"Nathan nya ada Mas?" Tanyanya pada seorang karyawan yang kebetulan baru keluar dari ruangan itu.
"Pak Nathan tidak masuk Mbak! Dan ini surat pengunduran dirinya saya mau bawa keatas". Ucap temannya sambil menunjuk ke atas. Di atas adalah ruangan Pak Ryan bos mereka di kantor cabang itu.
Deg!.
Sekali lagi Laras terperanjat, yang di dengarnya di warteg memang lah benar. Nathan sudah pindah.
"Mas, kalau boleh suratnya buat saya aja, nanti saya yang sampaikan pada Pak Ryan." Ucapnya berharap.
"Kalau tidak merepotkan Mbak, saya juga kebetulan belum istirahat".
"Iya gak apa-apa Mas, ini saya sudah mau naik".
"Terimakasih banyak Mbak." Ucapnya dan hanya di balas senyum oleh Laras. Dia mengambil surat itu dengan gemetar. Lalu membawa nya naik.
Sesampainya di atas, dia lantas duduk di kursi panjang depan pintu ruangan kepala cabang. Ia tidak masuk melainkan melamun disitu.
"Apa ku hubungi saja dia?" Dia bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi dia kembali menggelengkan kepalanya.
Tidak mungkin dia menghubungi Nathan, apa alasan yang akan dia katakan.
"Mbak Laras kok disini, aku cari di ruang kerja gak ada ternyata lagi disini to. Trus itu surat apaan?. Tiba-tiba Febry muncul mengangetkan nya.
"Ini ini surat pengunduran diri Pak Nathan dari bagian manajemen perencanaan, tadi di kasih sama teman nya di bawah. Mau di sampaikan pada Pak Ryan." Ucap Laras terbata.
"Trus ngapain disitu Mbak, ruangan Pak Ryan tu disana. Bukan disini". Tunjuknya senyum menggoda Laras.
"Ini baru mau kesana."
"Cie cie, yang galau ditinggal gebetan, pantes dari tadih ngelamun truss, ternyata gebetan mau resign." Dia justru menggoda Laras kembali. Membuat pipi Laras merah merona.
"Is bisa diam gak si." Ucap Laras sambil berlalu ke ruangan Pak Ryan.
Bukan rahasia lagi bagi Febry, soal perasaan Laras untuk Nathan. Dia tahu betul jika rekannya itu menyimpan rasa pada Pak Nathan.
***
Kafe melati.
Laras duduk termenung di sudut kafe, dia sesekali mengaduk minumannya kemudian melihat keluar.
Sudah beberapa hari dia menunggu waktu ini.
Dan kini ia sedang berada di cafe melati, kafe yang jauh dari kantor nya, dia sengaja memilih yang jauh agar tidak dipergoki oleh orang yang mengenalnya, ia menunggu seseorang.
Tak lama seorang lelaki berambut hitam tebal, berkulit putih dan tinggi semampai menghampirinya. Dia berjalan dengan pelan ke arah tempat duduk Laras, sesekali waspada akan keadaan sekitar.
"Laras"
Laras dengan baju khas kantoran, dan mempunyai rambut sebahu itu pun menoleh, dan buru-buru menarik salah satu kursi di depannya untuk di duduki oleh lelaki yang bernama Nathan itu. Mereka memojok di kafe itu.
"Ada apa kau menyuruhku kesini, Laras?" Nathan menatap lekat gadis di hadapannya dengan heran. Keningnya berkerut dan kedua alisnya pun bertaut.
"A, aku. Aku--" Laras gelisah, jemarinya saling meremas dengan kepala yang menunduk dalam.
"Ada apa?" tanya Nathan tak sabar.
"Aku hamil, Nat." Dengan pelan Laras bersuara, takut orang-orang di sekitarnya mendengar meski terpaut jarak kursi yang lumayan jauh.
Deg!
Nathan terbelalak, wajahnya pucat. Ditatapnya semakin lekat gadis yang masih menunduk itu, nampak setetes cairan bening jatuh ke bawah.
"Kau serius?!"
Laras diam.
Dengan cepat Nathan menangkup kedua pipi Laras lalu mengangkatnya, hingga dapat ia lihat wajah Laras yang sudah penuh mimik kegelisahan dengan air mata yang terus bercucuran dari tempatnya.
"Bagaimana bisa, Laras?! Kita hanya melakukan itu sekali!" Nathan frustasi, dilepasnya pipi Laras, lantas meremas rambutnya kasar.
Tampak orang-orang sekitar sudah mulai memerhatikan. Membuat Nathan dengan terpaksa mengajak Laras keluar dari tempat itu.
Laras berbicara ketika sampai di parkiran. Mereka berdiri di belakang mobil milik Nathan. "Aku juga tidak tahu jika akan jadi begini. Kita harus apa, Nat? Aku gak mau orang-orang tahu ... "
"Gugurkan!"
Laras mendelik, menatap tajam ke arah Nathan yang kini menatap kosong ke arah lain.
"Apa maksudmu? Aku gak mau aborsi, Nat. Aku takut!"
Nathan memalingkan wajahnya pada Laras "Gugurkan, Ras. Memangnya kau mau jika bayi itu jadi penghalang masa depan kita?" tanyanya penuh tekanan.
Laras pun menunduk, mengelus perutnya yang masih rata. Lantas tangisnya pecah kembali, sesekali terisak. Membuat Nathan jengah mendengarnya.
"Aku mau kamu tanggung jawab Nat!. Bagaimanapun juga ini anak kita, kita yang buat."
Mereka terdiam sejenak, berpikir keras akan hal itu.
"Aku gak bisa Laras."
Deg!
Laras menoleh dan melihat tajam ke wajah Nathan ketika mendengar perkataannya, sungguh ia terkejut akan apa yang di katakan Nathan barusan.
"Aku akan menikah bulan depan, dan setelah itu kami akan pindah ke Jepang." Nathan lantas berbalik hendak pergi meninggalkan Laras.
Laras tak menyangka bahwa Nathan akan semudah itu menyuruhnya mengugurkan kandungan. Sebab Nathan telah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, walau tanpa di pungkiri bahwa semua itu terjadi atas kehendak nafsu belaka, tanpa ada ikatan yang kuat semisal nya pacaran.
"Apakah benar-benar tidak ada rasa iba mu? Minimal untuk anak yang tak berdosa ini?. Kau dengan sadar membuat nya tetapi dengan tega pula kau akan membunuhnya." Laras setengah berteriak kepada Nathan yang hendak masuk ke dalam mobil nya.
Nathan tampak diam dan mematung, lantas dia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil kemudian berbalik dan melangkah pelan ke arah Laras.
Wajah Nathan tampak merah padam menandakan dia sedang marah.
"Bagaimana bisa aku bertanggung jawab jika tak ada rasa cinta itu untuk mu bahkan anak itu aku tak pernah menginginkannya?" tanya Nathan, matanya tajam menatap sosok gadis cantik berambut sebahu tersebut.
Laras menunduk, kemudian terisak. Sambil menjawab "Akupun tak menginginkan anak ini di rahimku, tetapi dia ada karena kita membuat nya dengan sadar."
"Makanya aku sudah katakan, gugurkan janin itu, kita sama-sama tak menginginkan nya!. Aku akan menanggung semua biaya yang diperlukan nanti ". Dengan enteng nya Nathan berucap.
"Aku tak sanggup melakukan itu!." Laras menggelengkan kepala dengan getir.
"Semua pilihan ada padamu, tapi satu hal yang perlu kamu ketahui aku tak menginginkan anak itu terlahir." Ucap Nathan dengan geram sambil menunjuk wajah Laras.
Laras mengangguk dengan terpaksa. "Akan ku pikirkan semuanya".
Nathan tersenyum penuh kemenangan. "Bagus lah, kalau kau sudah siap, maka kau bisa hubungi ku lagi".
Laras mendesah lega. Setidaknya untuk saat ini Nathan belum kabur dari kenyataan dan masih akan bisa ia hubungi lagu. Jauh di dalam lubuk hatinya berharap jika Nathan akan merubah keputusannya.
"Doakan mama nak, semoga semuanya bisa teratasi dengan baik." Laras mengusap lembut kembali perut ratanya dengan senyum getir sambil menatap punggung lelaki yang berjalan menjauh itu. Yang di tatap adalah tak lain dari ayah janin yang berada di rahimnya.
***
"Hoek! Hoek!"
Laras kembali memuntahkan isi perutnya kala sampai di kamar kost miliknya. Dia baru saja datang menemui Nathan, Ayah dari janin di dalam rahimnya itu dengan menaiki kendaraan umum.
Mual sekali rasanya ketika mencium bau khas mobil di masa hamil mudah. Sebenarnya ia punya motor pribadi tetapi karena keadaannya yang kurang fit, maka dia tak berani memakainya.
Laras benar-benar tersiksa dengan keadaan sekarang, kadang terbesit dalam pikiran nya untuk mengikuti saran Nathan dengan menggugurkan janin itu.
Namun Laras akan dengan cepat menepis perasaan semuanya, baginya itu sudah menjadi konsekuensinya dan dia harus mempertahankan nyawa lain selain dirinya itu.
Perjalanan hidupnya masih panjang, dan dia tidak mau jika dihantui dengan perasaan bersalah pada anaknya kelak jika dia terburu-buru mengambil keputusan.
Bersambung