Selama ini tanpa Ajeng dan Bhatari tahu, Genta sering kali menyisihkan waktunya untuk menggali ingatan mengenai formula yang ia buat dan suntikkan pada Ajeng dan Bhatari, formula yang mampu membuat otak bekerja lebih optimal pada skala manusia. Malam ini ia telah merampungkan formula tersebut, dengan girang ia memegang cawan kaca dan mulai mengukur berapa mili yang telah ia buat saat ini. Genta berencana untuk mengoptimalkan fungsi otaknya hingga 100% dengan dosis yang lebih banyak.
Sebenarnya Genta merasa heran, seingat ingatan yang diberika Ajeng dulu, ia menyuntikkan dosis yang lebih banyak untuk dirinya, namun Genta tak memiliki kelebihan seperti Ajeng atau pun Bhatari. Harusnya secara logika ia akan melampaui kekuatan Bhatari mau pun Ajeng jika ia menyuntikkan lebih banyak dari pada yang ia berikan kepada keduanya. Untuk menjawab rasa penasaran dan juga keinginan untuk menemui Anggi kembali, Genta berencana untuk menambah dosis lebih banyak dari pada sebelumnya, pengoptimalan fungsi otak hingga skala sempurna menjadi tujuan utamannya,
"Jika aku bisa membuat keduanya seperti itu, kenapa aku tak bisa membuat diriku seperti itu juga?" ucapnya sembari memindahkan cairan berwarna biru ke dalam suntikan sebesar jempol kaki.
Namun sebelum menunaikan niatnya Genta tetap saja akan mengatakan hal ini kepada Ajeng dan Bhatari, Genta tetap saja merasa sayang kepada keduanya, ada kedekatan tak kasat mata yang sebenarnya membuatnya ingin tetap berjuang bersama mereka di sini, namun penyesalan dan rasa kasihnya kepada Anggi membuatnya ingin pulang ke rumah, ingin menengok ibu dan menjadi berguna dengan membantu adiknya. Ia berjanji tak akan putus asa lagi, ia tak ingin lagi mengakhiri hidupnya toh nantinya akan mati juga walau pun tak diakhiri.
Sore itu, dengan rencananya yang telah matang. Genta berjalan ke arah pohon tempat mereka sering menikmati senja bersama, mengobrol hal serius hingga hal-hal yang membuat gelak tawa mereka memecah udara. Genta sadar belakangan ini dingin mengambil alih masa-masa bahagia mereka, rutinitas sore di bawah pohon tak pernah lagi terjadi hampir tiga bulan belakangan, lebih tepatnya Genta yang mulai menarik diri karena merasa bersalah dan kesibukaannya dengan pikirannya sendiri membuatnya tidak ingin berbicara banyak dengan orang lain.
Bawah pohon itu masih dipenuhi daun kering, tampak dua gadis sedang duduk, yang satunya tampak sedang bersandar di batang pohon dan satunya lagi sedang bersandar di kaki si perempuan yang satu. Genta berjalan mendekat, mengamati keduanya, bohong jika dia tidak senang karena rencananya akan kembali telah matang tak perlu lagi di ganggu gugat. Namun di sisi lain, ada perasaan kecewa yang menghampiri, ia selalu saja tidak menyelesaikan apa pun, tapi tak mengapa. Baginya ia tak peduli, seisi dunia tak ada pun ia tak peduli ia akan tetap mengutamakan adiknya.
"Hai, udah lama ya kita nggak duduk bareng di sini," ujar Genta memecah keheningan setelah sampai dan lama terdiam, sama-sama melihat senja yang mulai disombongkan langit. Keduanya tampak diam, tak tahu akan membalas apa.
"Bhatari, Ajeng," panggil Genta pelan, nada suaranya mulai melembut.
"Maaf jika aku membuat kalian repot dan kepikiran," lanjutnya lagi.
"Sudahlah Genta, kamu akan merusak suasana senja terakhir kita." Balas Ajeng. Genta lalu kaget, kemudian ia tertawa,
"Aduh susah juga punya teman yang bisa liat masa depan."
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Bhatari binggung, rambut birunya semakin terlihat pudar, tidak lagi terang seperti sebelumnya. Ajeng lalu menatap Genta,
"Tanya saja langsung pada Genta," balasnya. Berbalik Genta menatap Ajeng, wajah Ajeng tampak semakin banyak kerutan, bagian pelipisnya menonjolkan garis-garis berwarna biru, efek dari terlalu sering mencoba menerawang dan melihat masa depan.
Perasaan Genta mengecut, hanya dia yang tampak baik di sini,
"Aku mau kembali, Tar. Aku mau balik buat nyelamatin Anggi, aku nggak bisa bantu kalian kalo masalahku dan rasa bersalahku soal Anggi lebih mendominasi."
"Terus caranya gimana?" tanya Bhatari,
"Aku tak bisa membantu banyak, aku tak tahu apa yang membuatku mejadi lemah belakangan ini, aku tak bisa lagi membuat mu pulang pergi melintasi masa seintens kemarin, kamu tahu apa konsekuensinya untukku."
"Aku sudah menemukan caranya," jawab Genta yakin,
Ia keluarkan botol bening dengan cairan biru di dalamnya,
"Aku telah membuat formula yang sama seperti yang telah aku buat untuk kita dulu, ini cairan yang sama seperti yang aku suntiknya untuk kalian dan juga aku."
"Kamu nggak bisa pergi Genta," ucap Ajeng seketika.
"Kenapa?" balas Genta tiba-tiba sewot, ia tahu pasti lagi-lagi Ajeng akan mempermasalahkan mengenai hal-hal yang tidak ia selesaikan di sini.
"Aku melihatmu hilang, kamu tak kembali." Balas Ajeng lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Genta bingung.
"Aku tak tahu, tapi kamu udah pernah janji Genta, dan janji itu akan buat kamu hilang."
Genta tertawa,"Kamu yakin percaya kayak gituan, Jeng? Setelah semua hal sains yang kita teliti di sini? Kamu masih percaya takhayul?"
"Kamu yakin nggak mau percaya sama penglihatan aku?" balas Ajeng nyalang, dirinya tak ingin diolok seperti itu.
"Tapi mana bisa kata-kata membuat aku hilang?"
"Genta, Kak Ajeng nggak pernah salah liat, kakak harus ingat itu." Bhatari ikut menambahkan.
"Tapi dari semuanya. Ini hal paling nggak masuk akal, Tari."
Mereka lalu saling melemparkan argumen dan berdebat, Bhatari dan Ajeng terus saja menahannya untuk pergi.
Sebenanrnya ada rasa takut yang mulai menyentuh rencana matang Genta.
"Tak mengapa, jika kamu ingin kembali, tak apa. Kembali saja, aku sudah mengingatkan, Bhatari juga sudah mengingatkan. Tapi kamu harus ingat, janji kita telah terjadi jauh sebelum kamu kenal Anggi, jauh sebelum hari ini." Ujar Ajeng kemudian.
"Jeng, jangan bilang seperti itu. Aku tak ingin pulang dan membawa perasaan tak enak ini, aku ingin kita berbaikan biar aku bisa pergi dengan senang dan aku tahu jika kalian pasti baik-baik saja."
"Di antara kita bertiga, kita memang sering berbeda pendapat, beda bukan berarti kita tidak berteman. Tapi aku sudah mengingatkanmu, Genta." Ujar Ajeng lagi.
Bhatari lalu berinisiatif mengambil tangan keduanya dan memeluk mereka berdua, tak bisa di bendung lagi, air mata dan isakan mulai mengambil alih. Mereka berpelukan tak disangka perpisahan yang sama akan terjadi lagi.