah calon adik iparku lah! Apa lagi?"
Rino seketika menyela, "Calon adik ipar?" Ujarnya kebingungan. Siapa pria yang serupa dengan Lintang ini? Mengapa Arwin memanggilnya dengan sebutan'Mas'?
Ardi mengangguk disertai sisi bibir terangkat, "Kamu yang namanya Rino?" Remaja hamil tersebut reflek mengiyakan. Ardi tertegun. Benarkah adiknya menghamili remaja yang terlihat sangat jantan ini? Yang ia dengar dari Mamanya yaitu sang adik telah memperkosa anak ini.
Lalu Ardi berdecak kagum. Remaja ini sangatlah tampan, dua adiknya saja kalah menurutnya.
Arwin, "Maaf Tante, Ini Kakaknya Arwin yang baru pulang kuliah dari Amerika" Jelasnya kala melihat wanita itu memiliki raut wajah kebingungan.
Rani, "Ooh, Tunggu ya nak Ardi, Tante mau buatkan minum dulu, sekalian Arwin juga, Kamu ikut duduk sama Kakakmu"
Kecuali Rani yang pergi ke dapur, Semua pria duduk di kursi.
Arwin menyipitkan matanya, "Siapa yang ngasih tau rumahnya Rino sama Mas?"
Ardi, "Nyari sendiri lah! Jangan ngeremehin Mas, Dasar bocah!" Sambil menunjukkan ponselnya pada adiknya. Arwin berdecak, Rupanya sang kakak mengetahui keberadaannya lewat GPS mobil. Tidak heran jika pria 23 tahun tersebut langsung tahu dimana letak rumah Rino.
Arwin, "Oke Arwin ngerti sekarang, Terus ngapain Mas kesini?"
Ardi, "Nih anak udah dikasih tau, Mas mau lihat calon suamimu yang katanya mama lagi ngandung benihnya Wiranto" Jawabnya gamblang.
Mendadak Rino menunduk meraba perutnya yang rata. Ia seketika heran, Selain demam dan muntah-muntah, Kenapa dia sama sekali tidak merasakan mengidam layaknya orang hamil pada umumnya? Dia baru menyadari ini.
Arwin, "Lo gak papa?" Khawatirnya saat Rino terus melamun.
Rino, "Tidak, Aku hanya heran mengapa aku tidak mengidam?" Ungkapnya.
Tersenyum, Ardi menjawab, "Tenang saja dek, Itu sudah menjadi bukti bahwa kamu memang benar-benar hamil anaknya Arwin, Mama kami juga merasakan hal serupa sepertimu karena yang mengalami masa mengidam kamu itu adalah bapaknya, Arwin!"
Ia terkejut lantas melirik Arwin. Sudut bibirnya terangkat, Benarkah demikian? Rino merasa senang mengetahuinya.
Rino, "Kak Arwin mengidam apa?" Arwin membatu, Bingung ingin berkata apa, Jelas dia malu. Tidak mendapat jawaban, Bibir Rino nyaris maju serta matanya mulai berkaca-kaca. Apa Arwin tidak suka dia bertanya seperti itu?
Arwin menggaruk kepalanya frustasi, "Eh! Jangan nangis lagi Ah! Iya-iya gue jawab! Gue ngidam makan buah kering, Puas?" Ucapnya ketus. Ekspresi Rino langsung berubah menjadi bahagia, Dia mengangguk paham.
Ardi tertawa lepas, "Hahaha... Barusan ini mas liat kamu panik kayak gitu, Bener kata Mama, Rino kamu calon adik ipar Mas Ardi yang paling hebat pokoknya!" Pujinya.