"Dan kamu, urusan kita belum selesai, tetapi hari ini kamu boleh kerja seperti biasa!". Kali ini dia menoleh ke arahku sembari meraih jaz hitamnya.
Sepeninggal Pak Dirgantara, aku kembali ke ruangan kerjaku.
"Bagaimana Ras, elu nggak di pecat kan?". Baru juga masuk ruangan, sudah disambut dengan pertanyaan Maura yang tanpa disaring itu.
"Lu bisa diam gak!" Hardik ku padanya. Sungguh mood ku tambah rusak dibuatnya.
"Lo kok sewot si, kan aku nanya baik-baik Ras?". Dia sepertinya agak takut dengan perkataan ku, buktinya dia sekarang lebih pelan saat bicara.
Ku hela nafas panjang, kemudian mengeluarkan perlahan. Membuat ku sedikit tenang dan melirik ke arah Maura. Matanya sedikit berair rupanya dia benar-benar takut aku marah.
"Aku gak bermaksud begitu kok Ra, cuma aku lagi frustasi aja, maaf ya!". Balasku kemudian sembari mengusap tangannya. Aku jadi tidak enak, secara tadih pagi pun dia sempat memberitahu ku cuma aku nya yang tidak faham.
"Tapi elu gak di pecat kan Rass, aku takut soalnya, kalau kamu di pecat!". Ucapnya dengan antusias dan sudah sedikit senyum.
"Aku juga gak tau Ra!". Jawab ku dengan muka yang sedih sambil menunduk.
"Kok gitu sih, emang Pak Dirga bilang apaan?". Tanya nya lagi, mungkin dia sedikit heran.
"Sekarang Pak Dirga lagi sibuk, aku cuma di Suruh kerja seperti biasanya, cuma katanya urusan kami belum selesai!". Aku menjelaskan pada maura yang sebenarnya.
"Tapi aku juga takut Maura, bagaimana kalau aku di pecat, elu tau sendiri kan keadaan ku sekarang!. Sambung ku lagi dan sekarang air mataku sudah tidak bisa ku tahan.
"Sabar ya ras, dan yakin saja Pak Dirga itu baik kok, cuma dia tegas aja. Dia pasti tidak akan pecat elu. Yang penting kasih tau aja yang sebenarnya terjadi pada beliau!". Hiburnya padaku dan aku hanya menanggapi dengan senyuman.
Terkadang Maura itu bijaksana beda dengan sifat sehari-harinya yang blak-blakan, kadang juga ku lihat dia melamun, entah apa masalahnya dia tidak pernah sekalipun membaginya pada ku, kalau aku tanya, pasti dia akan mengalihkan perhatian. Biarlah jika sudah waktunya ku yakin dia akan berbagi padaku.
Aku bekerja seperti biasa. Ya, aku bekerja di bagian marketing dan aku adalah kepala staf di bagian ini, sedangkan Maura adalah staf biasa di bagian yang sama dengan ku, artinya Maura masih bawahan ku.
"Ras!, Kamu tahu gak, Minggu depan bakal di adakan opening di cabang baru lo!". Ucap Maura dari bilik meja nya.
Di ruangan kami yang berukuran sekitar empat kali enam itu diberi sekat-sekat yang terbuat dari bahan triplek untuk masing-masing karyawan, dengan alasan kenyamanan. Bilik ku dan Maura hanya berjarak sekitar satu meter karena bilik punyaku dengan bilik yang lain memang terpisah sedikit, entah apa maksudnya.
"Iya, aku sedikit dapat info dari anak-anak kemarin di kantin, emang kenapa?". Tanyaku balik padanya.
"Katanya, kita bakal di undang lo kesana!'.
"Masa si, siapa bilang?". Tanyaku heran, bukan apa karena yang ku tahu, kantor baru itu tidak sebesar yang kami tempati sekarang.
"Ini baru katanya si Ras, gak tahu benar apa tidak!". Jawabnya cengengesan
"Kirain udah pasti juga!. Jawab ku padanya.
**
Sudah empat tahun Laras bekerja di perusahaan itu, sudah banyak yang dia lalui, tetapi hari ini dia berkerja dengan perasaan was-was, mungkin dia masih memikirkan perkataan Pak Dirgantara, bos nya.
Terkadang dia melamun, tetapi terkadang juga dia terperanjat, entah itu jika ada orang di sekitarnya yang bicara maupun suara di luar ruangan. Bahkan ketika Maura tidak sengaja menjatuhkan pulpen di mejanya, itu bisa membuat Laras mengomel.
"Apaan si lu, bikin orang kaget aja!". Laras berkata kepada Maura dengan sedikit keras sambil berdiri. Maura hanya menanggapi dengan mengernyitkan dahi pertanda dia tidak mengerti dengan jalan pikiran temannya itu, sungguh hanya pulpen yang jatuh pun bisa membuat nya terperanjat dari kursinya.
"Istirahat yuk ras, lapar kan? Di tempat biasa!" Maura mengajak Laras sambil berdiri dan hendak keluar dari ruangan.
"Kita di kantin kantor aja ya ra, aku malas keluar hari ini!" .
"Yaudah, buruan ntar gak kebagian kita!" Ucap Maura, sebab memang di kantin, terlambat sedikit saja bukan hanya tempat yang berdesakan tetapi kadang makanan disana pun ludes oleh yang lain.
"Iya iya, ini juga udah jalan". Sambil menyusul Maura yang sudah terlanjur keluar dari ruangan.
Kantin kantor mereka berada di lantai dua bangunan itu, sehingga mereka tak perlu berdesakan di lift untuk turun karena sudah bisa di akses lewat tangga darurat, apalagi jika memakai tangga darurat bakal langsung sampai mereka di bagian kantin.
Sesampainya di kantin, Mereka langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk sembari menunggu pesanannya. Mereka memilih tempat ternyaman, di bagian belakang. Beruntung masih sepi dari karyawan lain, sehingga mereka tak perlu menunggu lama. Sampai pesanan mereka datang dan langsung menikmati makanan dengan lahap.
Setelah selesai makan, Laras memilih langsung kembali ke ruangannya, dia sebenarnya masih takut terlalu banyak aktifitas di luar, mungkin dia takut bertemu dengan sosok bosnya itu.
Mereka kembali fokus ke kerjaan masing-masing hingga tanpa mereka sadari sudah waktunya untuk pulang.
**
Kriet..
Pintu kontrakan terbuka, laras terbuka kemudian langsung menuju kamar tidurnya. Dia membuang diri di atas tempat tidur milik nya tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu bahkan sepatu nya pun masih utuh terpakai dan membuang nafas panjang, sungguh hari ini menguras tenaga dan pikiran membuat nya sangat lelah.
**
Tiba-tiba terdengar alunan musik dengan lagu NOT TODAY milik BTS Korea yang sengaja ku jadikan nada dering telepon. Selain suka sekali dengan BTS dan lagunya, juga sebagai pengingat saja.
Orang-orang di sekitar ku yang mendengar nada dering itu, termasuk Maura kadangkala memprotes. Katanya kenapa harus korea, kenapa harus apa-apa korea, kalau negara sendiri juga tak kalah bagus.
Saking tidak mau nya Maura, dia bahkan mengganti nada panggilan untuk dirinya sendiri dengan lagu milik orang Indonesia, entah itu siapa.
Tidak tahu saja Maura, personil BTS itu bisa membuat jantung dag dig dug walau hanya melihatnya dari layar kaca, bagaimana kalau sudah lihat langsung, sungguh Maura kadang juga membuat ku heran, apa yang membuat nya tidak suka Korea. Katanya, produk lokal lebih menjamin keaslian nya, sungguh tidak ku mengerti.
Dari nomor baru entah siapa, sejenak aku kaget. Siapa yang menelpon ku kira-kira, ku biarkan telepon tersebut sekaligus menikmati lagunya untuk menetralisir rasa kaget ku sedikit, kalau menelpon kembali tandanya itu penting. Tak lama telpon selanjutnya masuk dari nomor yang sama, membuat ku membuang nafas.
Ku geser tombol hijau. Ku ucapkan salam, dan dibalas dari seberang dan dari seorang perempuan yang seperti suara nya tidak asing.
"Maaf ini dengan siapa?". Tanyaku to the point,
"Apa ini dengan Ibu Larasati?". Dia justru bertanya balik, membuat ku sedikit kesal.
"Iya Dengan saya sendiri!". Ku coba menjawab dengan sesantai mungkin meski hati sedikit kesal.
"Alhamdulillah, saya Siska sekertaris nya Pak Dirgantara, maaf menghubungi jam seperti ini , mungkin Mbak sedang istirahat!". Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana, mungkin dia juga sedikit tidak enak.
"Oh Mbak Siska ya, ada apa Mbak , apa ada yang penting?" Tanyaku pada nya secara beruntun.
Mbak Siska adalah sekertaris Pak Dirgantara, meski posisi dia sekertaris tetapi dia selalu ramah pada ku, mungkin karena saya lebih senior dari nya. Dia berkerja kurang lebih satu tahunan mengantikan mbak Anggun sekertaris lama Pak Dirgantara.
"Maaf Mbak, saya di perintahkan Pak Dirgantara untuk menyampaikan kepada mbak, kalau besok, mbak harus pagi-pagi sudah berada di kantor!". Ucapnya panjang lebar
"Iya Mbak, siap !". Jawabku padanya tanpa bertanya apa maksud beliau, ku yakin itu berhubungan dengan keterlambatan ku tadih pagi.
"Terimakasih mbak!. Tut! ". Ucapnya kemudian langsung mematikan telepon nya, sebelum ku jawab lagi, mungkin dia sedang buru-buru pikirku .
**
Keesokan paginya, tepat jam tujuh Laras sudah berada di kantor. Pak Dirgantara sudah sampai duluan, itu di tandai dengan mobil sport miliknya sudah terparkir rapi di parkiran. Laras berlari kecil masuk di kantor dan langsung menuju ruangan kerjanya.
"Mbak Laras, silahkan langsung menghadap di Pak Dirgantara, sudah di tunggu dari tadih!" Tiba-tiba Mbak Siska mengagetkan ku yang baru saja sampai di meja kerjaku, rupanya dia melihatku.
"Iya Mbak!". Jawab ku singkat. Perasaan ku saat ini tidak bisa dijelaskan, tetapi lebih mendingan daripada yang kemarin.
"Silahkan duduk Larasati!!" Pak Dirgantara mempersilahkan ku ketika sampai di ruangannya. Dari sorotan matanya yang tidak bisa ku prediksi, mendadak aku gugup.
"Iya Pak!". Jawabku setenang mungkin.
"Menanggapi keterlambatan Anda kemarin, saya mengambil kesimpulan kalau ada dua pilihan yang akan saya berikan pada Anda yaitu..." Dia menggantung ucapannya sambil melirik tajam ke arahku.
Bersambung