Sudah cukup lama pembuatan obat untuk virus berjalan, tetapi hingga sekarang masih belum ada hasilnya.
"Genta, aku ingin berbicara denganmu" Ucap Ajeng tegas.
Genta mengangguk dan mulai mengikuti langkah Ajeng.
Mereka berjalan menuju ruang tertutup, di dalam ruangan tersebut sudah ada Bhatari.
"Duduklah, Genta. Ada hal penting yang harus kita bicarakan." Ucap Bhatari.
"Ini sudah cukup lama, Genta. Mau sampai kapan kita seperti ini?" Ajeng menimpali.
"Kamu tau kan? Aku memang suka sepi. Tapi aku benci jika peradaban ini hancur, aku tidak suka manusia punah" Lanjutnya.
Genta terdiam, ia bingung. Banyak hal yang membuat kepalanya terasa penuh.
"Aku sudah mengatakannya, kan? Fokuslah membuat antivirus itu! Fokus, Genta!" Geram Ajeng.
"Mau sampai kapan kita terombang-ambing seperti ini?" Ajeng menarik nafas, ia sudah sangat lelah.
"Kamu lihat wajahku, Genta!" Ajeng menujuk wajahnya.
"Kulitku mulai mengkeriput! Kamu tau karena apa? Karena efek kekuatan yang ku gunakan. Aku sudah terlalu banyak menggunakan kekuatan ini, Genta! Aku tak ingin semakin terlihat menua" Ajeng semakin geram
"Aku lelah." Ajeng terlihat putus asa.
"Bahkan Bhatari, kamu lihat rambutnya itu! Rambutnya rusak, Genta!" Ajeng menatap Genta dengan pandangan sulit diartikan.
Genta hanya terdiam, ia bingung. Tatapannya kosong dan bibirnya gemetar dengan tenggorokan yang terus menerus terasa kering.
"Aku tau kamu kehilangan adikmu, Genta! Tapi itu bukan alasan kamu menunda pembuatan antivirus itu!" Ajeng benar-benar dilanda emosi sekarang, ia sangat marah sekaligus kecewa.
"Aku sangat tahu kamu ingin kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan adikmu itu, tapi bisakah kamu memprioritaskan antivirus dulu? Aku masih berharap bahwa peradaban ini masih bisa diselamatkan" Tanya Ajeng, ia sudah lelah.
Genta semakin tertekan, ia menarik nafas dalam-dalam.
"Baiklah, aku akan fokus dan tidak membuang waktu lagi." Jawab Genta yang membuat Ajeng menatapnya.
"Tapi aku memiliki syarat." Ajeng dan Bhatari mengkerutkan dahinya
"Syarat?" Beo Bhatari.
"Jika aku sudah membuatkan antivirus, aku tidak ingin kalian menghalangi jalanku untuk kembali ke masa lalu. Aku ingin adikku masih bisa di selamatkan, apapun itu resikonya." Jawab Genta yakin.
"Hahahaha." Ajeng tertawa, syarat yang diajukan Genta sangat menggelitik telinganya.
"Kembali ke masa lalu katamu? Haha kamu sangat lucu, Genta. Peradaban ini benar-benar akan hancur jika seperti ini." Ajeng menarik nafas.
"Kamu egois, Genta! Bukankah dulu kamu ingin peradaban ini selamat dan membangunnya lagi dari awal? Apa kamu ingat? Dulu sebelum kamu menyuntikkan cairan itu ke aku dan Bhatari, kamu bilang ingin membangun peradaban ini. Tapi apa ini?" Ajeng menatap Genta tak percaya.
"Apa mimpi ku kemarin akan menjadi kenyataan?" Ucap Ajeng lirih. Ia sangat putus asa sekarang.
Ajeng menarik nafas dalam-dalam, ia menatap mata Genta dengan perasaan campur aduk. Ia pun pergi meninggalkan mereka.
Bhatari menatap kepergian Ajeng. Ia sangat tahu apa yg dirasakan Ajeng, tapi ia juga tak bisa menghakimi Genta. Bagaimana pun, Genta yang sekarang ia kenal sangat berbeda dengan Genta yang dulu. Kini Genta menjadi lebih keras kepala dan hanya mementingkan dirinya saja, padahal Genta yang mereka kenal dulu adalah Genta yang rela mengobati burung dengan kaki yang hampir sepenuhnya patah. Genta yang dulu adalah Genta yang sangat memperdulikan kehidupan orang lain, Genta sendiri lupa. Bahwa yang membuat Ajeng dan Bhatari bertahan hidup hingga saat ini karena perkataan Genta yang menguatkan mereka ketika keduanya putus asa dan seperti itulah manusia. Akan selalu berubah dan berganti, meski dalam wujud yang sama tapi dengan karakter yang berbeda.
Bhatari berjalan menghampiri Genta, ia menepuk pundak Genta. Genta sedikit tehentak namun tanpa menoleh kearah Bhatari yang kini duduk disebelahnya.
"Pikirkan lah baik-baik yang kamu sampaikan tadi, aku tidak ingin kita terpecah belah seperti ini. Yang Kak Ajeng sampaikan mungkin ada benarnya. Tapi aku tak bisa menghakimi keputusan mu, karena bagaimana pun Genta yang sekarang sangat berbeda dengan Genta yang dulu, bukan?" Bhatari pergi meninggalkan Genta.